Kamis, Juli 31, 2008

Bangsa yang Dangkal

Oleh Limas Sutanto
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 06

Di tengah keterpurukan bangsa, para politikus berulah dangkal. Mereka tidak mengejawantahkan kualitas insan pemimpin.
Mereka justru merebakkan corak ketidakotentikan dan hipokrisi: banyak berkata dan berulah, tetapi tidak mendalam dan berbobot mengejawantahkan kata- kata mereka dalam tindakan nyata. Keberbondongan mereka dalam membuat partai politik hingga sebanyak 34 buah secara dangkal disyukuri sebagai tanda mekarnya demokrasi. Padahal, hal itu secara telak mewakili tiadanya pikiran besar yang bermakna dan mendalam. Bagaimana mungkin pikiran besar tertebar begitu luas dalam gagasan serbaneka yang diusung 34 partai?
Sekadar semboyan
Howard Gardner, dalam artikel The Intelligences of Creators and Leaders (1999), menginspirasikan betapa pemimpin niscaya mengejawantahkan otentisitas, setidaknya melalui dua hal: pengucapan semboyan tertentu yang cocok untuk memecahkan problem aktual bangsanya dan kehidupan sang pemimpin yang mengejawantahkan semboyan yang dikatakannya.
Sayang, di tengah bangsa ini para politikus lebih banyak mengucapkan semboyan ketimbang mengejawantahkan semboyan itu dalam kehidupan mereka.
Karena gencarnya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi akhir-akhir ini, sebagian dari mereka kini sudah memiliki rasa takut untuk korupsi uang, materi, dan fasilitas. Namun, mereka belum menyadari, pengingkaran mereka terhadap semboyan yang pernah didengungkan—ketidakotentikan dan hipokrisi—sebenarnya merupakan bentuk korupsi kendati bukan korupsi yang terkait langsung uang, materi, dan fasilitas. Para politikus tidak takut melakukan korupsi seperti itu.
Di dunia ini, tiada bangsa yang nasibnya tidak terkait kualitas para politikus dan pemimpinnya. Maka, kedangkalan politisi dan pemimpin berandil menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang dangkal. Bangsa yang dangkal menjalani kehidupan hari demi hari dalam rangka asal hidup. Kehidupan mereka tidak dipandu cita-cita bersama yang besar, mendalam, dan bermakna.
Delapan corak perilaku
Di tengah ketiadaan penghayatan hidup yang mendalam, setidaknya dapat dicatat delapan corak perilaku.
Pertama, perilaku mementingkan diri, yang kalau melebar paling jauh hanya sampai perilaku mementingkan kelompok atau golongan sendiri.
Kedua, perilaku yang dihidupi kepentingan jangka pendek dan pikiran pendek.
Ketiga, kecenderungan amnestik alias mudah lupa, termasuk pada goresan pengalaman menyakitkan yang beberapa waktu lampau ditorehkan oleh orang- orang yang kini menyatakan diri sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia.
Keempat, kecenderungan gampang dibujuk buaian kata dan citra menjulang, termasuk iklan.
Kelima, kecenderungan mudah disugesti sensasi.
Keenam, perilaku dan prestasi suam-suam kuku (mediocre), tidak pernah excellent.
Ketujuh, cenderung mengukur apa pun dengan duit dan mengubah apa pun menjadi duit.
Kedelapan, kebiasaan menindas pihak yang lemah, yang terejawantah dalam kesukaan pihak kuat mendiskriminasi pihak lemah secara tidak adil dan hipersensitivitas pihak kuat terhadap tiap progresi pihak lemah.
Di mana pun tiada bangsa yang terus dapat bertahan dan hidup terhormat sebagai bangsa dangkal. Namun rupanya bangsa ini belum menyadarinya. Bangsa ini terus hidup dangkal, kian nyata saat menyongsong Pemilu 2009. Tanpa malu-malu, orang-orang mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa, padahal rekam jejaknya tidak mengandung bukti perjuangan yang pernah dilakukan pada masa lampau untuk menyejahterakan rakyat.
Ringkasnya, orang-orang yang lantang menyatakan diri sebagai calon pemimpin puncak bangsa itu, tiada yang sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, atau Barack Obama. Ketiga orang ini adalah bagian pemimpin yang jauh sebelum ternobatkan sebagai pemimpin bangsa telah mengejawantahkan perbuatan-perbuatan besar dan perjuangan dalam menyejahterakan rakyat mereka.
Titik terapi
Pada keseluruhan perspektif ini, bangsa Indonesia patut memandang Pemilu 2009 sebagai titik terapi penting untuk mengurangi ganasnya kedangkalan yang terus merebak. Kedangkalan dapat dikurangi dengan menggunakan Pemilu 2009 sebagai kesempatan emas untuk hanya memilih pemimpin yang memiliki bobot otentisitas mantap, bukan hipokrit, dan sungguh menorehkan bukti perbuatan dan perjuangan besar untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
Pemilu 2009 tidak boleh menjadi bagian dari kedangkalan yang merebaki bangsa ini. Justru ia niscaya dijadikan peranti terapeutik untuk mengatasi kedangkalan itu.

Limas Sutanto
Psikiater Konsultan Psikoterapi, Wakil Presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists, Tinggal di Malang

Kembali

Senin, Juli 28, 2008

Menolak Kutukan Bangsa Kuli

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL
Oleh Irwan Julianto
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008, halaman 1


Nyinyir rasanya mengutip ucapan yang sudah puluhan, ratusan, atau malahan mungkin ribuan kali dilontarkan oleh Soekarno agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain. Namun, ketika memberikan amanat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1965 di Istana Negara, Soekarno justru pesimistis bahwa bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang dikhawatirkannya itu, the Indonesian people have become a nation of coolies and a coolie amongst nations. Soekarno mengatakan, ia mencupliknya dari seorang sarjana Belanda. Berbagai penulis menyebut ucapan eine Nation von Kuli und Kuli unter den nationen itu aslinya dilontarkan oleh Helfferich, warga Jerman. Tidak jelas apakah ia adalah Emil atau Theodor Helfferich, dua orang Jerman bersaudara yang datang ke Pulau Jawa pada awal tahun 1900-an dan membeli tanah seluas 900 hektar di daerah Cikopo, Bogor, dan menjadikannya kebun teh. Tahun 1928, Emil dan Theodor kembali ke Jerman dan menyerahkan pengelolaan kebun teh kepada seorang warga Jerman lain. Kebun teh itu kemudian diambil alih Belanda tahun 1939 setelah Jerman menginvasi Belanda, tetapi tahun 1943 dikembalikan oleh tentara pendudukan Jepang kepada sekutunya, Jerman. Jika benar yang mengucapkan kalimat ”bangsa kuli” itu adalah Emil atau Theodor Helfferich, tak jelas kapan diucapkan dan pada kesempatan apa. Hanya, menurut Soekarno, waktu itu bangsa Indonesia hidup dengan 2,5 sen seorang sehari sehingga tak bisa mempunyai rumah yang layak, tak bisa mengirim anak ke sekolah sehingga tetap akan menjadi bangsa kecil dan bodoh. Pledoi Soekarno Indonesia Menggugat mencoba menjelaskan bahwa memang imperialisme Belanda membutuhkan bangsa Indonesia yang bodoh agar bisa diperlakukan sebagai kuli yang percaya bahwa hanya bangsa kulit putih yang mampu berbuat benar. Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia seolah terjebak pada situasi self fulfilling prophecy, ramalan atau kutukan yang menjadi kenyataan. Menurut Hatta, seperti dikutip menantunya, Sri-Edi Swasono, stigma sebagai bangsa kuli yang inferior seolah dipercaya memang sudah suratan takdir oleh bangsa Indonesia sendiri dan hal ini dinilai Hatta sebagai ”kerusakan sosial” akibat penindasan VOC, cultuurstelsel, dan kebengisan dalam pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Jika Anda membaca buku tipis Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005) karya Pramoedya Ananta Toer, ada kutipan ucapan ”Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain” yang dicantumkan di awal pengantar penerbit dan pada sampul belakang, tetapi tak tercantum dalam isi buku. Itu tak lain adalah ucapan tokoh Minke (personifikasi tokoh pers nasional RM Tirto Adhisoerjo) dalam tetralogi Bumi Manusia. Pada saat bangsa Indonesia tahun ini memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan tepat 200 tahun mulai dibangun/dilebarkannya Jalan Pos Anyer- Panarukan oleh Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels, penolakan terhadap ”kutukan” dan stigma ”bangsa kuli” menjadi relevan. Sudah cukup banyak kisah tragis warga Indonesia yang tewas, dihukum mati, dipenjara, disiksa, dan diperkosa sebagai tenaga kerja di luar negeri. Kisah dramatis seperti yang dialami Nirmala Bonat hingga Ceriyati seperti tak ada habisnya diberitakan, tetapi tetap saja akan terjadi hingga kini dan mungkin belasan tahun ke depan. Impian Soekarno ketika merumuskan Pancasila tentang satu masyarakat bangsa dan tatanan dunia yang adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme agaknya bagaikan suatu utopia yang jauh dan nyaris muskil jadi kenyataan. Apa sebab? Jawabnya dapat diterangkan oleh sebuah aksioma atau dalil yang pernah tercantum dalam buku teks ekologi Fundamentals of Ecology karya Eugene P Odum pada awal tahun 1970-an, ”Suatu ekosistem yang lebih tertata akan mengambil keuntungan dari ekosistem di sekitarnya yang kurang tertata.” Implikasinya, kota yang lebih tertata ketimbang desa akan menyedot sumber daya desa-desa di sekitarnya. Negara yang maju akan menyedot potensi negara-negara miskin dan sedang berkembang. Sejarah umat manusia telah membuktikan, eksploitasi komunitas atau bangsa yang lebih kuat (secara militer, ekonomi, hingga teknologi, dan kemampuan sumber daya manusianya) terhadap komunitas-komunitas dan bangsa-bangsa lain telah terjadi sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga dewasa ini. Individu yang tak/kurang berdaya akan diperdaya dieksploitasi oleh individu yang licik dan culas. Para TKI (tenaga kerja Indonesia), khususnya para TKW (tenaga kerja wanita), adalah sasaran empuk eksploitasi, penipuan, hingga pemerkosaan para calo, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang nakal, petugas pemerintah (kantor tenaga kerja, imigrasi, Deplu), biro penyaluran tenaga kerja di luar negeri, hingga majikan yang bengis. Apalagi, mayoritas pekerja migran Indonesia adalah pembantu rumah tangga yang kurang terampil. Seperti halnya kekayaan hutan, tambang, dan lautan Indonesia yang menjadi sumber penjarahan pihak-pihak yang serakah, baik di dalam maupun di luar negeri, jutaan pekerja migran kita juga menjadi sumber korupsi. Masuk di nalar kitakah jika penyusunan UU Pertambangan kita dibuat dan didiktekan sebuah negara asing dan dicantumkan dalam situs web mereka? Hasilnya, sewa lahan hutan lindung cuma beberapa ratus rupiah per meter persegi dan bisa disewa sampai 90 tahun!
Sesungguhnya, kedaulatan dan martabat kita sebagai negara dan bangsa merdeka perlu kita gugat lagi jika kita memang menolak menjadi kuli bangsa-bangsa lain!

Sabtu, Juli 19, 2008

Krisis Tiga-F Mengancam Dunia

Dikutip dari Tajuk Rencana Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 06.

Krisis pangan, energi, dan keuangan global menjadi sumber kerisauan, termasuk dalam Pertemuan Asia-Eropa akhir pekan lalu di Korea Selatan.
Ekspresi kecemasan dan kegamangan atas krisis Tiga-F yang merupakan singkatan dalam bahasa Inggris untuk food (pangan), fuel (minyak) dan financial (keuangan), terlihat jelas dalam Pertemuan Asia-Eropa (ASEM) di Pulau Jeju, Korsel, akhir pekan lalu.
Seriusnya pertemuan itu antara lain terlihat pada kehadiran menteri keuangan atau wakilnya dari 27 negara anggota Uni Eropa dan 16 negara Asia, ditambah utusan enam organisasi internasional. Para peserta memperlihatkan kegelisahan dan kegamangan atas krisis Tiga-F. Sampai sekarang belum ditemukan jalan keluar di lingkungan negara maju, apalagi di negara berkembang.
Pertemuan Jeju pada dasarnya bertujuan mendorong kerja sama dan koordinasi antara Uni Eropa dan Asia dalam menghadapi dan mengatasi krisis Tiga-F, yang dampaknya sudah sangat dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Krisis yang semula terjadi dalam bidang keuangan yang dipicu oleh masalah kemacetan kredit perumahan murah subprima di Amerika Serikat kemudian berjalan secara paralel dan tumpang tindih dengan krisis pangan dan energi.
Khusus tentang krisis pangan, bahaya yang dapat dimunculkannya telah digambarkan sebagai tsunami diam-diam, the silent tsunami. Jika terjangan tsunami dapat menewaskan ribuan atau ratusan ribu orang seketika, krisis pangan tiak hanya menewaskan ratusan ribu orang, tetapi bisa jutaan bahkan ratusan juta orang secara perlahan-lahan dan diam-diam.
Perbedaan lain tentu saja terjangan tsunami berlangsung cepat dan tiba-tiba, tanpa memilih-milih sasaran. Sebaliknya sasaran krisis pangan justru lapisan masyarakat miskin dan sudah tak berdaya. Sudah terbayang, negara-negara berkembang yang sudah miskin akan semakin menderita. Kekurangan pangan dan gizi akan mengancam jiwa ratusan juta anak di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia.
Mimpi buruk terhadap krisis pangan meningkat karena persoalan musim yang serba tidak menentu akibat pemanasan global. Laju pemanasan global sendiri cenderung meningkat karena belum ada upaya serius untuk mengendalikan gas buangan industri dan kendaraan.
Krisis pangan semakin berat karena mendapat komplikasi kenaikan harga energi bahan bakar minyak. Gabungan krisis Tiga-T telah mengancam stabilitas keamanan dunia. Aksi protes dan demonstrasi pecah di berbagai negara atas kenaikan harga energi dan pangan yang semakin tak tertanggungkan rakyat kecil.

Selasa, Juli 15, 2008

Pengkajian Sudah Selesai

RUU KAMNAS
Dikutip dari Rubrik POLITIK & HUKUM di Harian KOMPAS Rabu, 9 Juli 2008 halaman 2

JAKARTA, KOMPAS – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas Muladi membenarkan, pihaknya telah menuntaskan pengkajian draf Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional atau RUU Kamnas. Bahkan, seminggu lalu Lemhannas telah menyerahkan draf RUU itu beserta rekomendasi yang dihasilkan ke Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Demikian disampaikan Muladi, Senin (7/7), seusai penyerahan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Lemhannas, yang diopinikan ”Wajar Tanpa Pengecualian”. Turut hadir Ketua BPK Anwar Nasution.
”Kami serahkan hasil kajian (Lemhannas) dalam bentuk rancangan akademis tentang Sistem Keamanan Nasional ke Menko Polhukam, yang akan menggelar dialog dengan semua instansi terkait, seperti MabesPolri dan Mabes TNI,” ujarnya.
Dialog diharapkan dapat menetralkan ketegangan yang terjadi di antara TNI dan Polri menyusul penolakan Polri sebelumnya soal wacana penempatan institusi itu di bawah departemen tertentu. Ketegangan menyebabkan kejelasan kelanjutan pembahasan draf susunan Departemen Pertahanan itu ”menggantung”.
Muladi menyarankan semua pihak bisa legowo dan tidak coba menonjolkan ego sektoral. Pembahasan aturan tentang keamanan nasional dinilainya sangat dibutuhkan, terutama untuk mengatur keterlibatan semua pihak dan instansi terkait penanganan masalah keamanan nasional tadi. ”Kami rekomendasikan agar draf akademis RUU Kamnas diperkuat. Tetapi, soal perlu tidaknya Polri di bawah departemen tertentu, kami tidak mengkaji atau menyentuh masalah kelembagaan seperti itu. Hal itu terserah Menko Polhukam dan harus mengacu konstitusi,” ujar Muladi lagi.
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Yuddy Chrisnandi, menegaskan, hal terpenting yang harus dibahas dalam RUU Kamnas adalah sistem koordinasi antarinstansi terkait masalah pertahanan, keamanan, dan intelijen dalam merespons dinamika lingkungan strategis. "Selain itu, juga harus dibahas soal kedudukan Polri yang seharusnya tidak lagi langsung di bawah Presiden, melainkan harus di bawah otoritas sipil yang tunduk kepada Presiden, seperti juga diterapkan pada TNI. Polri bisa saja ditempatkan di bawah satu kementrian keamanan nasional,” ujar Yuddy.
Sayangnya, kata Yuddy, dalam pemerintah belum ada kesepakatan soal reposisi Polri itu. Presiden harus melepaskan kendali langsung atas Polri. (DWA)


Kembali

Menghidupkan Pendidikan Pemerdekaan

Dikutip dari Rubrik FOKUS.FORUM MANGUNWIJAYA III di Harian KOMPAS, Jumat, 4 Juli 2008 halaman 41.

Sekarang terjadi diskrepansi antara harapan dan kenyataan. Cita-cita bangsa kita ialah mewujudkan negara kesejahteraan, sebuah negara yang berdiri pada tiga pilar: pemerintahan yang kuat, pasar yang kompetitif, serta masyarakat sipil yang bebas dan kritis. Dengan begitu, kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan diharapkan dapat dinikmati oleh semua warga negara, termasuk dalam hal pendidikan..

Oleh A FERRY T INDRATNO

Hal itu terinspirasi dari model demokrasi sosial, di mana negara sebagai regulator, fasilitator, dan redistributor sumber-sumber daya yang ada dalam masyarakat. Pasar diberi kebebasan yang sebebas-bebasnya, tapi tetap ikut dalam regulasi negara sebagai koridor aturan main. Negara menjadi pengawas pasar dan masyarakat sipil. Pajak progresif diberlakukan agar pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum terjangkau oleh semua warga.
Akan tetapi, sekarang kita terjebak dalam neoliberalisme, di mana negara semakin jauh menangani urusan publik. Pendidikan tidak bisa lagi menjadi alat pembebas dan gagal menjadi alat mobilisasi sosial. Justru yang terjadi sebaliknya: pendidikan menjadi alat reproduksi kelas.
Ada filosofi yang diperdebatkan dalam liberalisme. Sayap demokrasi protektif serta sayap yang mengebiri negara dan memberi peran pasar seluas-luasnya. Yang pertama dipelopori oleh John Stuart Mill dan yang kedua dipelopori oleh Freidrich vin Hayek. John stuart Mill ini sebetulnya lebih dekat dengan cita-cita UUD 1945.
Menurut John Stuart Mill, masyarakat yang kompetitif akan mengembangkan segalanya, tetapi harus ada proteksi terhadap demokrasi. Kalau tidak diproteksi, demokrasi akan gagal menciptakan SDM-SDM yang baik, seperti terjadi di Indonesia. Apa yang harus diproteksi? Pendidikan dan kesehatan karena akan menghasilkan SDM yang siap untuk bersaing. Friedrich von Hayek lebih menekankan pada perlindungan hak. Oleh karena itu, ia lebih memihak pada pasar dan kemudian mengebiri negara. Dalam situasi demokrasi yang beku, Indonesia memilih jalur von Hayek.

Globalisasi dan potret SDM

Di tengah kebijakan negara yang tidak mau memproteksi sektor publik, terjadi perubahan besar di dunia. Thomas L Friedman (2005) menyebutnya sebagai the world is flat. Menurut Sri Adiningsih, dalam dunia yang berubah sekarang ini pertempuran dan persaingan sudah head to head, ada pergeseran luar biasa yang akan memengaruhi desain pendidikan kita.
Pada globalisasi jilid pertama (abad XVIII-IXX), negara memegang peranan dalam mengekspansi dunia. Globalisasi jilid kedua (abad XX) adalah masa multinational corporation (perusahaan multinasional), di mana globalisasi di-drived oleh multinational corporation firm.
Saat ini kita telah memasuki globalisasi jilid ketiga, yang men-drive individu-individu. Persaingan dan pertempuran terjadi bukan lagi antarnegara atau antarkorporasi, melainkan antar orang. Saat ini orang harus memasarkan dirinya sendiri. Setiap orang agar bisa bertahan harus menguasai internet, bahasa internasional, dan informasi.
Perubahan dunia ini besar pengaruhnya pada negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pada globalisasi jilid pertama kita dijajah oleh Belanda, Inggris, dan Jepang. Globalisasi jilid kedua multinational corporation menghantam kemandirian kita sebagai suatu bangsa. Kita tidak punya kemandirian di bidang pangan, energi, dan modal. Kalau pada globalisasi jilid satu dan kedua kita sudah tidak survive, pada gelombang ketiga pun kita akan kalah bersaing kalau kita tidak menyiapkan SDM yang terdidik mulai dari sekarang.
Bagaimana SDM kita saat ini? Kualitas SDM Indonesia termasuk ”terbelakang” dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Secara kuantitas SDM kita besar, tetapi secara kualitas kita kalah. Dilihat dari human development index dan indikator lainnya, Indonesia kalah dari negara tetangga yang selevel di ASEAN, misalnya Malaysia.

Sekolah Rakyat Pancasila

Francis Wahono melihat keterpurukan Indonesia di antaranya disebabkan politik pendidikan rakyat Pancasila tahun1950 diganti politik pendidikan pemerintah ala militerisme zaman Jepang pada tahun 1970-an sampai 1990-an dan kini tahun 2000-an diganti lagi dengan politik pendidikan pemerintah gaya partai pencari rente proyek dengan pembenaran edeologi neoliberalisme.
Menurut Wahono, jika keindonesiamerdekaan kita ala pendiri bangsa hendak dilahirkan kembali dari lumpur keterpurukan, revolusi pendidikan ala pendidikan rakyat Pancasila, di mana pendidikan ala Mangunwijaya dapat menjadi contoh hidup dan inisiatif-inisiatif alternatif dapat terwadahi, harus diselenggarakan.
Sebagai titik pangkal, dokumentasi dua buku Sutedjo Bradjanagara yang terbit pada tahun 1950-an dapat menjadi acuan. Buku pertama ditulis oleh S Bradjanagara dan L Kartasoebrata, berjudul Djalan Baru untuk Memperbaharui Pendidikan dan Pengajaran, Sekolah Rakyat Pancasila. Buku kedua yang melengkapi buku pertama, juga ditulis Sutedjo Bradjanagara, berjudul Sedjarah Pendidikan Indonesia, Yogyakarta, 1956.
Buku pertama menguraikan detail Sekolah Rakyat Pancasila, buku kedua tentang sitz im leben-nya, konteks dan alasan kelahiran dan keberadaannya. Sutedjo Bradjanagara adalah Ketua Badan Kongres Pendidikan Indonesia pada kurun waktu itu.
Untuk memulai Sekolah Rakyat Pancasila dibutuhkan perubahan komitmen, filosofi, kurikulum, retraining guru, termasuk menguasai sejarah pendidikan dunia atau pun perjuangan bangsa Indonesia. Biaya untuk menyelenggarakan tentu lebih murah daripada biaya menyelenggarakan ujian nasional dan ikutannya. Anggaran 2 persen dari APBN tetap harus dipenuhi.
Ada dua dasar untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran ala Sekolah Rakyat Pancasila, yakni pengajaran harus diberikan menurut kodrat dan kebutuhan anak serta sekolah harus berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Pendidikan harus menghilangkan penyeragaman karena akan mematikan kreativitas anak. Sekolah menjadi bagian organis dari masyarakat, untuk masa depan masyarakatnya, bukan alat kekuasaan, pun bukan alat menajamkan elitisme dan fanatisme.
Guru harus tahu betul keadaan lingkungan sekitar sekolah. Bahan-bahan apa yang ada di sekitar sekolah yang dapat digunakan sebagai bahan pengajaran. Dalam bentuk apa bahan-bahan itu akan diajarkan. Bahan dapat diambil dari jalannya musim, pesta desa, dan adat istiadat. Pengajaran berbahan lingkungan ini cocok untuk kelas rendah sampai kelas IV, sedangkan untuk kelas V dan VI harus dibawa lebih jauh dari lingkungannya. Anak-anak senang menjelajah yang di luar lingkungan desa atau kampungnya, tetapi tetap harus bertolak dari sumber belajar sekitar.
Konsep Sekolah Rakyat Pancasila sejalan dengan apa yang diusulkan Sri Adiningsih bahwa untuk memenangi persaingan pada era globalisasi ketiga dibutuhkan sistem pendidikan yang glocalization. Kita berpikir secara global, tetapi harus bertindak secara lokal. Think globally, act locally!

Berkreasi

Saat ini Departemen Pendidikan Nasional menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sekolah boleh berkreasi menciptakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan konteks siswa dan lingkungannya. Namun, KTSP itu tidak berguna karena standarnya tetap dibuat pemerintah pusat dan diuji secara nasional melalui ujian nasional. Sekolah dan guru lebih memilih jalan aman, mengikuti instruksi dinas setempat.
Dari sisi kebudayaan, pendidikan bertugas menyuburkan kebudayaan bangsa, kepribadian bangsa, dan menjunjung harga diri bangsa dalam pergaulan internasional. Dalam negara merdeka, kebebasan jiwa dipentingkan sekali.
Stelsel klasikal dan montessori dapat secara bergilir ditukar satu sama lain. Stelsel klasikal guru menghadapi murid dalam satu kelas, sedangkan montessori berpusat pada kreativitas pribadi. Jalan tengah adalah stelsel dalton. Ada kebebasan dalam suatu kelompok. Yang hendak dibangun oleh Sekolah Rakyat Pancasila adalah masyarakat Pancasila, masyarakat yang bersifat nasional, demokratis, berperikemanusiaan dan berketuhanan untuk dapat mewujudkan keadilan sosial. Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap serta warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat di Tanah Air.
Sekolah Rakyat Pancasila dari faktor tempat dan ruang juga disusun sedemikian rupa sehingga pendidikan sarat lingkungan dan partisipatif aktif dapat dilaksanakan. Sebagai ganti lapangan konblok di tengah sekolah, dalam bangunan yang membentuk lingkaran, di dalamnya ada panggung kesenian, kolam ikan, dan taman. Sementara itu, di pinggir belakang ada tempat bengkel dan toko hasil kerajinan tangan.
Bila substansi Sekolah Rakyat Pancasila kita jadikan landasan pembelajaran sekarang ini, merupakan revolusi pendidikan, pendorong, dan pelancar usaha melahirkan kembali keindonesiamerdekaan sera dapat menghasilkan SDM yang memiliki kemandirian, harga diri, cinta bangsa, dan daya saing menghadapi globalisasi jilid ketiga.

A FERRY T INDRATNO
Anggota staf Dinamika Edukasi Dasar
Kembali

Korupsi

Oleh
Ramadhan Pohan
Dikutip dari Tajuk JENDELA di Rubrik Sosok & Sketsa Harian Jurnal Nasional Sabtu, 5 Juli 2008 halaman 8.
Miring
Rabu pagi 2/7/08 di Kampus Paramadina ada acara “Denny on Corruption”, Denny Indrayana meluncurkan dua buku terakhirnya, Negeri Para Mafioso dan Negara antara Ada dan Tiada. Banyak tokoh yang datang, begitu pula mahasiswa, aktivis, dan pers. Bagi saya ini lebih memperlihatkan optimisme luas publik atas Indonesia yang lebih baik, lebih bersih, lebih sehat, lebih sejahtera dan modern.
Para tokoh yang hadir sepakat Denny memang yang tervokal dan terbaik, yakni sebagai doktor korupsi, atau pakar korupsi. Maksudnya tentu bukan berarti intelektual muda ini penganjur apalagi pelaku korupsi, sehingga Jimly Asshidiqie pun buru-buru meminta ditambahkan kata “anti” di setiap kata “korupsi” di atas.
Korupsi adalah kejahatan. Seluruh dunia berperang habis-habisan memberantasnya. Di negara maju yang kesejahteraan masyarakatnya baik dan sistem hukumnya jalan, tidak korupsi secara kuantitas dan kualitas berada di level terbawah. Bagi Indonesia, negeri yang tengah serius memberantas korupsi dan kemiskinan sekaligus, upayanya banyak perlihatkan hasil. Berjibun kasus korupsi yang melibatkan para pejabat, petinggi negeri dibongkar. Media massa tiap hari pasti berisi pemberitaan terkait pelaku dan kasus korupsi yang ditangani dan diproses hukum. Menteri, anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota dan siapa pun pejabat yang sebelumnya nyaris tak tersentuh huku, kini tak ada ampun.
Dalam sejarah RI, baru dalam kepemimpinan sekarang pembongkaran kasus korupsi berlangsung gegap gempita, meriah, dan seru. Era-era presiden sebelumnya, jujur saja, pemberantasan korupsi hanya wacana dan condong ecek-ecek. Benar teori yang mengatakan pemberantasan korupsi harus dimulai dari komitmen orang nomor satu republik. Pemimpin tertinggi, presidennya, harus bersih dulu. Pemberantasan korupsi sekarang berjalan karena memang ada keteladanan dari pemimpin. Habis itu baru menteri dan pejabat-pejabat tinggi lainnya baik pemerintah maupun negara. Dari situ barulah mafia korupsi dibongkar, praktik-praktik korupsi disenter dan disemprit.
Pemberantasan korupsi sudah jadi tren. Semua lini bergerak, lakukan reformasi internal yang semua berujung pencegahan korupsi. Semua orang kini berhati-hati jangan-jangan apa yang dilakukannya berindikasi tindakan korupsi. Jimly Asshidiqie mengatakan ada korupsi karena terpaksa, terbentur kebutuhan hidup. Tetapi ada juga korupsi karena naif, ketidaktahuan bahwa yang dilakukannya merupakan korupsi. Tak tahu dan tak sadar sama sekali bahwa pemberian yang diterimanya atau tindakannya masuk zona pidana korupsi. Menurut Jimly sebagian terbesar kasus korupsi justru karena yang kedua itu: naif. Banyak orang baik yang mendadak diketahui tersangkut kasus korupsi.
Maka Jimly kasih resep: Jangan mau menerima, mengambil apa pun yang bukan hak. Titik. Habis perkara.
Rektor Anies Baswedan bangga karena Universitas Paramadina yang pertama mewajibkan Mata Kuliah (Anti) Korupsi bagi seluruh mahasiswa di kampus yang justru tak punya Fakultas Hukum itu. Kata Anies, korupsi harus diperangi bersama, seksama, terus-menerus dan dengan sikap optimisme. Jangan pernah lelah, kalah apalagi frustasi dalam memerangi penyakit yang satu itu. Korupsi marak karena orang banyak atau masyarakat yang menyaksikan tindakan korupsi justru diam. Pembiaran itu sama saja menoleransi korupsi. rpohan@jurnas.com

Kembali

Unjuk Rasa Budaya Kontemporer

Dikutip dari Tajuk SIKAP di Rubrik OPINI Harian Jurnal Nasional Sabtu, 5 Juli 2008 halaman 10.
Indonesia hari ini masih Indonesia yang penuh bisik, dan terkadang luar biasa berisik. Orang bisik-bisik membicarakan sejumlah isu untuk kemudian diungkap dalam berbagai medium, sejak seminar, workshop, diskusi panel, hingga talkshow televisi. Bisik-bisik menjadi aktivitas yang berisik ketika orang memutuskan untuk membawa isu ke jalanan. Kita menyebutnya aksi protes, demonstrasi, unjuk rasa. Di negeri ini, nyaris tak ada unjuk rasa yang bebas dari suara berisik.
Orang berduyun-duyun ke jalanan, kadang dengan truk atau mikrolet yang melaju kencang, berzigzag, tak peduli aturan lalu lintas. Dan polisi, mana berani menyetop massa yang sedang gusar itu.
Ketika tiba di tempat yang dituju – entah kantor suatu instansi, institusi atau organisasi – massa menyalak, mengikuti akrobat kata-kata dari para koordinator lapangan yang berdiri gagah, atau digagah-gagahkan. Mereka biasanya bersenjatakan megafon, dan dengan senjata itulah mereka menghunus kegusaran massa. Kadang suasana tak terkendali, dan ekor cerita bisa kita tebak sendiri: pembakaran ban bekas, saling dorong dengan aparat polisi, pelemparan batu, bahkan saling timpuk. Inilah tipikal aksi unjuk rasa di negeri ini dalam satu dekade terakhir ini. Unjuk rasa dan luapan marah massa sering tak memiliki garis demarkasi yang jelas betul.
Senada dengan itu, aksi unjuk rasa murni menyuarakan hati dan mengekspresikan perasaan acap kali sulit dibedakan dari aksi unju rasa komersial, aksi yang melibatkan peserta dengan jumlah bayaran tertentu.
Kedua-duanya punya cara yang sama. Minimal, sama-sama berisik, sama-sama potensial meghadirkan situasi kalang-kabut dan porak-porandanya sistem hukum positif yang berlaku. Sangat jarang berlangsung unjuk rasa santun, lebih-lebih seperti rakyat Yogya. Mereka biasanya berunjuk rasa dengan menjemur diri di waktu pagi di depan keraton, dan seketika bubar begitu pihak yang berwenang memberi penjelasan.
Banyak yang berharap, sudah waktunya Indonesia memulai unjuk rasa yang santun, meki tak harus seperti rakyat Yogya itu. Ada banyak cara lain yang elegan, dan bahkan bisa menjadi semacam Performance Art. Di negeri-negeri maju, misalkan, unjuk rasa macam ini digelar cukup dengan melibatkan beberapa orang, dalam bsana mencolok dan membawa papan protes. Tak ada makian, umpatan, apalagi hujatan. Mereka, dan ini yang difavoritkan, meneriakkan yel-yel dari satu kosakata tertentu secara repetitif: ”Shame, Shame, Shame”.
Orang-orang shamanistic bahkan tak tertarik dengan yel-yel. Demi mempromosikan budaya Sami, mereka cukup berjalan-jalan ke luar kampung mereka, naik kendaraan dan menyapa setiap orang yang ditemuinya di jalanan. Dalam aktivitas ini, mereka tampil dalam busana mereka sehari-hari, busana kaum Shaman.
Itu di Amerika. Di belahan bumi yang lain, taruhlah di Skotlandia baru-baru ini, orang berkerumun di depan suatu toko serba ada demi memprotes kebijakan toko tersebut yang dinilai kelewat banyak menggunakan kantung belanjaan. Para pengunjuk rasa datang dalam busana buah-buahan dan sayuran. Aksi mereka menjadi performance art yang menarik ditonton, dan sama sekali tak memicu kerusakan. Pihak yang diprotes pun sadar diri dan berjanji untuk memperbaiki kebijakannya.
Ada latar belakang di balik aksi unjuk rasa seperti tadi. Pertama-tama, tersedianya budaya malu antara kaum pengunjuk rasa dan pihak yang diunjuk rasa, sehingga aksi tak harus berlangsung secara eksplisit dan bodoh. Merusak, menghancurkan, saling sikut dan jambak, jelas bukan perilaku pintar, bukan? Kedua, sistem hukum positif memberikan definisi dan batasan yang tegas dari suatu aksi unjukrasa. Suatu unjuk rasa berdarah-darah, dalam definisi mereka, bukanlah “protes” atau “demonstrasi”, melainkan “violent confrontations” dan ini dilarang. Izin dan larangan dijalankan secara paralel sedemikian rupa sehingga memberikan jaminan keadilan dan keteraturan sistem hukum.
Kita bisa memulai menuju situasi itu untuk mencapai Indonesia baru yang lebih beradab benih-benih untuk itu telah lama ada, setidak-tidaknya kita bisa belajar dari rakyat Yogya itu. Atau kalau merasa risih dan “kurang kontemporer”, kita bisa belajar dari mahasiswa Institut Teknologi Bandung, yang kerap melakukan aksi unjuk rasa dengan konsep yang matang: konsep yang lahir dari budaya kontemporer dengan pijakan ide Performance Art yang menarik.
Pernah suatu ketika mereka memprotes gunungan sampah di Bandung dengan aksi unjukrasa satir dan mengundang tawa. Perempuan-perempuan molek dan berwajah Priangan, tampil lenggang-lenggok di atas trotoar yang mereka sulap jadi catwalk. Busana yang mereka kenakan didesain dari serpihan-serpihan sampah – entah dari plastik, kertas atau kain yang sama sekali dianggap sudah tak berguna.


