Selasa, Oktober 07, 2008

Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia

ANALISIS EKONOMI
Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia
Oleh FAISAL BASRI
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 6 Oktober 2008

Kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan tumbuh meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia.

Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.

Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

Itulah yang dewasa ini terjadi di Amerika Serikat dan merembet ke negara maju lainnya karena sesama mereka terkait satu sama lain. Krisis keuangan yang melanda AS juga sekaligus mengindikasikan bahwa mekanisme pasar masih menjalankan perannya, yakni mengoreksi pelaku-pelaku yang tidak tunduk pada kaidah fundamental pasar.

Bagaimana mungkin perekonomian AS selama bertahun-tahun bisa membiayai Perang Irak, membiarkan defisit anggaran (APBN) terus menggelembung, dan pada periode yang sama mengalami defisit perdagangan luar negeri. Sementara itu, tingkat tabungan masyarakat AS sangat rendah, utang rumah tangga telah melampaui pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Untuk membiayai perekonomian yang boros, satu-satunya cara ialah terus berutang. Surat- surat utang terus diterbitkan, baik oleh pemerintah maupun swasta, lalu disantap oleh investor, termasuk dari Indonesia.

Kapitalisme pengisap

Jadi, kalau kekacauan ekonomi di AS akan merembet ke hampir seluruh dunia, itu merupakan konsekuensi dari perilaku masyarakat dunia yang terseret ke dalam irama permainan AS. Padahal, peran AS di dalam perekonomian dunia tak lagi sedigdaya pada tahun 1970-an. Kini produk domestik bruto AS yang telah dikoreksi dengan daya beli (purchasing power parity) tinggal 21 persen saja. Sebaliknya, telah muncul kekuatan baru, seperti China dan India.

Kita sedang menghadapi proses menuju keseimbangan baru sebagai konsekuensi dari pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Proses ini tentu saja akan ditandai oleh penyesuaian perilaku dan tata aturan menuju mekanisme yang lebih harmoni dan berkeadilan. Pendulum betul-betul sedang berayun, lambat laun menjauh dari financially-driven capitalism yang sangat ribawi itu, yang menghasilkan kemakmuran semu dan bersifat mengisap karena yang mengedepan adalah zero-sum game, bukan shared prosperity.

Pelajaran untuk kita

Kita tak boleh membiarkan diri terperangkap pada pola atau perilaku ”lebih besar pasak daripada tiang”, apalagi kalau pengeluaran yang menggelembung didominasi oleh belanja konsumtif sebagaimana terlihat dari postur APBN kita. Sangat disayangkan jika peningkatan penerimaan APBN sebagian besar dibelanjakan untuk belanja pemerintah pusat dan subsidi tak terarah. Defisit APBN yang lebih diakibatkan pola pengeluaran demikian tak boleh lagi ditoleransi. Pola seperti itulah yang terjadi di AS.

Belanja pemerintah pusat seharusnya tak meningkat tajam karena era otonomi mengharuskan postur pemerintah pusat lebih langsing. Bukankah seluruh fungsi pemerintahan, kecuali di lima bidang sebagaimana diamanatkan undang-undang, harus diserahkan kepada daerah.

Mengapa justru setelah era otonomi jajaran eselon satu bertambah? Mengapa tidak terjadi pengalihan sebagian fungsi kementerian pada lembaga-lembaga independen? Defisit anggaran hanya bisa dibenarkan jika untuk meningkatkan kapasitas produktif.

Tantangan kedua ialah menghentikan gejala dini deindustrialisasi. Gejala ini terlihat dari penurunan sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB yang sudah terjadi secara konsisten sejak 2005. Padahal, industrialisasi di Indonesia masih relatif jauh dari optimal.

Memang pemerintah telah cukup banyak berbuat, tetapi kebanyakan tindakan yang telah diambil sejauh ini sudah teramat usang. Lihat saja Keputusan Presiden tentang Kebijakan Industri Nasional yang dikeluarkan Mei 2008 yang tak memiliki skala prioritas. Semua hendak dimajukan dan ditawarkan insentif. Hasilnya bisa diduga, yakni tak akan ada satu paket insentif pun yang secara berarti akan memajukan industri tertentu yang pada gilirannya akan mendongkrak kinerja industri manufaktur.

Pemerintah juga menawarkan konsep kawasan ekonomi khusus (KEK) untuk memajukan industri. Konsep KEK ini boleh dikatakan usang dan tak bakal menawarkan sesuatu yang berarti bagi kemajuan perekonomian dan daya saing nasional. Bukankah tanpa KEK pun hampir semua aspek perekonomian Indonesia sudah sangat liberal?

Kemunduran relatif sektor industri pada gilirannya akan memperlemah landasan ekspor. Sekarang saja sudah terbukti, sebagaimana terlihat dari penyusutan surplus perdagangan akibat kemerosotan harga-harga komoditas. Tanpa memajukan industri manufaktur, sama saja dengan melakukan pembiaran atas pengerukan kekayaan alam dengan penciptaan nilai tambah ala kadarnya sehingga tak akan memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.

Dampak selanjutnya dari pelemahan kinerja industri adalah terhadap pola lalu lintas modal yang masuk (capital inflow). Dalam dua tahun terakhir, modal yang masuk lebih didominasi oleh investasi jangka pendek ketimbang penanaman modal asing langsung yang bersifat jangka panjang.

Kalau kecenderungan di atas terus berlangsung, sama saja kita secara sukarela menjadi mangsa dari financially-driven capitalism yang amat buas itu.

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: