Kamis, November 13, 2008

Bangsa yang Kehilangan Harga Diri

Diunduh dari Harian Kompas, Kamis, 13 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/13/00444190/bangsa.yang.kehilangan.harga.diri

Oleh Adi Andojo Soetjipto

Harian Kompas (Selasa, 11/11/2008) memuat berita yang amat mengejutkan. Halaman pertama harian ini memuat foto besar dan di bawahnya ada tulisan berhuruf besar dan tebal, ”Kejagung Menahan Romli”.

Yang dimaksud dengan Romli adalah Romli Atmasasmita, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Beberapa tahun lalu, nama Romli Atmasasmita amat dikenal di kalangan para penegak hukum karena perannya yang amat menonjol dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, berita bahwa Romli ditahan dan menjadi tersangka kasus korupsi cukup mengejutkan banyak pihak.

Meski Romli menyatakan tidak tahu untuk apa ditahan dan penahanan ini sudah diskenariokan, fakta bahwa dia sudah ditahan memberinya stigma yang tidak akan bisa dihapus selama hidupnya. Lebih-lebih apabila kasusnya kelak sampai ke pengadilan, bahkan sampai dijatuhi hukuman.

Lepas dari itu, kita patut bertanya mengapa orang yang pernah dijuluki ”pakar korupsi” dan yang pernah beberapa kali menjadi Ketua Tim Penyusunan Undang-Undang Antikorupsi terlibat tuduhan telah melakukan korupsi? Apakah dia sekadar menjadi korban dari keadaan negara yang korupsinya sudah merambah ke mana-mana dan tanpa disadari ia terkena kena imbasnya? Ataukah dengan sadar dia telah ikut melakukan itu?

Hilangnya harga diri

Ada dugaan, tindakan Kejaksaan Agung itu merupakan ”balas dendam” pihak kejaksaan kepada Romli karena dinilai vokal dalam menuntut penyelesaian kasus BLBI. Namun, Ketua Tim Jaksa Penyidik Faried Harianto mengatakan ”ini merupakan penegakan hukum murni” karena dari alat bukti ditemukan keterlibatan tersangka, termasuk Romli.

Sungguh, kita merasa prihatin mengalami kejadian ini. Apakah semua kejadian ini muncul akibat bangsa ini sudah kehilangan harga diri? Sampai-sampai orang yang paling bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi pun, bahkan yang boleh dikatakan memiliki otak brilian dalam menyusun undang-undang antikorupsi, telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi?

Bangsa yang kehilangan harga diri berarti bangsa yang mati. Mati dari memiliki rasa malu, mati dari memiliki rasa saling mengasihi sesama, mati dari memiliki nurani, mati dari segalanya kecuali nyawa yang masih hidup.

Dulu, zaman pemerintah kolonial Belanda, ada yang disebut fraude. Ambtenar yang melakukan fraude dan terbukti akan segera masuk penjara dan dipecat. Ambtenar yang melakukan fraude itu paling tinggi pangkatnya adalah setingkat regent (bupati) ke bawah dan kebanyakan fraude dilakukan karena ambtenar itu terlibat utang karena berjudi. Yang jelas baik, si ambtenar maupun keluarganya sama-sama merasa malu besar. Perbuatannya yang merupakan aib itu dirahasiakan rapat-rapat.

Kini, keadaannya sudah berbeda 180 derajat. Pegawai negeri yang melakukan korupsi justru yang pangkatnya sudah tinggi sekali, setingkat direktur jenderal, bahkan ada yang setingkat menteri. Kebutuhan untuk melakukan korupsi juga berbeda antara zaman dulu dan sekarang. Korupsi untuk zaman sekarang bukan untuk berjudi, tetapi untuk bisa hidup mewah. Dan mereka yang melakukan korupsi itu sama sekali tidak merasa malu. Bahkan, keluarganya pun merasa bangga. Untuk berangkat ke sekolah, anaknya pun diantar dengan menggunakan mobil mewah hasil korupsi.

Kewajiban kita

Sekarang kewajiban kita adalah bagaimana membuat bangsa yang sudah mati ini hidup kembali. Diakui, hal ini merupakan kewajiban yang amat berat karena menyangkut seluruh elemen bangsa.

Menurut penulis, upaya untuk menghidupkan kembali harga diri, bangsa ini harus dibuat sejahtera, hidup makmur, dan merata menyangkut segala lapisan masyarakat. Tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada anak- anak yang menderita gizi buruk. Perut seluruh rakyat kenyang, badannya pun sehat. Mereka semua tinggal di perumahan yang memenuhi kebutuhan, dengan air melimpah.

Jika semua ini sudah terpenuhi, seluruh rakyat pasti menuruti kehendak para pemimpin. Kini, tinggal pemimpinnya yang harus pandai, bijaksana, tidak memikirkan diri sendiri, sebaliknya justru pemimpin yang memikirkan kepentingan rakyat.

Pertanyaannya, apakah negeri ini memiliki pemimpin yang berkualitas? Pemimpin yang pandai banyak jumlahnya. Pemimpin yang bijak yang tidak memikirkan diri sendiri amat sulit dicari. Kebanyakan mereka cuma berpikiran ”aku dan saku”. Ini merupakan pekerjaan rumah untuk Pemilu 2009.

Adi Andojo Soetjipto Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung

[ Kembali ]

Selasa, Oktober 07, 2008

Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia

ANALISIS EKONOMI
Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia
Oleh FAISAL BASRI
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 6 Oktober 2008

Kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan tumbuh meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia.

Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.

Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

Itulah yang dewasa ini terjadi di Amerika Serikat dan merembet ke negara maju lainnya karena sesama mereka terkait satu sama lain. Krisis keuangan yang melanda AS juga sekaligus mengindikasikan bahwa mekanisme pasar masih menjalankan perannya, yakni mengoreksi pelaku-pelaku yang tidak tunduk pada kaidah fundamental pasar.

Bagaimana mungkin perekonomian AS selama bertahun-tahun bisa membiayai Perang Irak, membiarkan defisit anggaran (APBN) terus menggelembung, dan pada periode yang sama mengalami defisit perdagangan luar negeri. Sementara itu, tingkat tabungan masyarakat AS sangat rendah, utang rumah tangga telah melampaui pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Untuk membiayai perekonomian yang boros, satu-satunya cara ialah terus berutang. Surat- surat utang terus diterbitkan, baik oleh pemerintah maupun swasta, lalu disantap oleh investor, termasuk dari Indonesia.

Kapitalisme pengisap

Jadi, kalau kekacauan ekonomi di AS akan merembet ke hampir seluruh dunia, itu merupakan konsekuensi dari perilaku masyarakat dunia yang terseret ke dalam irama permainan AS. Padahal, peran AS di dalam perekonomian dunia tak lagi sedigdaya pada tahun 1970-an. Kini produk domestik bruto AS yang telah dikoreksi dengan daya beli (purchasing power parity) tinggal 21 persen saja. Sebaliknya, telah muncul kekuatan baru, seperti China dan India.

Kita sedang menghadapi proses menuju keseimbangan baru sebagai konsekuensi dari pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Proses ini tentu saja akan ditandai oleh penyesuaian perilaku dan tata aturan menuju mekanisme yang lebih harmoni dan berkeadilan. Pendulum betul-betul sedang berayun, lambat laun menjauh dari financially-driven capitalism yang sangat ribawi itu, yang menghasilkan kemakmuran semu dan bersifat mengisap karena yang mengedepan adalah zero-sum game, bukan shared prosperity.