Kembali

Fenomena Obama dan Internet

Oleh
Philips J Vermonte
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 12 Juni 2008 halaman 6.

Berakhirnya pemilihan pendahuluan untuk memilih calon presiden dari Partai Demokrat, posisi Barack Obama sebagai figur penting dalam politik di AS kian kokoh.
Banyak tulisan menggambarkan karisma Obama yang ditandai dengan kepiawaiannya berpidato sebagai sebab utama mengapa Obama tampil begitu fenomenal dalam kampanye pemilihan presiden AS kali ini.

Figur baru

Obama yang berkulit hitam dinilai sebagai figur inspirasional, menjadi ajang pembuktian American dream di mana tidak ada yang bisa membatasi mimpi seseorang. Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi calon presiden AS.
Namun, diskusi yang dibatasi karisma atau kepiawaian berpidato akan mengaburkan pesan mendasar Obama, yaitu tentang munculnya sebuah ”politik baru” dalam lanskap politik di AS.
Obama adalah figur baru dalam politik AS. Namun, idealisme dan pengalamannya selama beberapa tahun menjadi community organizer di sudut miskin Chicago selepas lulus Universitas Harvard meyakinkan Obama bahwa politik harus bersifat bottom-up bukan top-down. Keyakinan untuk mewujudkan politik bottom-up ini mewarnai cara Obama mengelola kampanyenya.
Majalah The Atlantic Monthly (Juni 2008) menurunkan laporan tentang mesin politik Obama. Kunci kesuksesan Obama adalah kemampuannya mengintegrasikan teknologi informasi ke dalam seluruh kampanyenya.
“Kampanye” paling awal Obama adalah sebuah malam pengumpulan dana di Silicon Valley. Pengumpulan dana yang berlangsung sebelum Obama resmi menjadi mendeklarasikan diri menjadi calon presiden ini terbukti menjadi basis bagi mesin kampanyenya. Para entrepreneur teknologi di Silicon Valley, dari perusahaan kecil dan besar, bergabung dengan Obama dan membantu merancang kampanye pengumpulan dana melalui internet. Chris Hughes, pendiri situs Facebook – sebuah jaringan sosial berbaris internet paling popular di kalangan mahasiswa dan pelajar di AS – memutuskan cuti dari perusahaannya itu agar bisa bekerja full-time di markas besar tim kampanye Obama di Chicago.
Jaringan sosial berbasis internet itu selanjutnya menjadi tulang punggung penggalangan dana dan media bagi para relawan dalam tim kampanye Obama.
Berkat kecanggihan memanfaatkan jaringan internet, tim kampanye Obama memiliki 750.000 relawan aktif, 8.000 kelompok pendukung, dan tim ini mengorganisasi 30.000 events dalam 15 bulan kampanye pemilihan pendahuluan. Video-video rekaman pidato dan event-event yang dihadiri Obama bisa diakses gratis melalui podcast di iTunes store. Hasilnya, ratusan ribu orang bisa merasakan gemuruh pendukung Obama di tempat kampanye dan menangkap pesan kampanye melalui layer iPod masing-masing. Youtube, Facebook, iPod-podcast, dan My-space. Secara cerdas, internet dimanfaatkan Obama dengan efektivitas yang tak dapat ditandingi kandidat lain.

Dominasi internet

Donasi melalui internet adalah politik baru yang dibawa tim kampanye Obama. Tercatat, Obama menerima donasi dari 1,3 juta orang melalui internet. Kenyataan ini menghancurkan paradigma lama pengumpulan dana melalui lobbyist dan pebisnis besar. Obama lebih mengandalkan donasi berjumlah kecil dari massa pemilih yang berjumlah jutaan orang. Tim kampanye Obama melaporkan, 94 persen donasi yang mereka terima datang dari individu-individu yang menyumbang kurang dari 200 dollar AS.
Angka ini amat kontras bila dibandingkan dengan 26 persen yang dilaporkan Hillary Clinton dan 13 persen yang dilaporkan John McCain, calon presiden dari Partai Republik. Saat Hillary dan John McCain masih mengandalkan donor-donor besar, Obama mentranslasikan politik bottom-up yang dipelajari sebagai community organizer ke dalam pengumpulan dana kampanye menuju Gedung Putih.
Seperti ditulis The Atlantic Monthly, sejarah AS mentatat, transformasi cara berkomunikasi secara regular mengubah wajah politik AS. Andrew Jackson membentuk Partai Demokrat saat teknologi printing mengalami kemajuan pesat pada awal tahun 1800-an. Andrew Jackson mengorganisasi editor dan penerbit untuk membentuk partai politik. Abrahan Lincoln tampil menjadi tokoh legendaris setelah transkrip debat dalam kampanye presidennya yang terkenal disebarluaskan melalui koran-koran yang saat itu menjamur di AS.
Franklin Roosevelt memimpin AS melalui masa-masa sulit mengampanyekan program New Deal secara efektif melalui pesan regulernya di radio yang saat itu sedang disempurnakan. John Kennedy menjadi amat popular setelah debat antarcalon presiden dan pertama kali disiarkan televisi. Sejak itu, Kennedy cermat memanfaatkan televisi untuk memperkuat citranya.

Gairah baru

Hal terpenting lainnya, kampanye Obama membawa gairah baru bagi pemilih di AS. Bersama Hillary, berlomba untuk mencatat sejarah sebagai calon presiden wanita pertama di AS, tim kampanye Obama berhasil memobilisasi voter turnout dalam jumlah mengejutkan. Pemilihan presiden AS kali ini agaknya akan menjadi counter argument bagi ilmuwan politik Robert Putnam yang dalam bukunya, Bowling Alone (2001), mensinyalir, publik AS kian apatis secara politik, antara lain diindikasikan oleh penurunan secara drastis jumlah pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya dari tahun ke tahun.

PHILIPS J VERMONTE
Peneliti CSIS Jakarta; Kandidat Doktor Ilmu Politik
Di Northern Illinois University, AS
Kembali

Membaca Pancasila

KEBUDAYAAN
Oleh
BENNY YOHANNES
Dicuplik dari Rubrik HUMANIORA - TEROKA di Harian KOMPAS, Sabtu, 21 Juni 2008 halaman 14

Kehadiran kebudayaan nasional Indonesia diasumsikan berjalan otomatis dengan kemunculan Negara Indonesia. Artinya, sejak Negara Indonesia diproklamasikan, sejak itu pula lahir kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional Indonesia. Asumsi itu sulit untuk disetujui, karena ia hanya berpijak pada justifikasi politik/ideologis.
Kelahiran Negara baru tidak pernah identik dengan kelahiran kebudayaan baru. Negara baru bisa dicapai melalui momentum sebuah revolusi. Tetapi kelahiran kebudayaan baru merupakan konglomerasi dari proses korespondensi dan dialog lintas nilai yang lebih evolutif.
Distorsi pemahaman negara memproduksi kebudayaan ini telah menyebabkan penanganan masalah-masalah budaya di Indonesia lebih banyak dikendalikan oleh instrument politik/ideology negara, karena makna kebudayaan telah disubordinasi berdasarkan pembenaran-pembenaran politik/ideologis.
Satu hal yang memunculkan distorsi lain: kebudayaan hanya dipahami sebagai benda, sebagai manifestasi kasat mata, sehingga lahirlah strategi politik negara untuk hanya “mendandani kebudayaan” lewat ideologi penyeragaman, sebagaimana Orde Baru.

Identitas kebudayaan

Indonesia merupakan wadah politis dan ideologis baru bagi 662 suku bangsa. Jadi, realitas budaya yang harus diakomodasi begitu luas dan beragam. Strategi kebudayaan harus membuka akses partisipatif dan membangkitkan respons mutualistik dari eksponen budaya yang beragam itu. Gerakan lateral, hubungan dialogis local to local harus menjadi intensif dan sinambung.
Identitas kebudayaan nasional masih sedang dicari, lewat cara menawarkan “kemungkinan-kemungkinan Indonesia”. Ini berarti, akses ruang untuk mengartikulasikan perbedaan nilai-nilai harus selalu dibuka dan difasilitasi sehingga proses korespondensi dan dialog lintas nilai bisa berlangsung lebih transparan, proporsional, dan manusiawi.
Menjadi Indonesia adalah menggali kemungkinan-kemungkinan Indonesia. Intinya: pergaulan budaya yang terus-menerus, dengan menghadapi bentuk-bentuk konflik, dan resistensi. Selain itu, terbuka pula untuk suatu inklusi atau intervensi dari kekuasaan.

Amanat UUD 1945

Penjelasan UUD 1945 tentang kebudayaan nasional adalah (1) buah usaha budidaya rakyat Indonesia, (2) kebudayaan lama dan asili di daerah, (3) kebudayaan yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru.
Penjelasan UUD 1945 tentang kebudayaan nasional sudah mencerminkan rumusan yang inklusif, demokratis dan prediktif. Dengan demikian, hal itu sudah mewadahi unsur-unsur paling substantif yang mendukung realisasi identitas kebudayaan nasional.
Penjelasan ini juga sudah bersifat visioner. Bahwa kebudayaan nasional adalah proses dinamisasi dari bawah, dengan bertumpu pada gerak dualistik antara “yang lama dan asli” dan “serta” yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru”.
Masalahnya, bagaimana bisa dilahirkan strategi yang berkesinambungan untuk mendukung dialog yang mutualistik antara kebudayaan lama dan asli di daerah dengan kebudayaan yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru.
Faktanya: karena pragmatisme-sekular yang sangat berjangkit di kebudayaan kota telah menciptakan kondisi amnesia-budaya. Akses pengetahuan ke masa lalu sangat terbatas dan fragmentaris, sedangkan respons terhadap kebutuhan masa kini bersifat temporer dan pragmatis.
Kedua wilayah budaya ini bekerja dalam situasi teritorial masing-masing. Kebudayaan asli bersifat defensif dan tidak artikulatif. Kebudayaan baru bersifat distingtif dan eksklusif.

Strategi kebudayaan, karena itu, harus memperhitungkan pola stereotip dari pergeseran kekuasaan politik di Indonesia. Polanya adalah diskontinuitas. Setiap orde kekuasaan baru meruntuhkan otoritas orde sebelumnya. Akibatnya, hasil-hasil pemikiran visioner tidak dapat diapresiasi secara berkelanjutan.
Sementara strategi kebudayaan harus didukung dari endapan pemikiran visioner karena memperjuangkan ide-ide yang paling substantif bagi kelanjutan konsep meng-Indonesia.

Strategi Pancasila

Instrumen fungsional negara bagi program pemajuan kebudayaan Indonesia masih diandalkan pada instrumen ideologis Pancasila, sebagai filsafat bangsa. Namun, Pancasila sebagai teks sebenarnya hanya merupakan ideological-clue/isyarat ideologis, dan belum efektif sebagai instrumen praksis kebudayaan.

Pancasila sebagai paradigma operasional di saat-saat ini tampaknya justru mengalami divitalisasi karena tidak berhasil meneguhkan perannya sebagai practical-glue/perekat operasional yang nyata. Pendekatan strategi kebudayaan bukan lantas menyuruh orang untuk rajin-rajin membaca Pancasila. Justru, Pancasila-lah, sebagai referensi utama praksis negara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa.

Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Jika tidak mampu membaca, Pancasila akan menjadi iliterate-ideology/ideologi buta huruf, atau sekadar blind-rhetoric. Jika sebuah negara hanya bertumpu pada sebuah iliterate-ideology, maka negara justru akan menjadi sumber pembodohan budaya.

BENNY YOHANES
Mengajar di STSI Bandung dan SBM ITB


Kembali

Generasi Muda Harus Bebas Korupsi

GERAKAN ANTI KORUPSI
Dikutip dari Rubrik POLITIK & HUKUM di Harian KOMPAS, Jumat, 27 Juni 2008 halaman 4.


JAKARTA, KOMPAS – Korupsi merupakan salah satu penyebab kerusakan negara ini. Itu sebabnya, generasi muda harus memahami perilaku korup agar bisa membangkitkan semangat perlawanan terhadap korupsi.
Hal ini disampaikan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan PhD dalam kuliah perdana mata kuliah Anti Korupsi di Universitas Paramadina di Jakarta, Kamis (26/6). Kuliah perdana Anti Korupsi ini juga menghadirkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. ”Usaha memerangi korupsi juga bisa dilakukan dengan menambah jumlah generasi baru yang paham tentang bahaya korupsi, mengerti, dan bersedia berperan menghentikan praktik korupsi,” ujar Anies. Itu sebabnya, menurut dia, Universitas Paramadina merintis pewajiban mata kuliah Anti Korupsi bagi mahasiswanya, dengan bobot 2 SKS. Tidak heran jika kuliah perdana ini disambut antusias oleh 278 mahasiswa Paramadina.
”Melihat kehadiran seperti ini, mudah-mudahan ini bisa menjadi pertanda minat yang luar biasa dari mahasiswa untuk turut memberantas korupsi. Insya Allah, kelak akan muncul generasi baru antikorupsi di Indonesia,” ujarnya.
Dalam kuliah yang berjudul ”Korupsi dan Upaya Pencegahan Melalui Pendidikan Antikorupsi” itu, Antasari mengatakan, selama ini orang tampak sibuk mengatakan tentang tekad memberantas korupsi. Sayangnya, banyak yang tidak tahu apa itu korupsi. Padahal, sangat penting untuk mengenal apa itu korupsi dan melakukan pencegahan tindak korupsi daripada sekadar memberantasnya.
”Terus terang, saya merasa senang atas sambutan mahasiswa terhadap usaha pemberantasan korupsi. Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda memang harus memahami masalah korupsi yang menjadi salah satu problem besar bangsa ini,” katanya.
Tentang tindak korupsi, Antasari menjelaskan, secara sederhana dapat dikatakan korupsi terjadi sebagai pertemuan antara niat dan kesempatan. Bicara soal niat, berarti berbicara tentang perilaku, ketika membicarakan perilaku, berarti memperbincangkan soal nilai. ”Selama perilaku dan sistem tidak diperbaiki secara fundamental, maka mimpi kalau kita katakan ingin memberantas korupsi di Indonesia,” lanjutnya. (MAM)

Kembali

Partai Islam Harus Berpihak

KEPARTAIAN
Dikutip dari Rubrik POLITIK & HUKUM di Harian KOMPAS Rabu, 9 Juli 2008 halaman 3

JAKARTA, KOMPAS – Kinerja partai Islam yang ada sekarang belm bisa memberikan keberpihakan yang jelas pada umat. Karena itu, partai Islam yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 harus bisa membangun citra baru, meskipun citra saja tidak cukup kalau tidak diikuti kerja konkrit.
Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Matahari Bangsa (PMB) Ahmad Rofiq. Ia juga tegas mengatakan, partainya membidik basis Islam. ”Kami tak ingin umat Islam selalu dijadikan pendorong mobil mogok, yang lalu ditinggal setelah mesin hidup,” ujarnya di Jakarta, Selasa (8/7).
Menurut Rofiq, suara umat Islam yang selama ini dipercayakan kepada partai Islam belum sepenuhnya dikelola untuk mewujudkan harapan umat dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. ”Kami punya semangat dan anak-anak muda yang mau bekerja. Inilah modal kami,” ujarnya lagi.
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Irgan Chairul Mahfiz menambahkan, peluang partai Islam tetap ada, bahkan kecenderungannya kian meningkat. Apalagi, jumlah partai baru yang akan menjadi peserta pemilu mendatang dan berbasis Islam lebih sedikit ketimbang partai nasionalis. ”Artinya, rebutan pada pangsa pasar umat Islam tetap kompetitif, ditambah lagi kenyataan di beberapa daerah pemilihan tertentu, ternyata pilihan terhadap partai berbasis Islam kian tumbuh dan menguat,” ujarnya.
Bukti penguatan itu, menurut Irgan, bisa dilihat dari hasil pemilihan kepala daerah yang dimenangi tokoh yang didukung partai berbasis Islam, seperti di Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat.
Al Muzzammil Yusuf dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, saat ini untuk menentukan pilihannya rakyat melihat konsistensi partai. (MAM)


Kembali

Sesat

Oleh
N Syamsuddin Ch Haesy
Dikutip dari Tajuk JENDELA 234 di Rubrik Sosok & Sketsa Harian Jurnal Nasional Jumat, 11 Juli 2008 halaman 16

GELOMBANG besar gerakan anti-Ahmadiyah akan terus berkembang. Makin dipadamkan, makin menggelora. Fenomena semacam ini pernah terjadi berabad-abad lamanya, dan akan terus terjadi. Gerakan ataupun jami’iyah semacam ini, berada di luar Islam. Terutama, ketika mereka terlepas dari pernyataan komitmen syahadah.
Ahmadiyah tumbuh dan berkembang dari pemahaman menyimpang kaum Shufah. Kaum yang tersesat dan tenggelam ke dalam fantacy trap tentang segala hal di luar empirisme manusia, yang memerlukan kecerdasan dan keimanan paripurna. Mirza Ghulam Ahmad terjebak dalam situasi pengembaraan fantasi, sebagaimana laiknya dialami para nabi palsu di masa Rasulullah SAW dan sesudahnya.
Abu Thalib al Makki, Ibn Abd Rabbih, Ak Kulaini, Az Zamakhsyari, Al Mufid, dan Ibn al Jauzi dalam berbagai kitab karya mereka, menyebutkan aliran-aliran menyimpang ini merupakan kaum yang harus diperingatkan untuk menghentikan aktivitasnya. Lantas, diberi pencerahan dengan cara ‘bil hikmah wal mauiddzaatil hasanah’. Kearifan dan tutur sapa yang baik.
Mereka harus diajak kembali ke dimensi ajaran Islam yang terikat syahadah, dan meyakini pernyataan Allah SWT tentang keberadaan Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul penutup.
Bila mereka menolak dan bertahan dengan tak mau keluar dari fantacy trap-nya, maka putuslah hubungan mereka dengan Islam. Baik dalam makna simbolis, hakiki, maupun harafi. Inilah yang dilakukan Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib, terhadap penganut berbagai aliran sesat di masanya.
Akan kaum Wahdatin, yang meyakini, segala hal di atas muka bumi (termasuk gunung dan sungai) adalah eksistensi Allah SWT. Kaum Tihadi meyakini bahwa diri mereka menyatu dengan Allah SWT dan Allah SWT menyatu dengan mereka. Kaum Hululin, meyakini bahwa Allah SWT mengambil bentuk orang-orang yang mengklaim mengenal Dia dengan sempurna, sementara raga mereka merupakan tempat tinggal-Nya (dan jelmaan Malaikat).
Kaum Wasilin, meyakini, bahwa mereka berpadu dengan Allah SWT. Mereka mengabaikan ibadah dan ritual yang diajarkan Rasulullah SAW dan merumuskan cara ibadahnya sendiri. Selain itu, ada lagi kaum Zaraqin, yang menempatkan musik dan vokal sebagai cara ibadah, seraya memperoleh kesenangan dunia dengan jalan meminta-minta dari pintu ke pintu, seraya menyebarkan cerita fiksi tentang perbuatan mukjizati para pemimpin mereka.
Akan halnya kaum Usyaqiin, menganut paham, segala yang kasad indra merupakan sarana untuk mencapai realitas. Mereka meyakini, cinta sensual dan cinta seksual merupakan sarana untuk mecintai Allah SWT. Dan, kaum Talqinin, yang mengajarkan penganutnya mengharam-kan diri membaca ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu duniawi, karena menurut mereka posisi terbaik mendapatkan ilmu hanya dengan melakukan upaya spiritual di tempat-tempat yang tak lazim.
Mereka, sebagaimana halnya dengan kaum Ahmadin (penganut Ahmadiyah), termasuk dalam kategori umat yang memerlukan proses pendidikan dan pengajaran Islam, melalui dakwah intensif. Terutama penguatan kesadaran tauhidi dan imani, untuk menegaskan hakikat eksistensi Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana dijelaskan secara terang benderang di dalam Al Quran.
Atas mereka, perlu disampaikan sikap yang Islami. Yakni, sikap syidda’ (tegas, tanpa harus anarki) ketika mereka ngotot dan menolak. Namun, ketika mereka sadar dan kembali ke ajaran Islam, wajib kepada mereka diberikan sikap ruhama. Agar mereka paham bagaimana hakikat dimensi ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam konteks inilah, saya memandang SKB Tiga Menteri ihwal Ahmadiyah.

Wibawa Negara Lemah Halangi Promosi HAM

PELAKSANAAN DEMOKRASI
Dikutip dari Harian KOMPAS Rabu, 9 Juli 2008 halaman 4

JAKARTA, KOMPAS – Melemahnya fungsi dan wibawa negara ditengarai memperlemah perlindungan, pembelaan, dan promosi tentang hak asasi manusia di Indonesia. Melemahnya fungsi dan wibawa negara itu disebabkan oleh ketiadaan elemen strategis yang memadai pada tingkat sipil untuk menjamin pluralisme, toleransi, dan multikulturalisme.
Hal itu dikemukakan dosen Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparingga, Selasa (8/7), dalam Lokakarya Nasional VII HAM yang digelar Komisi Nasional (Komnas) HAM di Jakarta. Isu problematis yang diungkapkan Daniel itu untuk mempertajam tesisnya, yang mengatakan bahwa implementasi demokrasi yang berbasis HAM mempersyaratkan hadirnya negara dengan otoritas dan mandat yang kuat.
Otoritas dan mandat yang kuat itu digunakan untuk melindungi, membela dan mempromosikan HAM. Negara, tuturnya, memiliki wewenang untuk mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan bersama dan, bila perlu, menggunakan kekuatan paksa. Namun, di sisi lain, ada wilayah yang menjadi yurisdiksi masyarakat, yaitu wilayah privat, misalnya perkawinan atau sistem kepercayaan dan adat.
Namun, selama masa transisi di Indonesia, terdapat kekaburan dan bahkan pengaburan batas antara wilayah publik dan privat itu. Selama 10 tahun proses reformasi ini terdapat kecenderungan di antara keduanya untuk melampaui batas otoritas. Selain itu, baik negara maupun masyarakat tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh otoritas masing-masing
Namun, tidak hanya itu, Daniel juga menunjukkan banyak problem lain, seperti kecenderungan yang kuat dan berlebihan menggunakan indikator kuantitas partisipasi sebagai ukuran kemajuan demokrasi. Di sisi lain, pengembangan wacana dan perdebatan intelektual dengan isu strategis di sekitar demokrasi lemah.
Untuk itu, ia menganjurkan dibukanya ruang-ruang yang positif dan konstruktif untuk membangunnya. Hadir pula sebagai pembicara dalam lokakarya yang digelar Komnas HAM itu, dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia I Wibowo, mantan Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman, serta Kepala Badan Penelitian dn Pengembangan HAM Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas yang mewakili Menteri Hukum dan HAM.

Ironi di lapangan

Daniel berharap demokrasi di Indonesia tidak hanya menjadi mekanisme prosedural, seperti dalam pemilu. Hal itu disoroti pula oleh Marzuki Darusman, yang melihat ada ironi antara sikap formal dan kondisi nyata di lapangan.
Marzuki mengatakan dalam 10 tahun terakhir, Indonesia meratifikasi perangkat penting internasional terkait dengan HAM. Namun, sayangnya, infrastruktur penegakan dan perlindungan HAM belum cukup kuat.
Menurut Marzuki, ada mata rantai politik hukum yang hilang, antara mulai berlakunya perangkat HAM internasional dalam tata hukum nasional Indonesia. Salah satunya adalah belum pastinya faham hukum internasional yang dianut pemerintah, yang segera memungkinkan ketentuan-ketentuan perangkat hukum internasional berlaku sebagai hukum positif nasional dalam peradilan di Indonesia.
Lokakarya itu akan digelar hingga tanggal 11 Juli mendatang. Beberapa diskusi penting terkait berbagai isu HAM telah disiapkan, seperti problem dan tantangan dalam pelaksanaan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Acara itu dibuka Wakil Presiden M Jusuf Kalla. (JOS).


Kembali

Ketidakadilan Sistem Penyebab Kekerasan

FORUM PERDAMAIAN DUNIA
Dikutip dari Rubrik POLITIK & HUKUM di Harian KOMPAS, Kamis, 26 Juni 2008 halaman 2.

JAKARTA, KOMPAS – Kekerasan yang terjadi di dunia tidak bisa disederhanakan dengan mengatakan berakar pada agama atau budaya tertentu. Apalagi, semua agama mengajarkan kedamaian dan tidak memerintahkan berbuat kerusakan.
Demikian antara lain pemikiran yang disampaikan pada sesi pertama dan kedua dalam Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum/WPF) II, Rabu (25/6) di Jakarta.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, pertemuan WPF itu telah mengeluarkan pandangan yang hampir seragam tentang akar masalah kekerasan. Adanya kesamaan pandangan dari para politisi dan agamawan tentang akar kekerasan ini merupakan langkah maju yang patut dihargai.
”Bahkan, ada pandangan yang lebih tegas tentang ketidakadilan sistem dunia yang merupakan penyebab munculnya kekerasan global,” ujar Din di sela pertemuan.
Direktur Pusat Studi Global dan Internasional Universitas California di Santa Barbara, Amerika Serikat, Mark Juergensmeyer mengatakan, kekerasan tidak ada hubungannya dengan agama tertentu meskipun sering kali agama dipakai sebagai dasar pembenaran atas aksi kekerasan yang dilakukan.
”Sering kali ada rasa frustasi atas ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sistem global yang dirasakan oleh pelaku kekerasan. Kondisi ini memang sering kali diperburuk oleh adanya sejumlah pembenaran yang diambil oleh doktrin agama,” ujarnya.
Menurut Juergensmeyer, sejumlah eksploitasi dalam sistem ekonomi global yang secara terus-menerus mendominasi yang lemah juga menjadi salah satu pendorong munculnya rasa frustasi itu.
Pada sesi yang sama, Ayatollah Mohammad Ali Tashkiri dari Iran mengatakan adanya dominasi yang sangat kuat dan ingin menempatkan pihak lain dalam posisi yang sangat lemah. Bahkan, memaksakan nilai baru yang berbeda dengan nilai lokal yang dianut juga merupakan salah satu akar munculnya kekerasan.
”Palestina diusir dari Israel hanya karena mereka punya suara yang lebih sedikit atau tidak didengar dunia. Demokrasi semacam ini bisa menjadi langkah yang membungkam dan bisa menjadi akar kekerasan. Apalagi, ketika ada yang ingin menegakkan hak individual, hak warga negara yang bebas, kemudian dengan alasan politik, mereka harus menerima penindasan,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirayuda dalam pidatonya pada pembukaan sesi pertama mengatakan, kekerasaan juga muncul karena kekerasan juga. Ia menyebutkan sejumlah pola kekerasan, seperti kekerasan yang terjadi di dalam suatu negara dan di antara negara. (MAM)

Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan “Ngelmu”

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL
Oleh
RIKARD BAGUN

Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin 14 Juli 2008, halaman 1.

Tidak gampang menemukan rumpun kaum intelektual Indonesia yang duduk gelisah karena tergetar oleh momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Benar-benar mati angin!
Gelora kegelisahan hanya bergerak sepoi-sepoi, tidak dapat diubah menjadi badai yang mampu memaksa kaum cerdik pandai duduk bersama, memandang dengan sorotan tajam masa depan bangsa, tanpa membiarkan sedikit pun mata terkedip bagi Indonesia yang lebih baik.
Resonansi atas kenyataan itu seakan bersahutan atau berbalas pantun dengan pertanyaan, mengapa Indonesia tidak bangkit-bangkitmeski begitu banyak sarjana, kaum cerdik pandai, kaum intelektual, dan ilmuwan?

Indonesia masih terus saja berada dalam pusaran krisis bawaan sejak 1998, yang diperburuk oleh kondisi global yang sedang dikepung oleh krisis pangan, energi, dan pergolakan keuangan. Paling tidak 34,9 juta rakyat Indonesia hidup miskin.
Celah perubahan dan perbaikan akan semakin sulit ditemukan jika kaum intelektual Indonesia kehilangan sensitivitas menangkap panggilan sejarah untuk melancarkan secara serempak transformasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berjangkauan jauh ke depan.

Namun, siapakah yang pantas disebut kaum intelektual itu?
Tidak ada rumusan baku, tetapi setiap orang yang melek huruf berpotensi menjadi intelektual, apalagi yang sudah sarjana.
Sudah menjadi kredo, kontribusi kaum intelektual bagi peradaban dan kemanusiaan dalam perjalanan panjang sejarah sangat menentukan sebagai keniscayaan, syarat mutlak, conditio sine qua non.
Namun, mengapa sulit sekali menemukan jejak kaum intelektual Indonesia, lebih-lebih setelah kemerdekaan.

Permainan waktu

Kelesuan itu terasa jelas pula dalam memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional sebagai momentum yang dikhawatirkan akan terancam hilang.
Gejala kedodoran itu terlihat dalam kerepotan menghadapi arus perubahan, yang sangat menuntut kecepatan, the survival of the fastest, yang bertahan yang paling cepat, ketimbang the survival of the fittest, yang bertahan yang paling kuat.
Kemampuan menangkap peluang dalam permainan waktu memang semakin menentukan: “Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya“, tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah dunia yang berlari tunggang langggang.

Ibarat burung malam minerva, yang dijadikan simbol kebajikan dalam mitologi Yunani karena ketajaman indra penglihatannya menembus pekatnya kegelapan malam, kaum intelektual dengan ketajaman visinya dituntut menjadi sumber pencerahan di kegelapan zaman.
Hanya persoalannya, jangankan mampu melihat yang tidak tembus pandang dan jauh dalam kegelapan masa depan, masalah di depan mata dan di bawah terang benderang matahari saja sering kali tidak mampu diidentifikasi untuk dipecahkan.

Kekuatan pencerahan

Tidak semua kaum intelektual mampu melihat kompleksitas persoalan kemasyarakatan.
Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.
Munculnya kaum intelektual organik atau intelektual tradisional sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan kelompok intelektual organik, atau orang yang memiliki kesadaran kritis, bukan kesadaran naif, dalam pengertian Paulo Freire.
Kaum intelektual tradisional lebih nyaman berada tinggi di menara gading ketimbang turun berkeringat dan berpikir keras tentang perubahan masyarakat.

Watak kaum intelektual sejati atau intelektual organik antara lain mampu menjaga kemandirian, tidak mudah dikooptasi oleh kekuasaan, dan kreatif sebagai manusia super bermental tuan, Ăśbermensch, dalam pengertian Freidrich Nietschze.
Ilmuwan biasa atau intelektual tradisional hanya mendaur ulang yang sudah ada, tetapi ilmuwan sejati justru menemnukan yang “belum ada“.

Namun, tantangan kaum intelektual sejati atau intelektual organik semakin berat. Tak sedikit sarjana atau ilmuwan yang terjerumus oleh godaan kekuasaan. Pemikir Perancis Julien Benda menyebut kaum intelektual yang tergoda masuk dalam politik praktis dan bermain dengan kepentingan kekuasaan sebagai penghianat.
Daya kritis kaum intelektual dilumpuhkan dan ditumpulkan dalam pasungan kepentingan kekuasaan dan penguasa. Padahal, kaum intelektual harus menjadi kekuatan antitesis kekuasaan. Selalu cemas agar bangunan kekuasaan tak sampai tumbuh mencakar langit atau menjadi mahluk dasar laut yang mengerikan seperti leviathan.

Namun, kiprah ilmuwan tidak mungkin berkembang dan optimal jika secara kultural tidak kondusif pula, yang membuat berbagai temuan penting kaum ilmuwan ditelantarkan.
Ruang bagi kaum intelektual berkiprah semakin terpasung jika penguasa maupun rakyat sama-sama melakoni budaya, lebih suka ngelmu ketimbang ilmu, lebih suka berpikir mistis ketimbang kritis.


Kembali

Umat Islam Harus Bersatu

KEAGAMAAN
Dikutip dari Rubrik POLITIK & HUKUM di Harian KOMPAS, Kamis, 26 Juni 2008 halaman 2.

JAKARTA, KOMPAS – Berdasarkan kasus kontroversi terhadap ajaran Ahmadiyah, umat Islam Indonesia terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu yang menolak dan mendukung keberadaan Ahmadiyah. Kondisi itu menunjukkan tidak solidnya umat Islam.
”Terpecahnya kekuatan umat terjadi sebagai akibat pengaruh pemikiran, politik, dan budaya yang membuat umat jauh dari agamanya,” ujar Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam M Al Khaththath, dalam Pertemuan Besar Ulama, Habib, dan Tokoh se-Indonesia di Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta, Rabu (25/6).
Hadir dalam acara itu sejumlah tokoh Islam, seperti Ketua Umum Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia Ahmad Sumargono, Juru Bicara Hisbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto, budayawan Taufik Abdullah, dan pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah KH Mahrus Amin sebagai tuan rumah.
Menurut Khatthath, berbagai aksi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak yang dilakukan mahasiswa juga ditengarai didukung oleh kekuatan sosial-demokrat untuk menyingkirkan kekuatan neoliberal yang membawa sistem ekonomi yang tidak berkeadilan. Mereka sama-sama mengabaikan Islam sebagai sistem berbangsa dan bernegara walau mereka juga beragama Islam.
Oleh karena itu, para ulama dan habib perlu berkonsolidasi agar umat Islam dapat bersatu memperjuangkan tegaknya Islam di Indonesia. ”Ulama dan habib harus menyusun kekuatan dan gerakan untuk merbut dominasi kekuatan neoliberal dan sosial demokrat,” ujarnya.
Joserizal Jurnalis sebagai panitia penyelenggara pertemuan mengatakan, para ulama dan habib perlu menyamakan misi dan visi perjuangan untuk menangani berbagai persoalan umat. Selain soal liberalisasi pemikiran agama maupun pengaruh lembaga swadaya masyarakat yang didanai asing, bangsa Indonesia juga dirongrong kekuatan kapitalisme global yang mendorong penjualan aset bangsa serta memicu kenaikan harga BBM. (MZW)

Pertempuran Individu Mendominasi Politik

MANAJEMEN PARPOL
Dikutip dari Rubrik POLITIK & HUKUM di Harian KOMPAS, Jumat, 27 Juni 2008 halaman 4.

JAKARTA, KOMPAS – Dinamika politik di Indonesia didominasi oleh pertempuran individu politisi, bukan pertarungan ideologi di antara partai politik. Politisi pun hanya menjadikan partai politik sebagai kendaraan untuk kepentingan jangka pendeknya.
Demikian dikatakan Firmansyah, Wakil Kepala Program Pascasarjana Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, dalam peluncuran bukunya yang berjudul Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi di Jakarta, Kamis (26/6).
”Kita sering terjebak pada elitisme, mendudukkan politisi di atas parpol,” katanya lagi.
Dalam bukunya itu, Firmansyah sangat menekankan arti penting pemasaran ideologi partai dalam mengelola partai. Politisi masuk partai juga bukan hanya untuk menempatkan tokohnya menjadi ketua umum dan membumihanguskan yang kalah, tetapi yang terpenting adalah membangun sistem kepartaian.
Dia mencontohkan, meskipun sedemikan kuat pertarungan antara Barack Obama dan Hillary R Clinton di Partai Demokrat, hal itu tidak membuat perpecahan dalam tubuh partasi tersebut.
Manajemen parpol, kata Firmansyah, sudah saatnya dikelola lebih serius, meliputi pola rekrutmen, penghargaan, dan sanksi atas hasil kerja, serta jenjang karier pekerja partai.
Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar DPR, sebagai pembahas, menilai, banyak partai yang tidak berani menampilkan ideologinya secara tegas, termasuk Partai Golkar. Hal ini membuat pemilih sulit memahami ideologi partai yang satu dengan partai yang lain dan tidak memiliki pendukung setia yang besar.
Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera menegaskan, Islam merupakan inspirasi dari partainya. Agama tidak membuat manusia bermusuhan satu sama lain, tetapi justru mempersatukan manusia.
”Tuhan menganjurkan orang yang beragama untuk memelihara keindahan yang Ia ciptakan,” lanjutnya.
Fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Budiman Sudjatmiko menekankan, parpol harus mampu mentransformasikan tradisi yang ada di partai itu menjadi ideologi, platform, lalu kebijakan. Untuk itu, setiap partai harus memiliki filosofi.
”Hampir semua parpol sekarang ini tidak mempunyai folosofi politik,” ucapnya.
Pengamat politik Daniel Dhakidae, dalam pengantar diskusi, menyebutkan, selama Orde Baru, Indonesia tidak memiliki politisi. Yang ada hanyalah birokrat politik yang menjalankan kehidupan politik.
Hal ini disebabkan partai tidak mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri apa yang akan dibuatnya. Saat itu hanya ada Golkar dan partai lainnya hanya menjadi satelit. Golkar merupakan satelit tentara. (SUT)


Kembali

Harga Minyak dan Bencana Fiskal

Oleh
A Tony Prasetiantono
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 06.


Pekan lalu harga minyak menembus rekor baru, 139 dollar AS per barel. Angka ini benar-benar membuat frustasi. Meski kemudian agak terkoreksi ke bawah, harga minyak tetap di atas 135 dollar.

Pada titik ini, kian disadari ramalah harga minyak akan mencapai 150 dollar per barrel pada Juli atau Agustus 2008, serta 200 dollar AS per barrel pada akhir 2008 atau mungkin 2009, bukan main-main. Ini benar-benar serius.
Anehnya, pemerintah justru mengajukan asumsi harga minyak 120 dollar per barrel untuk APBN 2009. apakah pemerintah berusaha melakukan persuasi, dengan mengais asa agar pasar dapat ditenangkan?

Tiga analisis minyak
Dari berbagai analisis mengenai fenomena kenaikan harga minyak, saya mencoba memilahnya menjadi tiga jenis. Pertama, analisis yang menyelaskan kenaikan harga minyak dari aspek fundamental ekonomi (economic fundamental). Ekonom ahli perminyakan Italia, Leonardo Maugeri (the Age of Oil, 2008), adalah yang terdepan dalam analisis ini.
Para penganut paham ini berangkat dari analisis, kenaikan harga minyak dunia merupakan hasil tarik-menarik penawaran dan permintaan. Penawaran tersendat karena operator minyak kekurangan insentif harga. Hingga akhir 2002, harga minyak dunia hanya 30 dollar AS per barrel, padahal biaya produksi semakin naik karena kian banyak sumur minyak berada di lepas pantai (offshore fields). Biaya eksplorasi tambang-tambang yang terletak di laut dalam juga jauh lebih mahal.
Sementara itu, upaya mencari energi alternatif kerap kandas. Bahkan Maugeri (2008:282) menyindir, Negara-negara Barat suka memberlakukan standar ganda tentang isu nuklir. Saat Negara-negara berkembang, misalnya Iran, berusaha menemukan nuklir sebagai energi alternatif, selalu dihambat dengan berbagai dalih.
Analisis kedua, menggantungkan analisisnya pada realitas sejarah dan politik. Analisis yang mengikuti jalur ini, antara lain Duncan Clarke (Empires of Oil: Corporate Oil in Barbarian Worlds, Profile Book, London, 2007). Clarke melihat komoditas minyak menjadi ajang perebutan kekuasaan besar (“kekaisaran” atau empires) dalam perekonomian dunia. Ia menggambarkannya sebagai barbarian, atau machiavelisme. Paham yang diangkat Niccolò Machiavelli (1469-1527) dari Florence, Italia ini berkonotasikan negatif, cenderung manipulatif dan tak dapat dipercaya.
Dinamika industri minyak senantiasa terkait konflik dan perang yang diwarnai hasrat berkuasa. Dalam sejarah, ada empat tonggak terpenting yang menyebabkan harga minyak bergolak dramatis. Pertama, konflik Terusan Suez (1956). Kedua, konflik Arab-Israel (1973). Ketiga, perang Teluk Persia (1991). Keempat, fenomena terorisme dan invasi AS ke Irak. Daftar itu masih bisa ditambah dengan perang Irak-Iran yang berlangsung delapan tahun sejak 1978. Dalam analisis ini, sepanjang konflik tidak bisa dihentikan, harga minyak akan terus meletup-letup.
Analisis ketiga, mengaitkan kenaikan harga minyak dengan ulah spekulan. Seiring semakin ”canggih”-nya sektor finansial, para fund manager (manajer keuangan yang mengalokasikan dana para investor besar) pun rajin menciptakan kreativitas dan peluang. Hasilnya, ketika sekian jenis investasi ”konvensional” sudah tidak atraktif lagi, minyak masuk wilayah spekulasi. Para spekulan juga memanfaatkan informasi dan momentum saat supply dan demand minyak berimpitan ketat pada keseimbangan 84 juta barrel per hari, yang memungkinkan terjadinya eksplosi harga.
Charles Morris (The Trillion Dollar Meltdown, Public Affairs, New York, 2008) memandang sektor finansial sudah seperti kasino, yang harus dikoreksi. Menurut dia, perekonomian dunia sejak 1980-an mengalami pergeseran dari manajemen yang berorientasi pada pemerintah (government-centric) menuju ke orientasi pasar (market-driven). Inilah factor kunci kebangkitan perekonomian AS pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Namun, rangkaian peristiwa yang terjadi di sektor finansial akhir-akhir ini (kebangkrutan hedge fund terkenal LTCM, Long-Term Capital Management, 1998; skandal Enron dan Worldcom, 2001; hingga kasus subprime mortgage, 2007) menyebabkan ia berpikir pasar yang dogmatis seperti ini telah menjadi masalah besar.
Karena itu, “bandul jam” sudah seharusnya mulai berayun ke arah yang berbeda. Maksudnya, orientasi pasar secara habis-habisan harus dikoreksi. Memang, sebesar apa pun kepercayaan kita kepada pasar (market fundamentalism), harus disadari bahwa pasar pun sering mengalami kegagalan dalam memenuhi kehendak publik. Saat pasar mengalami kegagalan (market failure), pemerintah harus berinisiatif mengoreksinya. Ini pula yang diajarkan John Maynard Keynes (1936), ketika dirinya frustasi menghadapi depresi ekonomi dunia.
Karena itu, menurut hemat saya, kini saatnya muncul semacam “Keynes baru” untuk mengoreksi frustasi sector financial dan kenaikan harga minyak. Koreksi itu bisa dimulai dengan memberlakukan regulasi ketat pada hedge fund, yang selama ini tidak atau minim tersentuh regulasi oleh otoritas finansial di AS (Securities Exchange Commision/SEC).

Koreksi pasar dan liberalisme
Berdasarkan analisis itu, saya merasa sudah tidak mungkin lagi kita berharap pada mekanisme pasar dan liberalisme untuk mengoreksi harga minyak. Tanpa campur tangah pemerintah negara-negara kunci, mustahil kita berharap harga minyak tidak mencapai 150 dollar AS per barrel, atau bahkan 200 dollar per barrel, sebagaimana akhir-akhir ini diprediksikan Goldman Sachs.
Runyamnya pasar finansial dan kenaikan harga minyak, akibat terlalu percaya kepada pasar dan liberalisme, harus segera dikoreksi. Ada saatnya mekanisme pasar dan liberalisme dipercayai dan memberi banyak manfaat. Ini harus diakui. Namun pada saat lain, bisa saja pasar dan liberalisme mengalami kegagalan dan kontraproduktif, bahkan berpotensi menghancurkan perekonomian dunia secara kolektif. Bila ini terjadi, koreksi pemerintah di sejumlah negara harus dilakukan. Hal inilah yang belum saya lihat, adanya gerakan signifikan dari negara-negara besar. Jika pembiaran ini berlarut-larut, asumsi harga minyak 120 dollar per barrel seperti dalam APBN 2009 akan segera menjadi wishful thinking.
Dengan asumsi optimistik itu, APBN 2009 mengandaikan subsidi BBM Rp 155 triliun dan subsidi listrik Rp 77,9 triliun. Pada situasi ini, belanja pemerintah dalam APBN melonjak menjadi Rp 1.143 triliun. Sedangkan deficit APBN akan mencapai Rp 83,5 triliun, setara dengan 1,6 persen terhadap produk domestic bruto (PDB).
Masalahnya, apakah asumsi itu realistis? Jika harga minyak 150 dollar per barrel, rasanya kita masih selamat. Pada tingkat harga itu, defisit APBN belum melampaui 2 persen. Tetapi jika harga minyak dunia mencapai 200 dollar AS per barrel, semua asumsi bakal jungkir balik dan terjadi bencana fiskal (fiscal disaster). Upaya penyelamatannya terletak pada pemangkasan pengeluaran dan memperkecil kebocoran penerimaan pajak. Opsi menaikkan harga BBM lagi pasti dihindari karena faktor pemilu.
Di luar itu, yang tak kalah penting, kampanye dan lobi internasional untuk mencegah harga minyak 200 dollar AS per barrel harus digiatkan. AS, sebagai negara yang paling boros (konsumsi minyaknya 22 juta barrel sehari, atau 25 persen konsumsi dunia), harus berada di barisan terdepan kampanye ini. Mereka juga harus menata hedge fund agar tidak memiliki terlalu banyak ”ruang kreatif” sehingga menjadikan minyak dan sektor finansial sebagai ajang kasino.
Tampaknya, dunia sedang menantikan lahirnya ”Keynes baru” guna mengakhiri petaka yang belum diketahui ujungnya ini.

A TONY PRASETIANTONO
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI


Kembali

Negara Jangan Campuri Urusan Keagamaan

Dicuplik dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 2


Jakarta, KOMPAS – Kewenangan negara atas urusa keagamaan adalah mengadministrasikan apa yang menjadi keputusan kelompok agama. Jika sebuah lembaga umat beragama sudah membuat keputusan, negara hanya mencatat keputusan itu. Negara tidak berhak membuat keputusan tentang agama yang diputuskan kelompok umat beragama.

“Pasalnya, ketika negara masuk dan ikut sebagai penafsir dan membuat keputusan tentang agama, kepala negara menjadi pemimpin agama. Padahal, Indonesia bukanlah negara agama yang pemimpin negaranya juga menjadi pemimpin agama”, ujar Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri dalam diskusi tentang agama dan kenegaraan di Jakarta, Jumat (13/6).

“Misalnya, ketika semua umat Islam meminta semua yang bermerk Islam harus mengikuti aturannya, negara tidak berhak membuat tafsir keputusan, apalagi jika keputusan itu berbeda dengan aspirasi yang ada. Negara harus mengikutinya”, ujarnya.

Dalam praktiknya, kata Sayuti, terlepas dari problem kelembagaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilai belum sepenuhnya menaungi aspirasi umat Islam, MUI seharusnya menjadi lembaga paying yang mempunyai otoritas dalam soal keagamaan. Dengan demikian, pemerintah tak membuat keputusan yang berbeda dari kesepakatan umat.

Menurut Suyuti, kebijakan negara dibutuhkan ketika ada problem eksternalitas antarkelompok beragama, sedangkan keputusan dalam internal agama harus diselesaikan sendiri dan tidak boleh ada campur tangan kelompok agama lain atau pun negara.

Secara terpisah, Juru Bicara Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mengatakan, HTI bisa menerima surat keputusan bersama sebagai sebuah proses yang dilakukan pemerintah dalam mengambil tindakan. Namun pemerintah harus terus didorong untuk lebih tegas lagi. (MAM)

Lima Kesalahan Politik yang Fatal

Oleh
Nono Anwar Makarim
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian KOMPAS, Rabu, 11 Juni 2008 halaman 6


Setidaknya ada lima kesalahan fatal dalam politik kebangsaan di Indonesia sejak awal terbentuknya Republik Indonesia hingga perkembangan dewasa ini.

Kesalahan pertama: Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila, Idelologi Bangsa dan Negara, Pembukaan UUD 1945 identik Piagam Jakarta. Ini anggapan yang salah saat para pendiri RI merumuskan UUD kita. Ini anggapan salah saat konsensus nasional terbentuk dan dirumuskan dalam UUD kita pada tahun 2000.
Pada tahun 1945 Piagam Jakarta tidak masuk dalam rumusan UUD 1945 karena para pendiri NKRI cemas apabila itu dimasukkan, Indonesia bagian dan Indonesia bagian utara akan ke luar dari ikrar persatuan dan kesatuan. Pada tahun 2008 kesalahan itu melanggar konsensus nasional yang tertuang dalam UUD kita. Jaminan dan perlindungan atas kebebasan beragama yang tertuang dalam pasal-pasal hak asasi UUD kita adalah hak asasi yang tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apa pun. Kesatuan dan persatuan RI harus tetap dipelihara.

