Senin, September 22, 2008

Akhirnya Amerika Membentuk BPPN

JPE / Kompas Images
MIRZA ADITYASWARA

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 22 September 2008

Setelah indeks saham terjun bebas selama beberapa bulan, Jumat pekan lalu pasar saham di seluruh dunia naik tajam karena investor pasar keuangan mendengar rencana Pemerintah Amerika Serikat akan membentuk lembaga yang mengambil alih tagihan kredit macet di perbankan AS. Lembaga tersebut akan mengambil alih tagihan macet kredit properti sampai jumlah 700 miliar dollar AS (produk domestik bruto/PDB Indonesia sekitar 490 miliar dollar AS). Bentuk lembaga ini semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang pernah dibuat Pemerintah Indonesia pada waktu krisis keuangan tahun 1998.

Ketamakan pelaku pasar keuangan telah memakan dirinya sendiri. Liberalisasi pasar keuangan tanpa rambu kehati-hatian telah menelan banyak korban. Krisis keuangan global yang kita hadapi saat ini adalah krisis yang serius, bukan suatu masalah yang bisa selesai dalam waktu tiga bulan. Pada waktu kita mengalami krisis ekonomi Asia pada tahun 1998, ekonomi dunia tidak terpengaruh. Namun, kali ini yang sakit adalah mesin ekonomi dunia (AS) sehingga dampaknya mengglobal.

Tanpa kita sadari, gejolak ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun, sejak Juli 2007. Bermula dari timbulnya kredit macet di portofolio subprime mortgage, kerugian sistem perbankan global per kuartal II-2008 sudah mencapai 500 miliar dollar AS. Dampak dari krisis keuangan saat ini telah membuat ekonomi dunia kehilangan mesin pemberi kredit. Bank internasional, seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, dan Morgan Stanley, rugi puluhan miliar dollar AS sehingga pasti mereka tidak berminat menyalurkan kredit sebelum ada tambahan modal.

Pada awalnya, ekonomi Asia dianggap tidak akan terkena dampak krisis di AS karena porsi ekspor negara-negara Asia ke AS semakin menurun dibandingkan satu dekade lalu. Namun, pada era globalisasi, gerak ekonomi dunia bukan hanya ditentukan oleh sektor riil, tetapi sangat ditentukan oleh aliran modal di pasar keuangan.

Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs dollar AS terhadap mata uang euro dan yen serta merontokkan harga saham di AS. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi Amerika akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Masalah makin rumit, penurunan harga saham di negara berkembang sering kali disertai pelarian modal ke instrumen yang dianggap kurang berisiko (misalnya surat utang negara maju atau emas). Akibatnya, kurs mata uang negara berkembang melemah dan bank sentral harus menaikkan suku bunga.

Lari ke komoditas

Situasi tahun 2008 sangat kompleks. Demi menghindari resesi, bank sentral Amerika menurunkan bunga secara drastis dari 5,25 persen ke 2,0 persen. Namun, di lain pihak, penurunan bunga dan penurunan kurs dollar AS membuat investor mencari kompensasi dengan membeli komoditas tambang dan pertanian. Akibatnya, harga komoditas melesat tajam, menimbulkan gelombang inflasi.

Inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan 12-13 persen. Akibatnya, bank-bank sentral di negara berkembang harus menaikkan suku bunga.

Teori penguatan harga komoditas tidak berlangsung lama. Pada akhirnya kita lihat bahwa melambatnya ekonomi dunia dan meredanya ketegangan geopolitik di Iran dan Irak menurunkan harga komoditas tambang (termasuk minyak bumi) dan pertanian. Hasil akhirnya, kerugian bertambah besar.

Usaha penyelamatan dilakukan bertubi-tubi. Amerika telah menurunkan suku bunga secara drastis dan mengucurkan likuiditas ke perusahaan sekuritas. Bank JP Morgan diminta mengambil alih perusahaan sekuritas Bear Stearns. Bank of America mengambil alih Merrill Lynch. Pemerintah AS terpaksa harus menyelamatkan lembaga kredit perumahan Fannie Mae and Freddie Mac yg mempunyai kewajiban 5 triliun dollar AS!

Pemerintah AS juga menyuntik likuiditas 85 miliar dollar AS ke asuransi jiwa AIG. Namun, sebagai peringatan kepada para spekulan, Pemerintah AS membiarkan Lehman Brothers bangkrut. Selanjutnya, bank sentral AS mengajak bank sentral Eropa dan Jepang mengucurkan likuiditas ke pasar uang. Tidak terpikir sebelumnya di benak kita bahwa AS dan Inggris sebagai pembela liberalisasi pasar akhirnya minggu lalu melarang investor keuangan melakukan aksi spekulasi short selling.

Apa yang harus dilakukan masyarakat Indonesia? Tanpa mengurangi optimisme, kita harus selalu waspada. Fundamental ekonomi kita masih cukup baik, pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa sedikit di atas 6 persen. Likuiditas rupiah harus tersedia, tetapi jangan berlebihan agar tak dipakai spekulasi membeli mata uang asing. Bisa dimengerti jika BI belum mau menurunkan suku bunga sampai yakin inflasi turun ke arah 7 persen agar kepercayaan investor asing pembeli surat utang negara tetap terjaga. Namun, perbankan sebaiknya tak menawarkan bunga deposito yang terlalu tinggi karena akan menimbulkan persepsi negatif.

Kinerja ekspor komoditas diperkirakan melambat sehingga perlu diimbangi dengan penurunan impor minyak bumi dan bahan baku lain. Rencana ekspansi korporasi yang berlebihan harus dipikirkan pendanaannya karena suku bunga kredit sudah naik dan keran kredit dari luar negeri belum akan tersedia sampai setahun ke depan.

Fundamental anggaran pemerintah cukup baik, defisit anggaran diperkirakan turun ke 1,7 persen PDB dari rencana semula 2,1 persen persen PDB. Maka, pemerintah di pusat dan daerah harus mengompensasi pelambatan ekonomi dengan mempercepat penggunaan anggaran, tentu saja tanpa menerjang rambu-rambu good governance.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: