Kamis, November 13, 2008

Bangsa yang Kehilangan Harga Diri

Diunduh dari Harian Kompas, Kamis, 13 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/13/00444190/bangsa.yang.kehilangan.harga.diri

Oleh Adi Andojo Soetjipto

Harian Kompas (Selasa, 11/11/2008) memuat berita yang amat mengejutkan. Halaman pertama harian ini memuat foto besar dan di bawahnya ada tulisan berhuruf besar dan tebal, ”Kejagung Menahan Romli”.

Yang dimaksud dengan Romli adalah Romli Atmasasmita, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Beberapa tahun lalu, nama Romli Atmasasmita amat dikenal di kalangan para penegak hukum karena perannya yang amat menonjol dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, berita bahwa Romli ditahan dan menjadi tersangka kasus korupsi cukup mengejutkan banyak pihak.

Meski Romli menyatakan tidak tahu untuk apa ditahan dan penahanan ini sudah diskenariokan, fakta bahwa dia sudah ditahan memberinya stigma yang tidak akan bisa dihapus selama hidupnya. Lebih-lebih apabila kasusnya kelak sampai ke pengadilan, bahkan sampai dijatuhi hukuman.

Lepas dari itu, kita patut bertanya mengapa orang yang pernah dijuluki ”pakar korupsi” dan yang pernah beberapa kali menjadi Ketua Tim Penyusunan Undang-Undang Antikorupsi terlibat tuduhan telah melakukan korupsi? Apakah dia sekadar menjadi korban dari keadaan negara yang korupsinya sudah merambah ke mana-mana dan tanpa disadari ia terkena kena imbasnya? Ataukah dengan sadar dia telah ikut melakukan itu?

Hilangnya harga diri

Ada dugaan, tindakan Kejaksaan Agung itu merupakan ”balas dendam” pihak kejaksaan kepada Romli karena dinilai vokal dalam menuntut penyelesaian kasus BLBI. Namun, Ketua Tim Jaksa Penyidik Faried Harianto mengatakan ”ini merupakan penegakan hukum murni” karena dari alat bukti ditemukan keterlibatan tersangka, termasuk Romli.

Sungguh, kita merasa prihatin mengalami kejadian ini. Apakah semua kejadian ini muncul akibat bangsa ini sudah kehilangan harga diri? Sampai-sampai orang yang paling bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi pun, bahkan yang boleh dikatakan memiliki otak brilian dalam menyusun undang-undang antikorupsi, telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi?

Bangsa yang kehilangan harga diri berarti bangsa yang mati. Mati dari memiliki rasa malu, mati dari memiliki rasa saling mengasihi sesama, mati dari memiliki nurani, mati dari segalanya kecuali nyawa yang masih hidup.

Dulu, zaman pemerintah kolonial Belanda, ada yang disebut fraude. Ambtenar yang melakukan fraude dan terbukti akan segera masuk penjara dan dipecat. Ambtenar yang melakukan fraude itu paling tinggi pangkatnya adalah setingkat regent (bupati) ke bawah dan kebanyakan fraude dilakukan karena ambtenar itu terlibat utang karena berjudi. Yang jelas baik, si ambtenar maupun keluarganya sama-sama merasa malu besar. Perbuatannya yang merupakan aib itu dirahasiakan rapat-rapat.

Kini, keadaannya sudah berbeda 180 derajat. Pegawai negeri yang melakukan korupsi justru yang pangkatnya sudah tinggi sekali, setingkat direktur jenderal, bahkan ada yang setingkat menteri. Kebutuhan untuk melakukan korupsi juga berbeda antara zaman dulu dan sekarang. Korupsi untuk zaman sekarang bukan untuk berjudi, tetapi untuk bisa hidup mewah. Dan mereka yang melakukan korupsi itu sama sekali tidak merasa malu. Bahkan, keluarganya pun merasa bangga. Untuk berangkat ke sekolah, anaknya pun diantar dengan menggunakan mobil mewah hasil korupsi.

Kewajiban kita

Sekarang kewajiban kita adalah bagaimana membuat bangsa yang sudah mati ini hidup kembali. Diakui, hal ini merupakan kewajiban yang amat berat karena menyangkut seluruh elemen bangsa.

Menurut penulis, upaya untuk menghidupkan kembali harga diri, bangsa ini harus dibuat sejahtera, hidup makmur, dan merata menyangkut segala lapisan masyarakat. Tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada anak- anak yang menderita gizi buruk. Perut seluruh rakyat kenyang, badannya pun sehat. Mereka semua tinggal di perumahan yang memenuhi kebutuhan, dengan air melimpah.

Jika semua ini sudah terpenuhi, seluruh rakyat pasti menuruti kehendak para pemimpin. Kini, tinggal pemimpinnya yang harus pandai, bijaksana, tidak memikirkan diri sendiri, sebaliknya justru pemimpin yang memikirkan kepentingan rakyat.

Pertanyaannya, apakah negeri ini memiliki pemimpin yang berkualitas? Pemimpin yang pandai banyak jumlahnya. Pemimpin yang bijak yang tidak memikirkan diri sendiri amat sulit dicari. Kebanyakan mereka cuma berpikiran ”aku dan saku”. Ini merupakan pekerjaan rumah untuk Pemilu 2009.

Adi Andojo Soetjipto Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung

[ Kembali ]