TNI sadar akan ancaman bahaya terhadap keutuhan ini. Sudah terlalu banyak jiwa yang mereka korbankan dalam perang gerilya yang dilancarkan DI dan TII. Sinyalemen dan keprihatinan ini terungkap dalam pernyataan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri di Indonesia Timur. Negara hendaknya jangan dijadikan polisi agama.


Massa Agama

Kesalahan kedua: Massa agama yang berdemonstrasi mencerminkan kekuatan politik. Ini salah, karena jumlah pemilih partai politik beraliran agama kian mengecil. Pengecilan pengaruh politik diiringi mengerasnya suara. Yang kehilangan sesuatu selalu lebih keras suaranya ketimbang yang mendapat sesuatu. Demo juga belum tentu mencerminkan idoelogi mereka yang turut berdemo. Uang tak jarang berperan memobilisasi massa di kalangan orang miskin yang kini kian miskin.

Poling di seluruh dunia ketiga menunjukkan, kini yang menggerakkan hati rakyat bukan lagi surga nanti, tetapi hidup yang layak sekarang. Di Amerika Latin hasil poling menunjukkan, mayoritas rakyat rela dipimpin junta militer lagi asal kehidupan mereka lebih sejahtera. Ini mengejutkan karena kekejian rezim militer di Amerika Latin mengalahkan kekejaman dan pelanggaran hak asasi rezim militer di Asia dan Afrika.


Pelanggaran HAM

Kesalahan ketiga: Bertindak keras terhadap kekerasan massa merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Yang melanggar HAM bukan tindakan keras mencegah, melerai, dan menghukum mereka yang menggunakan kekerasan. Yang melanggar HAM adalah tindakan yang tidak proporsional dibandingkan dengan kekerasan yang ditindak. Yang melanggar hak asasi adalah penggunaan excessive force, kekerasan yang berlebihan, bukan kekerasan untuk menghentikan kekerasan.

Kewajiban utama negara dan alatnya adalah the duty ti protect, kewajiban melindungi. Yang wajib dilindungi ialah yang lemah, yang haknya diinjak-injak, yang dizalimi, yang minoritas, yang tak berdaya, serta yang kebebasan berpendapat dan berkeyakinannya diancam, dikekang.

Kesalahan keempat: mengecam penyimpangan terhadap asas-asas Pancasila berisiko kehilangan dukungan mereka yang dikecam. Pertama, yang dikecam itu minoritas politik yang bersuara besar. Kedua, poling dunia yang memantau denyut jantung pemilih membuktikan, anggapa ini salah. Mereka menuntut bukti peningkatan kesejahteraan.

Sebelum tahun 2004 yang tampak hanya pelarian massa pemilih dari partai ke aliran. Pada Pemilu 2004 kita menyaksikan pelarian pemilih yang spektakuler ke luar dari PDI-P, partai nasionalis tambatan jiwa patriot bangsa dan kaum tertindas. Ideologi penting. Namun, jika harus memilih ideologi atau sesuap nasi, rakyat memilih hidup yang berkecukupan. Loyalitas pemilih beralih fungsi pada yang berjanji lebih nyata.


Sikap ”tidak bersikap” amat fatal

Kesalahan kelima: Mengambil sikap untuk ”tidak bersikap” adalah bijaksana. Dari semua kesalahan politik yang fundamental, mungkin inilah kesalahan terbesar. Malapetaka terjadi jika mayoritas berdiam menyaksikan hal-hal yang tidak benar.

Tahun-tahun menjelang Oktober 1965 sekelompok surat kabar angkat bicara tentang penyelewengan terhadap doktrin Sukarno dan Pancasila. Mereka menggabungkan diri dalam organisasi yang diber nama Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Atas desakan PKI, Sukarno membubarkan BPS. Mayoritas diam. Manifesto Kebudayaan lahir dan berupaya membebaskan ungkapan seni-budaya dari politik sebagai panglima. Atas desakan PKI, Manifesto dilarang. Mayoritas diam. Masyumi dibubarkan, PSI dibubarkan, Partai Murba dibubarkan; mayoritas diam.

Lalu peruncingan keadaan melangkah lebih jauh: PKI menuntut dibentuknya angkatan ke-5 agar buruh dan tani dipersenjatai. Lalu RRC menawarkan sejumlah besar senjata ringan untuk tujuan itu. Keberangkatan rahasia DN Aidit ke China, disusul keberangkatan Sukarno ke China dan pembicaraan rahasia dengan Chou En Lai. Desas-desus Dewan Jenderal dan penemuan bukti oleh Chaerul Saleh bahwa PKI akan merebut kekuasaan. Sukarno jatuh sakit dan ketidakpastian serta rumor politik mencekam warga negara dalam ketakutan. Semua itu pengantar ke malam hari tanggl 30 September 1965.

Dalam satu malam, hampir seluruh generale staf TNI dibantai. Baru setelah darah mengalir, muncul mahasiswa, kekuatan cadangan bangsa di kota besar seluruh Indonesia. Di luar kota besar terjadi genosida.

Akan gagal

Saya yakin, yang mau dicapai kekuatan-kekuatan ekstrem di Indonesia akan gagal. Mengubah konstitusi dengan melarang kepercayaan orang, mengganti konstitusi secara ”demokratis” pun akan gagal. Upaya ke sana oleh kekuatan ekstrem secara terbuka atau kekuatan ekstrem yang merahasiakan niatnya akan kandas. Indonesia adalah negara minoritas politik. Tidak bersikap sekarang sekadar akan mematangkan situasi krisis dan menaikkan harga pemecahannya oleh bangsa. Yang akan terjadi adalah kemenangan sedikit demi sedikit yang dibiarkan sikap ”tidak bersikap” sampai memuncak dan sekali lagi terjadi pertumpahan darah. Itu yang membuat sanubari bangsa pedih. Dan untuk apa? Untuk apa?

Tahun 2006, tulisan Sabam Siagian di Suara Pembaharuan mengutip pendapat seorang sarjana yang menyatakan bahwa di negara-negara sedang berkembang ada yang berkultur membantu kemajuan dan ada juga yang berkultur menghambat kemajuan. Sabam membandingkan Vietnam dan Indonesia. Pada dekade 1960-an para sarjana sosial, politik, dan ekonomi meratapi perkembangan di Indonesia. Istilah yang digunakan adalah stranded society (masyarakat yang terdampar), lost opportunities (kesempatan yang dibiarkan berlalu), dan descent into vagueness (kemerosotan dalam kekaburan).

Detik-detik itu kembali hadir di tengah kita. Di depan mata. Masyarakat madani Indonesia harap bersiap-siap untuk merosot lagi, dan lagi, tiada henti....

NONO ANWAR MAKARIM
Mantan Pemimpin Redaksi Harian KAMI


Kembali

Globalisasi dan Kerapuhan Negara

OPINI
Oleh
ADDE WIIRASENJAYA
Dicuplik dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Selasa, 24 Juni 2008 halaman 06


Boleh jadi, saat ini Negara dan pasar menjadi entitas yang menyajikan pertarungan paling frontal pada fase neoliberal.

Setidaknya, di Tanah Air, turbulensi sosial terus mengiringi segala upaya integrasi negara atas rezim pasar global.

Kerapuhan

Rezim neolib selalu gaga menyembunyikan watak ambigunya. Di satu sisi, dunia menjadi tragedi sejarah bagi dunia yang lain. Dunia yang makmur dan mampu melakukan integrasi atas struktur pasar dunia menjadi actor yang sedang merayakan perkembangan itu. Namun, bagi sebagian negara lainnya, termasuk kita di sini, globalisasi seperti meletakkan masyarakat pada labirin yang gelap dan berliku. Alih-alih menjadi pemain dan actor kuat, sebagai penonton pun mungkin kita tak cukup punya modal untuk sekadar membeli karcis!

Negara-negara industri utama yang tergabung dalam grup delapan (G-8), misalnya, merupakan negara-negara yang memiliki koridor kedaulatan negara yang diperluas oleh aktor-aktor ekonomi yang dimiliki. Sementara ketiadaan aktor ekonomi di Negara miskin dan berkembang membuat koridor kedaulatan negara di kawasan ini berjalan stagnan, bahkan menyusut pada arena domestik.

Perluasan ruang kedaulatan (space of souvereignty) dari negara industri terus menekan posisi negara yang lemah secara ekonomi untuk hanya mengurus diri sendiri dengan berbagai instrument dan gagasan yang mengalami rasionalisasi sebagai instrument dan gagasan global. Sampai kemudian, momen ini berlanjut pada modus relasi yang berbeda antara negara dan pasar.

Maka, bagi negara-negara industri, globalisasi boleh jadi merupakan momen di mana negara menciptakan pasar (state make market). Sebaliknya bagi negara berkembang, globalisasi merupakan momen di mana pasar menciptakan negara (market make state).

Disharmoni negara dan pasar pada level global berlanjut pada disharmoni pasar dan berbagai kelompok sosial-politik pada level domestik. Sebagai sebuah prosedur, kehidupan demokrasi berlangsung sebagai bentuk penyesuaian negara atas arus liberalisasi dunia. Di negara yang lemah, disharmoni pasar dan negara menampilkan dirinya dalam arena sosial-politik yang ditaburi berbagai kelompok yang juga disharmoni.

Negara agaknya sibuk melakukan berbagai penyesuaian atas tekanan pasar dunia dan cenderung menjadi administrator finansial internsional. Sementara dalam arena sosial-politik, negara tampil gugup dan cenderung mengalami kerapuhan (fragile).

“Floating state”

Kerapuhan negara niscaya menjadi risiko ekonomi-politik yang harus diterima negara-negara yang basis industrinya amat lemah. Malangnya, kapasitas sosial-politik negara pada tingkat domestik juga mengalami take-over oleh berbagai kekuatan sosial-politik komunal yang yang mengalami pertumbuhan luar biasa dalam ruang politik liberal yang secara bersamaan dibawa arus liberalisasi pasar.

Bercampur dengan berbagai sentimen lama – dari agama, ideologi, hingga etnisitas - pertumbuhan berbagai kelompok itu pada gilirannya akan membuat pasar gagal mengendap dan melakukan pendalaman (deepening). Inilah faktor yang juga menjadi penyebab kegagalan pendalaman demokrasi (deepening democracy) di Indonesia.

Koridor kedaulatan negara mendapat desakan hebat pada level domestik dari kehadiran berbagai kekuatan komunal. Negara jatuh menjadi rumah singgah para aktor politik, menjadi sekadar penanda dari proses politik demokratis.

Dalam pesta demokrasi global, posisi negara yang lemah berubah menjadi negara mengambang (floating state) yang lebih kurang sama posisi dan karakternya dengan massa mengambang (floating mass) dalam pemilu.

Maka kini, posisi negara di Indonesia justru kian melemah bukan saja oleh gempuran rezim ekonomi-politik dunia, tetapi juga oleh semakin meruyaknya aktor-aktor politik komunal di level domestik. Akibatnya, negara selalu terlambat – jika tak ingin disebut gagal – melakukan berbagai konversi yang mampu menggerakkan kekuatan politik di bawahnya secara koheren dan berkelanjutan. Kegagalan melakukan konversi itulah yang mungkin membuat negeri ini tak pernah berhasil menemukan apa yang oleh Fukuyama disebut modal sosial (social capital).

Hingga kini, upaya merumuskan modal sosial selalu jatuh pada kontruksi sejumlah jargon ketimbang spirit, mendedahkan ritus ketimbang impetus, mencipta dogma ketimbang paradigma.

Kini, agenda besar bangsa ini adalah melakukan pendalaman, baik pada arus demokrasi maupun ekonomi. Tanpa pendalaman, demokrasi hanya menjadi ritus yang melelahkan. Sementara ekonomi yang tanpa pendalaman akan kembali mengulang cerita bubble economy yang penuh kepalsuan.

Tanpa pijakan kaki yang kuat, globalisasi barangkali hanya berakhir menjadi tsunami.

ADDE M WIRASENJAYA
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta