Jumat, Agustus 22, 2008

Presiden : Indonesia Telah Lepas Dari Krisis

Ekonomi
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jumat, 22 Agustus 2008

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, Indonesia telah lepas dari krisis ekonomi, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi demi menuju masa depan yang lebih baik.

Demikian petikan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membacakan keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (22/08).

Menurutnya, Indonesia lepas dari krisis, tercermin dari pendapatan per kapita masyarakat yang terus meningkat dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang kian melonjak.

"Kita patut bersyukur, bahwa pendapatan per kapita meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 pendapatan per kapita baru mencapai 1.186 dolar AS, namun pada 2007 telah menjadi 1.946 dolar AS atau meningkat dengan 64 persen dalam tiga tahun," kata Presiden.

Angka ini diutarakannya, juga merupakan capaian pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari masa sebelum krisis ekonomi 1998.

Sementara itu, PDB Indonesia pada tahun 2007 telah mencapai nilai sebesar Rp3.957 triliun. Dengan PDB sebesar itu, Indonesia termasuk dalam 20 negara dengan PDB terbesar di dunia. (Ant)

[ Kembali ]

Minggu, Agustus 17, 2008

Bangsa di Tapal Batas

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 16 Agustus 2008

Limas Sutanto

Ketika bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan menyambut Proklamasi Kemerdekaan pada tahun ini, ada kejadian ”kecil” yang menarik tetapi sekaligus memalukan. Dalam kejadian yang ditayangkan MetroTV pada 8 April 2008 malam itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono marah karena beberapa pejabat yang mendengarkan pidatonya ternyata tidur pulas.

Mungkin beberapa pejabat itu tidur (atau tertidur) karena letih, bosan, atau karena nyamannya udara dalam ruangan berpenyejuk udara, atau karena alasan manusiawi lainnya. Kendati demikian, tidur di hadapan presiden dapat dipandang sebagai peristiwa yang tidak biasa. Tidur seperti itu bisa mencerminkan terserapnya seluruh kehidupan individu pada semata diri sendiri (self-absorbtion).

Kejadian kecil itu kita hayati sebagai kejadian besar ketika kita memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan menyambut Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini dengan kesadaran betapa para politikus, pejabat publik, dan warga bangsa di negeri ini juga diresapi fenomena absorbsi-diri. Bukankah kenyataan hidup hamparan warga bangsa ini kini ditandai secara tandas oleh kebiasaan efektif mereka untuk hidup bagi diri sendiri, mengutamakan keuntungan untuk diri sendiri, tak memikirkan nasib orang-orang lain, serta memanipulasi, mengeksploitasi, dan menindas orang- orang lain demi keuntungan diri sendiri? Inilah absurditas yang dihidupi terus oleh warga bangsa ini.

Absurditas itu terwakili oleh pertanyaan, ”Bagaimana orang- orang yang mengaku sebagai warga sebuah bangsa justru mengejawantahkan tindakan-tindakan nyata yang menandaskan bahwa mereka tidak mengakui pentingnya berbagi dengan sesama mereka yang sebangsa, tidak memikirkan kepentingan seluruh warga bangsa, dan tidak berbuat nyata untuk kesejahteraan seluruh rakyat?”

Absurditas itu terkuak jelas dalam kebiasaan mengorupsi uang yang mestinya diperuntukkan penyejahteraan rakyat, dalam kebiasaan pejabat memperkaya diri sendiri melalui jabatan publik yang sesungguhnya adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya untuk digunakan demi menyejahterakan rakyat. Juga kebiasaan mempraktikkan nepotisme dalam berbagi rezeki, kesempatan, dan jabatan, serta dalam kebiasaan memperlakukan orang-orang tertentu sebagai ”kelompokku” atau ”orang-orang kita” sembari memperlakukan orang-orang lain sebagai ”bukan kelompokku” atau ”bukan orang- orang kita”.

Hakikat memperingati Kebangkitan Nasional dan Proklamasi Kemerdekaan adalah merayakan proses menyatunya hamparan luas orang ke dalam sebuah bangsa yang disebut Indonesia. Sungguhkah kenyataan hidup kebangsaan Indonesia kini masih mengandung kelayakan yang memadai untuk memperingati proses itu?

Dipinjamkan rakyat

Kini kita justru melihat betapa cara warga bangsa ini memandang dan mengalami kehidupan nyata hari demi hari begitu sem- pit, terbatas, hanya selebar diri sendiri. Tata pandang dunia (worldview) tersebut bagaikan sebuah ruang yang besarnya hanya sebatas diri sendiri, tak memberikan kemungkinan bagi kehadiran orang-orang lain dan ”dunia lain”.

Tata pandang dunia yang sangat sempit itu makin terkuak jelas setiap kali para politikus, pejabat, dan warga bangsa di negeri ini melakukan kegiatan yang ujung akhirnya adalah kekuasaan dan uang. Salah satu contoh telak dan aktual adalah beberan perilaku para politikus, pejabat, dan warga bangsa dalam rangkuman kegiatan menyongsong pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden serta wakil presiden tahun depan.

Dapat dirasakan betapa bangsa ini sedemikian lemah di hadapan kekuasaan dan uang. Kebiasaan menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti digdaya untuk memuaskan nafsu dan kepentingan diri sendiri begitu kuat, sedangkan tanggung jawab serta keniscayaan untuk menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti yang dipinjamkan oleh rakyat untuk menyejahterakan seluruh warga bangsa tanpa kecuali begitu lemah.

Seyogianya peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan Proklamasi Kemerdekaan tidak dihayati sebagai hura-hura emosional yang kosong belaka. Keduanya lebih patut dialami sebagai peringatan betapa kita niscaya mengatasi kebiasaan menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti digdaya untuk memuaskan nafsu dan kepentingan diri sendiri, dan menggantinya dengan kebiasaan baru untuk menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti yang dipinjamkan oleh rakyat untuk menyejahterakan seluruh warga bangsa Indonesia tanpa kecuali.

Peringatan itu bukan main- main. Absurditas absorbsi-diri menjadikan bangsa ini sebagai “bangsa di tapal batas” (a borderline nation), yaitu bangsa yang berada pada tapal batas tipis antara ”tetap ada” dan ”sedang sirna”. Makna kontekstualnya: Kita sedang berada pada tapal batas tipis antara ”bangsa Indonesia yang tetap ada” dan ”bangsa Indonesia yang sedang sirna”. Agar bangsa Indonesia tetap ada (dan bertumbuh kembang), para politikus, pejabat, dan hamparan warga bangsa ini jangan terus menghidupi absorbsi-diri yang picik. Mereka niscaya keluar dari penjara sempit yang hanya selebar diri sendiri dan berbuat sebanyak mungkin bagi perwujudan kesejahteraan seluruh warga bangsa tanpa kecuali.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Wakil Presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists, Tinggal di Malang

[Kembali]


Jumat, Agustus 15, 2008

Nasib Bangsa yang Risau

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 15 Agustus 2008.

Tonny D Widiastono

Memasuki usia 63 tahun, banyak hal yang perlu dijadikan bahan renungan. Yang jelas, negara-bangsa ini bukannya menjadi semakin maju dan makmur, sebaliknya justru makin mundur, makin tersungkur. Dalam ketersungkuran itu, berbagai elemen yang dimiliki negara-bangsa ini belum mampu menawarkan alternatif pemecahannya.

Kemunduran atau ketersungkuran itu antara lain bisa dirasakan dalam hilangnya perasaan sebagai saudara di antara sesama warga-bangsa yang ”mulai hidup terkotak-kotak”; kualitas kesehatan yang merosot; prestasi olahraga yang menurun; tiadanya pemimpin yang benar-benar memiliki arah, visi, dan mengutamakan kesejahteraan warga-bangsa.

Kini, apa yang bisa dibanggakan dari negara-bangsa ini? Pendidikan yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar pun ternyata terjebak dalam lingkaran persoalan yang sama. Pendidikan, sebagai sarana untuk membantu warga-bangsa, belum bisa dijadikan ”senjata ampuh” untuk mengatasi masalah.

Di bidang olahraga, seorang peserta mengemukakan bahwa bidang kegiatan ini seharusnya bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. Selain itu, olahraga juga menjadi indeks kemajuan suatu negara-bangsa. Tetapi, apa yang kita alami sekarang? Prestasi olahraga kita melorot tajam. Menyorot kemerosotan prestasi, tidak lepas dari perjalanan olahraga kita selama tiga zaman. Ketiga zaman olahraga itu ialah zaman baby boomers; zaman Keluarga Berencana (KB); dan zaman milenium.

Pada zaman baby boomers, ketika seseorang atlet dipanggil masuk pelatnas, ia merasa menjadi manusia terpilih dan berlatih mati-matian. Semangatnya pun dipompa dengan dinyatakan mewakili 175 juta rakyat Indonesia. Prestasi pun bermunculan. Tidak mengherankan bila dalam Ganefo, Indonesia menduduki peringkat kedua.

Pada zaman KB, ketika dipanggil masuk pelatnas untuk menghadapi ajang olahraga antarbangsa, sang atlet segera bertanya, ”berapa uang sakunya?” Dan pada zaman milenium ini, atlet yang dipanggil pelatnas bisa bertanya ”saya (di)sekolah(kan) atau tidak?” Tidak mengherankan bila prestasi olahraga kita kian menurun. Di kawasan Asia Tenggara pun prestasi kita merosot tajam.

Ini adalah contoh nyata betapa kita sulit menghadapi apa yang kita kenal sebagai fundamentalisme pasar. Ada semacam semboyan yang dikumandangkan oleh mereka yang percaya kepada pasar bahwa pasar dapat mengatur diri sendiri.

Atas keadaan ini, sebagai warga negara kita harus bisa mengurus diri sendiri, dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya dapat mengubah kualitas hidup. Semua harus didesain, direncanakan.

Bangsa yang risau

Melihat berbagai gejolak yang terjadi di masyarakat, menunjukkan adanya tanda-tanda, bangsa Indonesia sedang risau. Sumber kerisauan itu terkait eksistensi bangsa-negara Indonesia; masa depan bangsa-negara Indonesia yang tidak menentu; serta kesadaran sebagai warga negara (citizens) berikut segala hak dan kewajibannya yang macet dan tidak berkembang.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Istilah kewarganegaraan (citizenships) mempunyai arti ganda, sebagai suatu praktik dan pendidikan untuk praktik itu. Sebagai praktik, kewarganegaraan menunjuk hak dan kewajiban warga negara, sedangkan sebagai pendidikan, kewarganegaraan menunjuk pengajaran dan pembelajaran atas praktik itu. ”Dulu, para siswa masih mendapat pelajaran civics yang sebetulnya merupakan pendidikan mengenai citizenships,” ujar seorang pembicara.

Dengan demikian, pendidikan menjadi sarana penting untuk menyiapkan seseorang menjadi warga negara yang sanggup melibatkan diri dalam urusan-urusan publik. Dengan keterlibatan dalam politik dan urusan publik, seseorang menjadi individu yang matang dan memiliki berbagai kebajikan sebagai warga negara. Dengan kata lain, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari usaha untuk menjadi warga negara yang baik.

Selain itu, pendidikan juga menjadi sarana untuk menanamkan kesadaran bahwa tiap warga negara adalah anak Indonesia, bukan Batak, bukan Bugis. Melalui pendidikan, sekolah menanamkan citizenships dan ini sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa. Secara sadar, para pendiri bangsa menghapus Piagam Jakarta karena ingin mempertahankan bahwa negeri ini merupakan rumah kebangsaan yang harus dibangun bersama.

Sayang, arus kuat dan indah itu, kini meredup. Amat terasa, kita sekarang ”hidup sendiri-sendiri”, terkotak-kotak. Para pemimpin yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung, justru lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok. Partai- partai yang semula berjanji akan menjadi pengayom dan penuntun masyarakat tak memenuhi janji. Masyarakat merasa seperti dibiarkan berjalan sendiri. Karena itu, tidak mengherankan bila kini banyak anggota masyarakat tidak lagi merasakan keuntungan sebagai warga negara. Adakah ini pertanda bahwa negara gagal menjalankan tugasnya. Sebagai penyelenggara pendidikan, adakah negara juga gagal dalam menanamkan dan menyiapkan seseorang menjadi warga negara yang menyadari hak dan kewajibannya.

Hilangnya negarawan

Muncul pertanyaan, mengapa banyak warga negara kini merasa ”tidak memiliki” negeri ini? Banyak warga negara merasa ”terasing” dengan negerinya sendiri. Mereka merasa terasing dengan ”kiri-kanan”, terasing dengan pemimpinnya, dan terasing dengan negaranya. Saat yang menyadarkan mereka sebagai warga negara adalah ketika harus mengurus atau memperpanjang kartu tanda penduduk (KTP). Dan dalam kenyataannya, KTP juga sering tidak memberi pengaruh apa-apa bagi warga negara. Kita memang sudah hidup terpisah-pisah, tanpa saling berhubungan.

Mengapa ini terjadi? Seorang peserta menunjuk, hal itu disebabkan hilangnya sifat kenegarawanan di kalangan para pemimpin. Penilaian bahwa kenegarawanan hanya dimiliki para pemimpin, disanggah yang lain dengan menyatakan, semua warga negara adalah negarawan. Alasannya, merekalah pemilik sah negara ini, tetapi istilah negarawan itu kemudian dipakai hanya untuk mereka yang menjadi pemimpin, menteri, gubernur, dan lainnya.

”Hal-hal inilah yang mungkin membuat wong cilik merasa tidak ikut memiliki negeri ini. Maka, perlu ada upaya serius untuk melakukan perubahan. Dan, satu-satunya upaya itu adalah melalui pendidikan,” katanya.

Selain hilangnya negarawan, hal lain yang merisaukan adalah hilang atau lumpuhnya akal sehat dan nurani. Ketika itu semua terjadi, kita ingin kembali pada dunia pendidikan kita. Kita berharap agar pendidikan menjalankan peran utamanya dalam membangun akal sehat dan nurani, tetapi kenyataan menunjukkan, pendidikan kita tidak atau belum menuju ke arah itu.

Keadilan sosial

Melihat hiruk-pikuknya masalah yang melingkupi bangsa ini, muncul tawaran melakukan perubahan dengan mengusung cita-cita keadilan sosial sebagai pilar kesadaran bersama. Untuk itu, kekuasaan ”harus direbut” dalam pengertian untuk perubahan itu sendiri.

Mengapa ini dilakukan? Karena jika masih berpikir tentang pentingnya melakukan kebajikan dan toleransi untuk menolong warga negara miskin dan dijalankan tanpa kekuasaan, dikhawatirkan justru tidak akan bisa menolong perjalanan bangsa yang sudah terpuruk hampir total ini. Karena itu, apa pun yang dipikirkan mengenai kewarganegaraan, tentang demokrasi, kiranya harus dikembalikan ke masalah dasar, yaitu ketimpangan sosial. Orang miskin yang lapar tidak pernah bisa mengartikulasikan kelaparannya, seperti orang kaya merasakan hal yang sama.

Tawaran yang lain adalah keharusan untuk memberikan seluruh hak dan kewajiban secara setara kepada setiap warga negara. Langkah ini perlu ditempuh mengingat bidang yang digarap terkait program politik.

Namun, bagaimana semua itu bisa terpenuhi jika krisis ekonomi tidak terselesaikan lebih dulu. Dengan demikian, sebenarnya dasar persoalan kita adalah krisis ekonomi. Tanpa bisa menyelesaikan krisis ekonomi, apa pun retorika yang keluar hanyalah ekspresi kosong. Sebab, apa pun yang memengaruhi semua kehidupan—termasuk masalah kewarganegaraan—tidak akan terselesaikan jika struktur dasar (basic structure) kehidupan, yaitu ekonomi, tidak teratasi.

Maka, yang terjadi dalam superstructure pun pada dasarnya amat bergantung pada persoalan politik yang kita hadapi sehari-hari, yaitu masalah kesejahteraan.

Kaum intelektual

Usul lain guna mengatasi persoalan bangsa yang kian rumit ini adalah ajakan bagi kaum intelektual untuk bersatu guna melakukan perubahan secara berani. Diakui, upaya melakukan perubahan sungguh sulit mengingat kita semua sudah ”saling terpisah”. Tetapi, apa pun risikonya, bersatunya kaum intelektual dirasa penting, bukan untuk menjadi politisi murahan, melainkan benar-benar menjadi politisi dalam pelatihan diri menjadi negarawan.

Meskipun demikian, diingatkan bahwa kaum intelektual sekarang tampil lebih fungsional daripada semacam kelompok. Para intelektual sudah didistribusikan ke berbagai institusi. Maka, amat diharapkan peran intelektual itu kini bisa dilakukan oleh media. Melalui media, kehidupan intelektual tidak akan mati dan terus melakukan estafet. Inikah jalan yang harus ditempuh oleh bangsa yang merisaukan dirinya sendiri?


[Kembali]

Kamis, Agustus 14, 2008

Kepemimpinan Bangsa Ini Kehilangan Arah

Kebangsaan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 14 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Kepemimpinan bangsa Indonesia saat ini kehilangan arah. Pasalnya, dalam pertandingan memperebutkan kepemimpinan telah menimbulkan penggunaan anggaran negara yang besar. Namun, yang lebih menyedihkan lagi adalah proses politik yang memakan anggaran besar ini tidak menghasilkan kepemimpinan yang diharapkan, yaitu pemimpin yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Hal itu disampaikan Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Amanat Nasional (PAN) Sayuti Asyathri di Jakarta, Rabu (13/8). ”Kita kehilangan substansi, ke arah mana bangsa ini akan dibawa, seperti apa cara pemimpin kita mewujudkan cita-cita negara, kita tidak pernah tahu,” ujarnya.

Sayuti mengungkapkan, pemilu mendatang yang akan menghabiskan anggaran lebih dari Rp 17 triliun untuk Komisi Pemilihan Umum, dan sekitar Rp 2 triliun untuk Badan Pengawas Pemilu, akan sangat menyedihkan jika hanya melahirkan pemimpin yang tidak tahu akan melakukan apa untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bangsa ini tentu akan sangat rugi jika pemimpin mendatang yang dihasilkan melalui proses demokrasi yang menghabiskan anggaran itu hanya memiliki perhatian pada kekuasaan dan usaha untuk mempertahankan kekuasaannya semata.

”Kita sedih dengan kondisi seperti ini. Itu sebabnya PAN, paling tidak, sudah memiliki buku yang bisa dijadikan pegangan jika diberikan kesempatan oleh rakyat untuk memimpin negeri ini,” ujar Sayuti, yang merujuk kepada buku Amien Rais yang berjudul Menyelamatkan Indonesia.

Dalam diskusi, Selasa petang di Rumah PAN, mantan Ketua MPR Amien Rais mengatakan, Indonesia masih punya kesempatan untuk menyelamatkan bangsa ini. Berbagai keterpurukan yang dialami Indonesia secara konsisten bisa dihilangkan dengan kepemimpinan yang lebih mempunyai visi ke depan.

”Bangsa ini membutuhkan ketegasan. Bangsa ini harus berani mengatakan tidak dan menolak ekonomi pasar dan membangun kemandirian. Caranya, bisa saja melihat model China, Malaysia, atau Bolivia, tidak terlalu fotokopi, tetapi juga tidak terlalu jelimet. Bangsa Indonesia perlu perbaikan mental, dari inlander menjadi mental mandiri. Berdaulat, mandiri, dan dirasuki ruh kebangsaan,” ujarnya.

Hal yang paling mendesak untuk dilakukan pemimpin, menurut Amien, segera mewujudkan amanat sistem ekonomi nasional yang dituliskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pasal itu jelas sekali menghendaki rakyat negeri ini sejahtera. Tak perlu interpretasi yang susah, tetapi belum ada presiden yang mampu mewujudkan konstitusi itu. (mam)

[Kembali]


Saatnya Indonesia Bangkit

Oleh Satjipto Rahardjo
Diunduh dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, 14 Agustus 2008 halaman 06.


Tahun ini kalender Indonesia dipenuhi tanggal-tanggal yang menjadi semacam prasasti bangsa. Tengok, ”100 Tahun Kebangkitan Nasional” dan ”80 Tahun Sumpah Pemuda”. Tanggal-tanggal itu tidak sekadar bilangan, tetapi memiliki aura magis dan sakral. Saat-saat seperti itu tepat untuk memulai sesuatu yang luar biasa.

Enam puluh tiga tahun lalu, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dengan menerobos tertib hukum Hindia Belanda. Apabila hukum Hindia-Belanda dipatuhi, bukan seperti itu cara bangsa Indonesia memerdekakan diri. Namun, bangsa ini telah melakukan rule breaking, mematahkan rambu-rambu perundang- undangan Hindia-Belanda, demi menjalankan suatu misi besar, yaitu melepaskan diri dari ketidakadilan kolonial.

Kemakmuran rakyat

Seusai proklamasi, diumumkan ”Magna Charta Indonesia” bernama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). UUD itu merupakan dokumen agung yang menegaskan konsep keadilan Indonesia, yaitu ”keadilan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat”.

Maka, negara hukum Indonesia yang dibentuk lewat UUD mengemban tugas amat berat, yaitu mewujudkan amanat agar hidup rakyat Indonesia sejahtera dan bahagia. Amanat itu bukan mimpi karena negeri ini memiliki potensi untuk itu.

Enam puluh tiga tahun sesudah peristiwa besar itu, rakyat Indonesia berada dalam keadaan krisis, terpuruk, dilecehkan dunia, dan jauh dari cita-cita menjadi bangsa yang makmur, sejahtera, dan bahagia. Indonesia menjadi seperti itu bukan karena ”serangan” dari luar, tetapi karena digerogoti dari dalam oleh sebagian bangsa sendiri. Mereka itu para koruptor, benalu bangsa, yang melakukan korupsi harta, kekuasaan, moral, dan martabat bangsa. Institusi negara satu demi satu ambruk.

Korupsi dimulai secara kecil-kecilan dan sporadis. Pada tahun 1950-an Menteri Djody Gondokusumo pernah terjerat korupsi, tetapi itu kejadian yang amat jarang. Kini, orang tidak kaget lagi jika ada menteri, anggota parlemen, jaksa agung muda, dan hakim agung didakwa korupsi.

Meminjam periodisasi Syed Hussein Alatas, sosiolog korupsi, mungkin korupsi di negeri kita sudah sampai tahap bunuh diri. Korupsi yang bagai benalu telah menggerogoti pohon tempat benalu itu menumpang hidup sehingga pohon itu akan mati, termasuk benalu sendiri. Ibaratnya, kalau 40 tahun yang lalu kita masih dapat menggunakan arit untuk membunuh benalu-benalu yang menempel di pohon Indonesia itu, kini korupsi sudah harus dilawan dengan bom.

Kini, kita tidak dapat lagi mengandalkan cara-cara konvensional seolah-olah negeri ini masih baik-baik saja. Kita memang sudah membuat komitmen besar dalam UUD 1945 untuk menjadi negara hukum. Sebagian orang mengatakan, karena ini negara hukum, memberantas korupsi harus dengan berhukum-hukum. Banyak orang berpendapat, terobos-menerobos tidak termasuk menu dalam suatu negara hukum karena itu ditabukan.

Makna berhukum

Pada saat krisis besar seperti sekarang, kita perlu memikirkan kembali berhukum itu? Negara dan republik ini dilahirkan melalui rule breaking. Banyak negara, bahkan AS, melakukan itu. AS melakukan terobosan, mengesankan saat ingin membangun suatu orde hukum baru untuk lepas dari Inggris pada abad ke-19. Terobosan itu dibungkus dengan nama American developments, American approach, American doctrines, American concept of law. Dunia gemetar (shocked and bewildered) menyaksikan ulah AS itu. Namun, dunia menggonggong kafilah AS berlalu.

Kita perlu memiliki determinasi untuk melakukan cara berhukum yang luar biasa. Selain itu, diperlukan alasan yang amat kuat mengapa kita melakukannya. Tidak setiap hari kita boleh menerobos. Alasan itu adalah pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan besar dalam UUD 1945. Kita tak gampang melakukan terobosan, tetapi karena ingin menyelamatkan amanat UUD yang lebih berharga daripada mempertahankan permainan hukum secara konvensional. Hukum perlu progresif dalam menyelamatkan amanah UUD.

Bernegara hukum adalah suatu konsep yang jauh lebih besar daripada bernegara undang-undang daripada kutak-katik peraturan dan prosedur. Kini, dalam suasana krisis yang amat mengimpit, pemahaman hukum dengan makna lebih besar/dalam perlu dilakukan. Dalam bahasa Ronald Dworkin, kini kita harus pandai melakukan moral reading of the constitution, bukan sekadar mengeja teks UUD.

Status hukum koruptor tidak hanya seorang yang ”merugikan keuangan negara”, tetapi ”merusak bangsa dan negara”. Penyuapan jaksa tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi merusak citra bangsa dan mengkhianati UUD.

Hari kemerdekaan ini kita pakai sebagai awal menyelamatkan cita-cita keadilan bagi bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD Republik Indonesia 1945 dengan cara bernegara hukum yang lebih berani, kreatif, inovatif, cerdas, dan progresif. Untuk itu, seluruh (komponen) bangsa harus bersatu terlebih dahulu.

Dirgahayu Republik Indonesia.

Satjipto Rahardjo
Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang


[Kembali]

Jumat, Agustus 08, 2008

Mengapa Indonesia Gagal?

Diunduh dari Haria KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008.


Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia sebenarnya juga menempuh jalur kebijakan industrialisasi yang hampir sama dengan Korsel, yakni promosi ekspor dan substitusi impor pada tahap awal proses industrialisasinya.
Namun, langkah ini tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif. Penyebabnya jelas, tidak adanya kebijakan industrialisasi yang terintegrasi dengan kebijakan sektor lain, seperti perdagangan, pengembangan sumber daya manusia, dan teknologi.
Kajian Chuk Kyo-kim dari Korea Institute for International Economic Policy, Shuvojit Banerjee dari UNSFIR, Shafiq Dhanani dari UNIDO/UNDP, serta Thee Kian Wie dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan Korea Selatan (Korsel) justru adalah faktor-faktor di mana Indonesia gagal.
Selain tidak adanya suatu pendekatan kebijakan terintegrasi dalam pembangunan industri, terjadi kegagalan strategi industri yang di bawah kepemimpinan negara (pemerintah pusat).
Ketiga, kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Keempat, kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).
Chuk Kyo-kim dan Thee Kian Wie sendiri membagi kebijakan pembangunan industri Indonesia sebelum krisis 1997 ke dalam tiga fase besar, yakni 1966-1974, 1975-1984, dan 1985-1997. Fase pertama ditandai strategi ekonomi pintu terbuka yang ditujukan untuk menarik investasi asing dan utang dalam rangka membiayai impor dan perbaikan infrastruktur.
Fase kedua adalah fase lonjakan harga minyak (oil-boom). Pada fase ini, pemerintah menerapkan kebijakan industri substitusi impor yang dibiayai dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah menghasilkan sendiri di dalam negeri produk-produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa menghemat devisa.
Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja, gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank-bank BUMN. Tujuan dari kebijakan ini adalah membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek-proyek besar sumber daya alam itu.
Namun, tekanan fiskal akibat anjloknya harga minyak mentah di pasar dunia tahun 1982 dan 1986 serta ambruknya nilai tukar dollar AS pasca-Plaza Accord (kesepakatan untuk melakukan penyesuaian nilai tukar dollar AS-yen dalam rangka mengoreksi defisit neraca perdagangan AS-Jepang) tahun 1985, memaksa pemerintah mengubah kebijakan secara dramatis.
Yakni kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan sekaligus liberalisasi investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor.
Fase ini ditandai dengan diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi, deregulasi sektor perbankan dan keuangan, yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai tukar rupiah sebesar 5 persen per tahun untuk menjaga daya saing.
Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riil hampir 30 persen per tahun pada kurun 1980-1993.
Namun, liberalisasi yang terjadi waktu itu sifatnya masih parsial dan gradual. Beberapa sektor industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat, termasuk industri perakitan mobil, semen, baja, rekayasa berat, pabrikasi baja, dan farmasi. Kebijakan industrialisasi pada fase ini sangat dipengaruhi oleh BJ Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) waktu itu.

Lompatan teknologi
Pada masa BJ Habibie sebagai Menristek, pemerintah menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi. Industri dimaksud adalah industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa, industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang terkait.
Argumen Habibie waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan pertumbuhan, menurut Habibie, yang diperlukan adalah investasi di teknologi canggih dan industri-industri bernilai tambah tinggi.
Alhasil, sumber penerimaan negara dalam jumlah besar digelontorkan ke industri-industri yang mendapat proteksi ketat dari pemerintah ini. Industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja menjadi dianaktirikan.
Kebijakan proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan pada fase ketiga kebijakan industri (1985-1997). Demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri-industri berat.
Namun, proteksi ini dinilai Chuk tak berhasil karena industri-industri yang diproteksi secara ketat itu ternyata tak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan industri nasional secara keseluruhan.
Ini berbeda dengan di Korea, di mana industri berat mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, penyumbang terbesar pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an tetap industri padat karya yang berorientasi ekspor, seperti tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan elektronik yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi.
Namun, karena problem struktural, munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat karya berorientasi ekspor itu sendiri tidak mampu tumbuh optimal.
Problem struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah tingginya kandungan impor, sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tak adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta rendahnya produktivitas buruh.
Chuk Kyo-kim melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks, lintas sektor dan saling kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi, sumber daya manusia, dan persaingan.
Kesan yang ada selama ini, kebijakan di tiap-tiap sektor itu jalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk suksesnya suatu proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling mendukung, konsisten, dan koheren. Lebih parah lagi, ia tidak melihat adanya kebijakan industri yang jelas setelah tahun 2004.
Kebijakan pengembangan industri pada era tersebut, menurut Chuk Kyo-kim, sangat didominasi nuansa kebijakan jangka pendek, itu pun gagal mengatasi isu-isu yang sifatnya struktural dari perspektif pembangunan jangka panjang.
Ke depan, kebijakan industrial targeting memang tak dimungkinkan lagi untuk diterapkan pada era WTO. Namun, menurut dia, itu tidak berarti dukungan kebijakan secara tak langsung untuk mendorong daya saing industri dan pembangunan industri nasional untuk kepentingan pembangunan nasional jangka panjang tak bisa lagi dilakukan.
Kuncinya tetap saja adalah pentingnya pendekatan kebijakan yang sifatnya terintegrasi dan koordinasi kebijakan yang lintas sektoral. Akan tetapi, sekali lagi, untuk bisa mewujudkan ini diperlukan suatu kepemimpinan yang kuat, tegas, visioner, dan efektif.


(sri hartati samhadi)

[Kembali]

Globalisasi Pemiskinan

Oleh Yonky Karman
Diunduh dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008 halaman 06.

Setelah beberapa anak balita meninggal karena gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao, tragedi kemiskinan kembali terulang di NTT. Ibu muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan tewas menggantung diri setelah meracuni putri semata wayangnya, Kamis (3/7).
Magdalena terimpit biaya hidup yang melambung dan utang yang belum terbayar, sementara suaminya hanya penganggur. Ia tidak tega melihat buah hatinya menderita. Gagal hidup seperti itu pertanda kelalaian dan ketidakberdayaan pemerintah yang terjebak globalisasi pemiskinan. Tiada arti kedaulatan teritorial tanpa kedaulatan pangan dan energi.
Warga miskin terjepit di antara pasar (global) dan negara. Pemerintah bertanggung jawab melindungi warga miskin dari mekanisme harga pasar dan pada saat sama memperkuat basis ekonomi warga. Berhadapan dengan pasar, posisi tawar negara harus kuat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan dasar warga. Ketika negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, rasionalitas bernegara digugat.

Keterbukaan gradual
Globalisasi bukan kambing hitam. Kini pihak pro-kontra kian merapat dalam tolok ukur keberhasilan globalisasi. Pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, penganjur liberalisasi perdagangan masih menggiring opini negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan adalah tingginya volume perdagangan, yang diyakini berdampak langsung pada pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan itu juga, Bank Dunia membagi negara menjadi globalizers dan nonglobalizers.
Benar, selama 50 tahun terakhir tak ada negara dengan kebijakan ekonomi tertutup tumbuh lebih cepat dari yang terbuka. Namun, sama benarnya, tidak ada negara yang tumbuh hanya karena membuka diri kepada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Pokok masalah bukan proteksi atau liberalisasi.
Fakta yang diabaikan, China baru belakangan serius meliberalisasi perdagangan dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Sebelum itu, China menerapkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan liberalisasi perdagangan. Pasar keuangan tertutup bagi investor asing. Tiada privatisasi BUMN. Namun, China memanfaatkan peran pasar, insentif swasta, dan inovasi kelembagaan yang disesuaikan kondisi lokal.
Selama periode pertumbuhan tinggi di China tahun 1980-an, rata-rata tarif lebih tinggi daripada periode pertumbuhan rendah tahun 1970. Reformasi perdagangan baru dilakukan satu dekade sesudah ekonomi tumbuh lebih tinggi. Secara parsial dan gradual membuka diri kepada produk impor dan investasi asing. Demikian juga India. Hingga pertengahan 1990-an, restriksi perdagangan kedua negara itu tertinggi di dunia.
Kisah serupa juga terjadi dengan Vietnam (bukan anggota WTO) yang perdagangan luar negerinya dimonopoli negara. Tarif tinggi dikenakan untuk impor produk pertanian dan industri (30-50 persen). Meski demikian, Vietnam cepat terintegrasi dengan ekonomi global. Ekspansi perdagangan mencapai dua digit. Angka pertumbuhan PDB lebih dari delapan persen. Tingkat kemiskinan menurun tajam.
Sebaliknya, Haiti (anggota WTO) drastis menurunkan tarif impor hingga 15 persen dan meniadakan semua restriksi kuantitatif. Namun, ekonomi stagnan. Tingkat investasi asing rendah. Integrasi dengan ekonomi global hanya maju sedikit. Bahkan, indikator sosial memburuk.
Dengan demikian, tiada resep tunggal untuk pertumbuhan ekonomi (Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth, 2007). Tiap negara harus menentukan prioritas kebijakan ekonominya dengan tepat, sesuai keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kejelian memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan pasar global dikombinasikan dengan investasi dan pelembagaan kewirausahaan di dalam negeri.

Negara lemah
Negara-negara termiskin di Afrika gagal tumbuh. Mereka tak terisolasi dari proses globalisasi, tetapi terglobalisasi secara negatif (Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007). Semua sumber daya terkuras ke luar. Eksploitasi sumber daya alam. Investasi warga kaya di luar negeri. Migrasi kaum terpelajar ke negara-negara lain (brain drain).
Negara-negara gagal itu ada di posisi terbawah sistem ekonomi global. Mereka tak hanya terbelakang (falling behind), tetapi juga di ambang kehancuran (falling apart). Maka, dampak terintegrasi dengan ekonomi global bagai pedang bermata dua. Mengurangi tingkat kemiskinan atau mempercepat proses pemiskinan.
Indonesia boleh bernapas lega, meski harus dicatat, Sierra Leone dulu pernah lebih baik dari India dan China. Namun, ada sebuah indikator yang memprihatinkan sejak zaman kolonial, yaitu sumber daya alam kita terus terkuras. Daya tawar republik merdeka lemah berhadapan dengan kepentingan asing.
Rasa kurang percaya diri kita merupakan warisan mentalitas terjajah. Pejabat membiarkan kontrak karya jangka panjang yang merugikan bangsa. Tak terhindar kesan menghamba kepentingan asing. Lemah mental itu diperparah dengan lemahnya kemauan pejabat untuk pasang badan demi kepentingan bangsa. Birokrasi kita dipenuhi orang yang kekuatan integritasnya digerogoti mentalitas korupsi.
Efek negara lemah, pemerintah diam saja melihat rupiah tidak laku di lokasi resor yang disewakan kepada pihak asing. Bahkan, ada resor yang tertutup bagi WNI. Pemerintah diam saja atas insiden pembakaran puluhan kapal nelayan tradisional kita yang dituduh melanggar batas teritorial Australia. Nasib seperti itu belum pernah menimpa kapal asing modern yang jelas menjarah hasil laut di perairan kita.
Dalam indeks pembatasan tarif perdagangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara. Namun, tingkat tarif yang kompetitif di kawasan regional itu tidak membawa hasil optimal karena buruknya layanan birokrasi, efisiensi pelabuhan, dan fasilitas perdagangan lain. Dengan ketidaksiapan internal seperti itu, sebenarnya keterbukaan Indonesia mengundang neokolonialisme ekonomi.
Maka, saatnya pemerintah mengkaji ulang keterbukaannya dan mundur selangkah (untuk maju) untuk jangka pendek. Reposisi kebijakan pasar demi keadilan dan pertumbuhan berkelanjutan. Proteksi dan restriksi demi kemandirian bangsa. Sementara itu, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi dilakukan radikal guna memperkuat daya saing bangsa. Langkah mundur seperti itu tentu bisa diterima pasar (market-friendly).

Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

[Kembali]

Dunia Dikendalikan Penguasa Modal

SPEKULASI
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008 halaman 48.

Lonjakan harga komoditas di pasar global yang menyengsarakan jutaan penduduk miskin dunia dan banyak negara berkembang ternyata justru membuat banyak pihak berpesta pora. Di antara mereka, siapa lagi kalau bukan para spekulan, mulai dari hedge funds, fund management, dana pensiun, bank-bank investasi dan lembaga keuangan lain, hingga investor individu.

Sorotan tajam terhadap peran spekulan dalam memicu krisis energi dan krisis pangan global serta krisis finansial di AS sekarang ini ibaratnya hanya mengungkap sebagian sisi gelap rezim kapitalisme, globalisasi, dan liberalisasi perekonomian global.
Ada sekelompok kecil penguasa kapital atau kaum berpunya yang mengendalikan dunia lewat pasar modal, pasar uang, pasar obligasi, pasar komoditas, dan juga lewat pengaruh mereka terhadap otoritas pemerintahan dan pasar finansial.
Para spekulan ini diyakini berperan penting dalam memicu lonjakan harga komoditas, mulai dari minyak mentah, logam dan mineral, pangan, hingga komoditas bahan mentah lainnya. Krisis energi dan komoditas pangan membuat mereka semakin gemuk. Dan dengan dana triliunan dollar AS yang ada dalam genggaman mereka, mereka memiliki potensi destabilisasi yang luar biasa.
Keuntungan besar yang mereka tangguk dari transaksi itu menjadi semacam sinyalemen pembenaran bahwa globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia adalah zero sum game, medan permainan yang hanya melahirkan segelintir pemenang di atas penderitaan banyak pihak lainnya.
Sejak Januari 2008, Bursa Saham Chicago (Chicago Stock Exchange/CHX) mencatat kenaikan aktivitas investasi di sektor komoditas pertanian sebesar 25 persen, dengan keterlibatan hedge funds meningkat tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir menjadi 55 miliar dollar AS.
Pelarian dana miliaran dollar AS (beberapa menyebut triliunan dollar AS) yang dikelola lembaga-lembaga tersebut ke sektor perdagangan komoditas terutama dipicu oleh krisis kredit macet sektor perumahan AS (sub-prime mortgage) dan depresiasi nilai tukar dollar AS.
Mereka beralih dari investasi berisiko tinggi di surat berharga ke instrumen yang lebih aman, termasuk emas dan minyak serta komoditas lunak seperti pangan.
Menurut penulis buku The Seeds of Destruction, William Engdahl, sedikitnya 60 persen dari harga minyak mentah sekarang ini berasal dari spekulasi perdagangan berjangka (futures) yang selama ini tak diregulasi oleh para hedge funds, bank, dan lembaga keuangan lain.
Itu dilakukan dengan menggunakan instrumen transaksi berjangka ICE Futures (London) dan NYMEX (New York) dan transaksi Over-The-Counter atau antarbank yang memang tak terkontrol guna menghindari kecurigaan.
Di antara pemain utama pasar spekulasi untuk minyak mentah ini, menurut Engdahl, adalah Goldman Sachs; Morgan Stanley; British Petroleum; bank Perancis, Societe Generale (SG); bank terbesar AS, Bank of America; dan bank Swiss, Mercuria.
Selama ini, BP mengendalikan International Petroleum Exchange (IPE) yang berbasis di London, yang merupakan salah satu bursa transaksi futures dan options untuk energi terbesar di dunia. Di antara pemegang saham utama IPE adalah Goldman Sachs dan Morgan Stanley.
Menurut surat kabar Jerman, Der Spiegel, Morgan Stanley adalah salah satu aktor kelembagaan utama di IPE. Sementara surat kabar Perancis, Le Monde, menyebutkan, SG bersama dengan Bank of America dan Deutsche Bank terlibat dalam menyebarkan rumor-rumor yang dimaksudkan untuk mendorong melonjaknya harga minyak.
Untuk pasar biji-bijian, aktor utama adalah Cargill dan Archer Daniels Midland (ADM). Keduanya menguasai pangsa pasar biji-bijian yang sangat besar. Mereka juga terlibat dalam transaksi spekulatif, baik futures maupun options, di NYMEX dan Chicago Board of Trade (CBOT).
Di AS, Cargill, ADM, dan pesaing mereka, Zen Noh, menguasai 81 persen ekspor maize dan 65 persen ekspor kedelai (Greg Muttitt, Control Freaks, Cargill and ADM, The Ecologist, Maret 2001).

Aktor utama
Aktivitas spekulasi komoditas ini melahirkan banyak orang kaya baru. Tetapi, yang paling gemuk tentu saja kelompok elite keuangan Wall Street dan korporasi besar yang selama ini menguasai pasar komoditas, mengendalikan input atau yang memiliki pengetahuan luas soal kondisi perdagangan.
Etika dan moral tidak lagi menjadi pertimbangan mereka, aktivitas mereka semata digerakkan oleh kerakusan dan keinginan untuk meraup untung sebesar-besarnya. Di antara mereka adalah jaringan ritel besar seperti Wal Mart dan Carrefour yang meraup laba masing-masing 4,1 miliar dollar AS dan 1,87 miliar euro dari penjualan produk pangan.
Perusahaan agribisnis seperti Monsanto juga mencatat lonjakan keuntungan dari 255 juta dollar AS tahun 2005 menjadi 993 juta dollar AS tahun 2007. Laba meningkat dari 1,44 miliar dollar menjadi 2,22 miliar dollar AS. Sementara pendapatan bersih tiga bulan hingga akhir Februari 2008 melonjak menjadi 1,125 miliar dollar AS dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (543 juta dollar AS).
Hal sama dialami raksasa agribisnis lain, yakni Cargill, yang pendapatan bersihnya meningkat 86 persen dari 553 juta dollar AS menjadi 1,030 miliar dollar AS pada periode tiga bulan yang sama.
Demikian juga Archer Daniels Midland (ADM). Salah satu perusahaan pengolah kedelai, jagung, dan gandum terbesar dunia ini mencatat kenaikan pendapatan bersih 42 persen dan membukukan laba 517 juta dollar AS hanya dalam tiga bulan pertama 2008, dengan laba operasi dari perdagangan biji-bijian meningkat 16 kali lipat dari 21 juta dollar AS menjadi 341 juta dollar AS.
Mosaic Company, salah satu produsen pupuk terbesar, mencatat peningkatan pendapatan lebih dari 12 kali dari 42,2 juta dollar AS menjadi 520,8 juta dollar AS dalam tiga bulan (hingga akhir bulan Februari 2008) di tengah kelangkaan pupuk dunia. Mosaic Company diuntungkan oleh harga beberapa jenis pupuk yang melonjak tiga kali lipat lebih dalam satu tahun terakhir.
Untuk mencegah spekulasi dalam skala masif yang bisa memicu harga, Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas AS (Commodity Futures Trading Commission/CFTC) sebenarnya sudah menetapkan batasan nilai kontrak berjangka untuk setiap spekulan individu.
Namun, dari testimoni Direktur Pengawasan Pasar CFTC Don Heitman di depan Kongres, CFTC sudah membuat pengecualian terhadap para bank investasi di Wall Street, setidaknya sejak awal 1990-an, sehingga hedge funds, dana pensiun, dan investor besar lainnya tetap bisa dengan leluasa masuk dengan cara membuat kontrak swap dengan bank-bank Wall Street untuk menghindari aturan tersebut.
Laporan New York Times, 6 Juni, menyebutkan, investor besar juga mengguyurkan dana miliaran dollar AS untuk mengakuisisi properti fisik, mulai dari lahan pertanian, pupuk, mesin pengangkut biji-bijian, hingga armada pengapalan.

(sri hartati samhadi)

[Kembali]

Kamis, Agustus 07, 2008

Kolom Sudut Pandang

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 16 Mei 2008.

Ada yang bilang dengan keras, reformasi kita gagal! Argumentasinya: rakyat makin miskin, korupsi merajalela, otonomi daerah kebablasan, demokrasi hanya prosedural, harga BBM tinggi, partai politik rusak, anggota parlemen tidak peduli rakyat, dan sebagainya. Pokoknya serba hitam dan kelam. Kesimpulannya, berarti pemerintah gagal, dan karenanya, jangan pilih SBY lagi. Simpel sekali ujungnya adalah over-simplikasi politik kekuasaan
Benarkah reformasi kita, 10 tahun ini, gagal? Hemat saya tidak. Reformasi kita sedang terus berproses untuk mencari bentuk. Soalnya adalah sebagian prosesnya memang lambat, stok kesabaran yang memang tipis, dan ada yang justru memanipulasinya untuk menjadi alat pukul politik.
Kebebasan politik dan kebebasan pers adalah produk reformasi yang sangat berharga. Ekspresi politik rakyat tercetus dengan lugas dan berani. Ruang demokrasi terbuka lebar di mana-mana. Ini adalah kapital politik yang penting untuk masa depan. Agenda berikutnya adalah mentransformasikan kemakmuran politik menjadi energi bagi kemakmuran ekonomi.
Hukum memang belum menjadi panglima. Soal-soal di seputar penegakan hukum masih saja kita temukan. Tetapi, apakah kita mau menutup mata bahwa hukum makin ditegakkan secara adil? Apakah kita mau mengingkari kenyataan bahwa pemberantasan korupsi tengah dan terus menjaga momentumnya? Apakah kita tidak mau menghargai upaya-upaya kepolisian, kejaksaan, korps hakim, KPK, dan sebagainya, yang tengah berikhtiar keras memperbaiki kinerja? Sejumlah ikhtiar perbaikan itulah yang harus dipacu agar berjalan lebih cepat.
Rakyat miskin memang masih banyak. Pengangguran juga masih besar. Gizi buruk masih kita temukan. Itulah problem terbesar bangsa kita. Rakyat miskin adalah fungsi dari kinerja ekonomi. Semakin ekonomi tumbuh dan terdistribusi secara adil, angka pengangguran dan kemiskinan makin menurun. Gambar besar ekonomi nasional kita makin baik. Gambar kecilnya yang harus terus diperbaiki. Itulah agenda kita. Mendorong investasi domestik dan asing untuk menggerakkan turbin ekonomi, sehingga rakyat makin banyak yang terurus dengan lebih baik.
Masih banyak lagi yang bisa paparkan. Ada bagian wajah kita yang belum baik, ada pula yang sudah beranjak menarik. Justru karena itu, keberanian untuk menggunakan “mata kanan” seimbang dengan “mata kiri” adalah pondasi untuk kita melihat masa kini dan masa depan secara jernih dan optimis.
Tanam padi dan jagung hanya butuh 3,5 bulan. Tanam kelapa butuh 7 tahun. Tanam reformasi tentu butuh waktu yang lebih panjang. Bahkan mungkin butuh pergantian generasi. Yang penting adalah mempercepat prosesnya dan memastikan berjalan pada rel yang benar. Wallahu a`lam


[Kembali]

Dunia Bisa Dibuat Lebih Baik

Perbaikan Perilaku Sangat Urgen
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 7 Agustus 2008, halaman 01.


New York, Selasa - Kenaikan harga pangan dan energi, perubahan iklim, serta meningkatnya migrasi dan kejahatan internasional akan memicu ketidakadilan dan kekerasan di dunia pada dekade mendatang. Demikian isi laporan berjudul ”2008 State of Future Report” yang dibuat para analis di lembaga Millennium Project.
Laporan itu dimotori World Federation of UN Associations, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memiliki perwakilan di lebih dari 100 negara. Laporan itu dipublikasikan di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (5/8).
Laporan itu mengingatkan para pemimpin dunia bahwa masih ada instrumen yang bisa membuat ancaman itu tak terwujud. Instrumen yang dimaksud adalah kemajuan sains dan teknologi, perbaikan pendidikan, ekonomi, manajemen, dan sistem, serta perbaikan etika atau perilaku di berbagai bidang. ”Hal ini, jika terwujud, akan membuat dunia lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang ini,” demikian isi laporan tersebut.
Laporan itu mengemukakan ada 15 tantangan global yang mengancam dunia pada masa datang. Beberapa di antaranya adalah kelangkaan persediaan air, krisis energi, hingga peningkatan kejahatan terorganisasi dan etika global makin kacau. Hal itu memerlukan perhatian penuh untuk diatasi secara dini.
Laporan tersebut juga menyatakan, separuh dunia ini sangat rentan ketidakstabilan sosial dan kekerasan. Hal ini antara lain adalah dampak negatif dari kenaikan harga pangan dan energi, jatuhnya sejumlah pemerintahan akibat gagalnya negara-negara, serta kelangkaan air dan faktor lainnya.
Laporan itu mengutip Pusat Analisis Angkatan Laut AS yang mengidentifikasi 46 negara berpenduduk 2,7 miliar jiwa rawan akan konflik bersenjata. Sebanyak 56 negara berpenduduk 1,2 miliar jiwa menghadapi risiko ketidakstabilan politik.
Hingga pertengahan tahun 2008, demikian laporan tersebut, sudah terjadi 14 peperangan yang mengakibatkan lebih dari 1.000 orang tewas. Peperangan itu terjadi di Afrika (5), Asia (4), Amerika (2), Timur Tengah (1), dan satu lagi didefinisikan sebagai gerakan antiekstremis global.
Krisis pangan
Laporan itu juga mengingatkan kembali perkiraan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), ada 37 negara yang menghadapi krisis pangan. Krisis pangan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, seperti permintaan yang terus meningkat pesat dari negara-negara berkembang, harga minyak yang semakin tinggi, hingga mahalnya pupuk dan spekulasi di pasar komoditas.
”Harga bahan pangan pokok akan naik 50 persen dari sekarang pada 2013 dan menjadi dua kali lipat di seantero dunia dalam 30 tahun mendatang. Harga biji-bijian sebagai contoh, termasuk gandum dan beras, telah naik 129 persen sejak 2006,” demikian peringatan laporan itu.
Ditambahkan, ada potensi untuk terjadinya sekitar tiga miliar jiwa warga dunia yang berpendapatan 2 dollar AS atau kurang dari itu per hari. Jika ini terjadi, konflik sosial global dalam jangka panjang tampaknya tidak dapat dihindari.
Namun, berita positifnya adalah, hal ini dapat dihindari jika ada kebijakan pangan yang serius dan berguna. ”Penemuan ilmiah tentang pangan akan membawa kecerahan baru,” demikian tertulis dalam laporan itu.
Permintaan pangan yang lebih banyak juga memerlukan pasokan air, tanah, dan pupuk. Para penulis laporan merekomendasikan cara pertanian baru, seperti sistem pengairan yang lebih baik, manajemen irigasi, dan rekayasa genetika untuk menghasilkan bulir yang lebih banyak.
Senada dengan peringatan itu, dalam sebuah seminar di Bandung, Rabu (6/8), Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan RI akan mendesak PBB untuk menjadikan isu ketahanan pangan dalam agenda Sidang Umum PBB pada September 2008.
Rencana itu didukung Mesir dan Cile. Isu pangan, kata Hassan, dalam lima bulan terakhir menjadi kekhawatiran sejumlah negara berkembang dan miskin di dunia. Naiknya harga bahan bakar diiringi naiknya harga pangan membuat sejumlah negara mengalami krisis pangan dan politik. ”Isu pangan memicu demonstrasi di Manila, Banglades, dan bahkan menjatuhkan pemimpin di Haiti,” tutur Hassan.
Laporan PBB itu juga menyebutkan salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia ke depan adalah ketersediaan air. Laporan itu mengatakan sekarang saja sudah ada 700 juta jiwa yang kekurangan air, atau hanya mendapatkan air kurang dari 1.000 kubik meter per orang per tahun. Angka ini dapat bertambah menjadi tiga miliar orang pada tahun 2020 karena perubahan iklim.
Perubahan iklim
Laporan itu juga memperingatkan Afrika akan mengalami pukulan paling berat walaupun benua itu juga berkontribusi pada masalah iklim. Bagian selatan Afrika diperkirakan akan mengalami penurunan produksi jagung hingga 30 persen pada 2030.
Lembaga itu menyerukan agar dibentuk strategi global AS-China untuk membahas masalah perubahan iklim secara serius. Strategi itu akan mampu mendorong berbagai penemuan dan tindakan yang mengatasi dampak buruk perubahan iklim.
Hal ini, misalnya, bisa diwujudkan dengan menciptakan kendaraan elektrik, pertanian dengan air asin, pengurangan emisi karbon, satelit tenaga surya, protein hewani dari bahan nonhewan, dan lainnya.
Persoalan energi akan memusingkan kepala. Masalahnya, permintaan global terhadap energi akan bertambah menjadi dua kali lipat dalam jangka 20 tahun. Di sisi lain sumber-sumber energi utama semakin sedikit. Laporan itu merekomendasikan investasi besar-besaran untuk menghasilkan energi tenaga angin, panas bumi, matahari, biofuel berbasis air asin. (AFP/JOE)

[Kembali]