Pelajaran untuk kita

Kita tak boleh membiarkan diri terperangkap pada pola atau perilaku ”lebih besar pasak daripada tiang”, apalagi kalau pengeluaran yang menggelembung didominasi oleh belanja konsumtif sebagaimana terlihat dari postur APBN kita. Sangat disayangkan jika peningkatan penerimaan APBN sebagian besar dibelanjakan untuk belanja pemerintah pusat dan subsidi tak terarah. Defisit APBN yang lebih diakibatkan pola pengeluaran demikian tak boleh lagi ditoleransi. Pola seperti itulah yang terjadi di AS.

Belanja pemerintah pusat seharusnya tak meningkat tajam karena era otonomi mengharuskan postur pemerintah pusat lebih langsing. Bukankah seluruh fungsi pemerintahan, kecuali di lima bidang sebagaimana diamanatkan undang-undang, harus diserahkan kepada daerah.

Mengapa justru setelah era otonomi jajaran eselon satu bertambah? Mengapa tidak terjadi pengalihan sebagian fungsi kementerian pada lembaga-lembaga independen? Defisit anggaran hanya bisa dibenarkan jika untuk meningkatkan kapasitas produktif.

Tantangan kedua ialah menghentikan gejala dini deindustrialisasi. Gejala ini terlihat dari penurunan sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB yang sudah terjadi secara konsisten sejak 2005. Padahal, industrialisasi di Indonesia masih relatif jauh dari optimal.

Memang pemerintah telah cukup banyak berbuat, tetapi kebanyakan tindakan yang telah diambil sejauh ini sudah teramat usang. Lihat saja Keputusan Presiden tentang Kebijakan Industri Nasional yang dikeluarkan Mei 2008 yang tak memiliki skala prioritas. Semua hendak dimajukan dan ditawarkan insentif. Hasilnya bisa diduga, yakni tak akan ada satu paket insentif pun yang secara berarti akan memajukan industri tertentu yang pada gilirannya akan mendongkrak kinerja industri manufaktur.

Pemerintah juga menawarkan konsep kawasan ekonomi khusus (KEK) untuk memajukan industri. Konsep KEK ini boleh dikatakan usang dan tak bakal menawarkan sesuatu yang berarti bagi kemajuan perekonomian dan daya saing nasional. Bukankah tanpa KEK pun hampir semua aspek perekonomian Indonesia sudah sangat liberal?

Kemunduran relatif sektor industri pada gilirannya akan memperlemah landasan ekspor. Sekarang saja sudah terbukti, sebagaimana terlihat dari penyusutan surplus perdagangan akibat kemerosotan harga-harga komoditas. Tanpa memajukan industri manufaktur, sama saja dengan melakukan pembiaran atas pengerukan kekayaan alam dengan penciptaan nilai tambah ala kadarnya sehingga tak akan memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.

Dampak selanjutnya dari pelemahan kinerja industri adalah terhadap pola lalu lintas modal yang masuk (capital inflow). Dalam dua tahun terakhir, modal yang masuk lebih didominasi oleh investasi jangka pendek ketimbang penanaman modal asing langsung yang bersifat jangka panjang.

Kalau kecenderungan di atas terus berlangsung, sama saja kita secara sukarela menjadi mangsa dari financially-driven capitalism yang amat buas itu.

[ Kembali ]

Senin, September 22, 2008

Akhirnya Amerika Membentuk BPPN

JPE / Kompas Images
MIRZA ADITYASWARA

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 22 September 2008

Setelah indeks saham terjun bebas selama beberapa bulan, Jumat pekan lalu pasar saham di seluruh dunia naik tajam karena investor pasar keuangan mendengar rencana Pemerintah Amerika Serikat akan membentuk lembaga yang mengambil alih tagihan kredit macet di perbankan AS. Lembaga tersebut akan mengambil alih tagihan macet kredit properti sampai jumlah 700 miliar dollar AS (produk domestik bruto/PDB Indonesia sekitar 490 miliar dollar AS). Bentuk lembaga ini semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang pernah dibuat Pemerintah Indonesia pada waktu krisis keuangan tahun 1998.

Ketamakan pelaku pasar keuangan telah memakan dirinya sendiri. Liberalisasi pasar keuangan tanpa rambu kehati-hatian telah menelan banyak korban. Krisis keuangan global yang kita hadapi saat ini adalah krisis yang serius, bukan suatu masalah yang bisa selesai dalam waktu tiga bulan. Pada waktu kita mengalami krisis ekonomi Asia pada tahun 1998, ekonomi dunia tidak terpengaruh. Namun, kali ini yang sakit adalah mesin ekonomi dunia (AS) sehingga dampaknya mengglobal.

Tanpa kita sadari, gejolak ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun, sejak Juli 2007. Bermula dari timbulnya kredit macet di portofolio subprime mortgage, kerugian sistem perbankan global per kuartal II-2008 sudah mencapai 500 miliar dollar AS. Dampak dari krisis keuangan saat ini telah membuat ekonomi dunia kehilangan mesin pemberi kredit. Bank internasional, seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, dan Morgan Stanley, rugi puluhan miliar dollar AS sehingga pasti mereka tidak berminat menyalurkan kredit sebelum ada tambahan modal.

Pada awalnya, ekonomi Asia dianggap tidak akan terkena dampak krisis di AS karena porsi ekspor negara-negara Asia ke AS semakin menurun dibandingkan satu dekade lalu. Namun, pada era globalisasi, gerak ekonomi dunia bukan hanya ditentukan oleh sektor riil, tetapi sangat ditentukan oleh aliran modal di pasar keuangan.

Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs dollar AS terhadap mata uang euro dan yen serta merontokkan harga saham di AS. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi Amerika akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Masalah makin rumit, penurunan harga saham di negara berkembang sering kali disertai pelarian modal ke instrumen yang dianggap kurang berisiko (misalnya surat utang negara maju atau emas). Akibatnya, kurs mata uang negara berkembang melemah dan bank sentral harus menaikkan suku bunga.

Lari ke komoditas

Situasi tahun 2008 sangat kompleks. Demi menghindari resesi, bank sentral Amerika menurunkan bunga secara drastis dari 5,25 persen ke 2,0 persen. Namun, di lain pihak, penurunan bunga dan penurunan kurs dollar AS membuat investor mencari kompensasi dengan membeli komoditas tambang dan pertanian. Akibatnya, harga komoditas melesat tajam, menimbulkan gelombang inflasi.

Inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan 12-13 persen. Akibatnya, bank-bank sentral di negara berkembang harus menaikkan suku bunga.

Teori penguatan harga komoditas tidak berlangsung lama. Pada akhirnya kita lihat bahwa melambatnya ekonomi dunia dan meredanya ketegangan geopolitik di Iran dan Irak menurunkan harga komoditas tambang (termasuk minyak bumi) dan pertanian. Hasil akhirnya, kerugian bertambah besar.

Usaha penyelamatan dilakukan bertubi-tubi. Amerika telah menurunkan suku bunga secara drastis dan mengucurkan likuiditas ke perusahaan sekuritas. Bank JP Morgan diminta mengambil alih perusahaan sekuritas Bear Stearns. Bank of America mengambil alih Merrill Lynch. Pemerintah AS terpaksa harus menyelamatkan lembaga kredit perumahan Fannie Mae and Freddie Mac yg mempunyai kewajiban 5 triliun dollar AS!

Pemerintah AS juga menyuntik likuiditas 85 miliar dollar AS ke asuransi jiwa AIG. Namun, sebagai peringatan kepada para spekulan, Pemerintah AS membiarkan Lehman Brothers bangkrut. Selanjutnya, bank sentral AS mengajak bank sentral Eropa dan Jepang mengucurkan likuiditas ke pasar uang. Tidak terpikir sebelumnya di benak kita bahwa AS dan Inggris sebagai pembela liberalisasi pasar akhirnya minggu lalu melarang investor keuangan melakukan aksi spekulasi short selling.

Apa yang harus dilakukan masyarakat Indonesia? Tanpa mengurangi optimisme, kita harus selalu waspada. Fundamental ekonomi kita masih cukup baik, pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa sedikit di atas 6 persen. Likuiditas rupiah harus tersedia, tetapi jangan berlebihan agar tak dipakai spekulasi membeli mata uang asing. Bisa dimengerti jika BI belum mau menurunkan suku bunga sampai yakin inflasi turun ke arah 7 persen agar kepercayaan investor asing pembeli surat utang negara tetap terjaga. Namun, perbankan sebaiknya tak menawarkan bunga deposito yang terlalu tinggi karena akan menimbulkan persepsi negatif.

Kinerja ekspor komoditas diperkirakan melambat sehingga perlu diimbangi dengan penurunan impor minyak bumi dan bahan baku lain. Rencana ekspansi korporasi yang berlebihan harus dipikirkan pendanaannya karena suku bunga kredit sudah naik dan keran kredit dari luar negeri belum akan tersedia sampai setahun ke depan.

Fundamental anggaran pemerintah cukup baik, defisit anggaran diperkirakan turun ke 1,7 persen PDB dari rencana semula 2,1 persen persen PDB. Maka, pemerintah di pusat dan daerah harus mengompensasi pelambatan ekonomi dengan mempercepat penggunaan anggaran, tentu saja tanpa menerjang rambu-rambu good governance.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal

[ Kembali ]

Rabu, September 10, 2008

Pailit

Kolom Jendela 234
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Jum'at, 05 Sep 2008
by : N. Syamsuddin CH. Haesy
ABU Hurairah berkesaksian. Suatu ketika Rasulullah Muhammad SAW bertanya kepada para sahabat: "Tahukah kalian, siapa orang pailit di antara umatku?" Seorang sahabat menjawab, orang yang pailit adalah mereka yang bangkrut, dan karenanya tak mempunyai harta benda. Rasulullah menggelengkan kepala, lalu bersabda, "Sesungguhnya, orang yang pailit dari umatku adalah mereka yang datang di hari kiamat lengkap dengan salat, puasa, dan zakatnya. Tetapi, ia juga telah memaki si A, menuduh si B, memakan harta si C, menumpahkan darah si D, dan melukai si E. Allah memberikan hasanat, kebaikan untuk salat, puasa, dan zakatnya kepada A, B, C, D, dan E. Jika habis hasanatnya, namun belum cukup tanggungannya, maka diambilkan dari dosa-dosa orang yang dianiaya itu, lalu dibebankan kepadanya."

Akan halnya suatu bangsa akan mengalami kepailitan bila bangsa itu mengalami lima kejadian yang buruk. Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana kesaksian Umar bin Khattab, seperti diriwayatkan Ibn Majah dan Al Haakim, mengurai lima hal yang mengerikan itu.

Pertama, menjalarnya pelacuran karena legalisasi pemerintahnya, sehingga berkembanglah wabah tha'un (AIDS) dan berbagai penyakit yang tidak pernah terjadi pada nenek (orang-orang tua) mereka; Kedua, berkembangnya bencana bala' kahat atau laip, berupa berkurangnya hasil bumi, berkembangnya pengangguran, berlangsungnya krisis ekonomi, dan kejamnya pemerintahan (penguasa), akibat berlangsungnya transaksi bisnis yang tidak adil, dan perdagangan yang curang; Ketiga, berlangsungnya perubahan musim penghujan dan kemarau, dengan kemarau panjang. Kalaupun hujan turun, hal itu hanya karena di negeri itu masih terdapat hewan ternak. Bencana itu disebabkan oleh sikap penduduk yang enggan (dan bahkan menolak) kewajiban membayar zakat harta; Keempat, datangnya penjajah bangsa lain untuk merampas hak milik mereka, sebagai akibat mereka tidak percaya, tidak yakin terhadap janji Allah dan rasul-Nya; dan, Kelima, binasanya para imam karena ulah dan polah sendiri (pertikaian) yang tidak mau mengikuti petunjuk yang sudah digariskan Allah di dalam kitab suci Al Qur'an.

Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib, menegaskan, jangan meminta hajat kebutuhan dari manusia, yang rejekinya di ujung takaran dan timbangan. Karena pada dasarnya merekalah yang kelak akan pailit, dan menciptakan kepailitan bagi umat manusia. Karena itu, amiril mukminin mengajarkan hikmat yang tepat:

Sungguh celaka mereka yang menjual habbah (biji-bijian), dan dikurangi (dipotong) jannah (surga), selebar langit dan bumi. Atau membeli habbah untuk ditambah dengan jurang di jahanam (neraka), yang apabila bukit-bukit dunia dimasukkan ke dalamnya, pasti akan cair. Karena itu, berhati-hatilah dengan mereka yang menjual dan curang dalam timbangan, sehingga mengurangi hak orang lain. Karena, mereka sesungguhnya orang-orang yang pailit di neraka, karena telah membuang surga. Dan orang yang membeli, lalu melebihi takaran yang semestinya, sesungguhnya ia sedang menambah bilangan jurang di dalam jahanam.

Orang-orang yang pailit adalah mereka yang meratapi masa depannya, karena mengabaikan kesempatan berbuat baik, bajik, dan bijak pada masa kini. Laksana kisah Malik bin Dinar, yang menjenguk tetangganya yang mengeluh, seolah sedang mendaki dua bukit api. Ketika Malik bertanya, apa pekerjaannya dulu. Keluarganya bilang: dia mempunyai dua timbangan untuk membeli dan menjual. Malik meminta kedua timbangan itu dan menghancurkannya. Tapi, belum cukup. Ia mati dalam sakit yang tak tersembuhkan deritanya. Sang tetangga mati dalam keadaan pailit.

[ Kembali ]

Jumat, Agustus 22, 2008

Presiden : Indonesia Telah Lepas Dari Krisis

Ekonomi
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jumat, 22 Agustus 2008

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, Indonesia telah lepas dari krisis ekonomi, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi demi menuju masa depan yang lebih baik.

Demikian petikan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membacakan keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (22/08).

Menurutnya, Indonesia lepas dari krisis, tercermin dari pendapatan per kapita masyarakat yang terus meningkat dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang kian melonjak.

"Kita patut bersyukur, bahwa pendapatan per kapita meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 pendapatan per kapita baru mencapai 1.186 dolar AS, namun pada 2007 telah menjadi 1.946 dolar AS atau meningkat dengan 64 persen dalam tiga tahun," kata Presiden.

Angka ini diutarakannya, juga merupakan capaian pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari masa sebelum krisis ekonomi 1998.

Sementara itu, PDB Indonesia pada tahun 2007 telah mencapai nilai sebesar Rp3.957 triliun. Dengan PDB sebesar itu, Indonesia termasuk dalam 20 negara dengan PDB terbesar di dunia. (Ant)

[ Kembali ]

Minggu, Agustus 17, 2008

Bangsa di Tapal Batas

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 16 Agustus 2008

Limas Sutanto

Ketika bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan menyambut Proklamasi Kemerdekaan pada tahun ini, ada kejadian ”kecil” yang menarik tetapi sekaligus memalukan. Dalam kejadian yang ditayangkan MetroTV pada 8 April 2008 malam itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono marah karena beberapa pejabat yang mendengarkan pidatonya ternyata tidur pulas.

Mungkin beberapa pejabat itu tidur (atau tertidur) karena letih, bosan, atau karena nyamannya udara dalam ruangan berpenyejuk udara, atau karena alasan manusiawi lainnya. Kendati demikian, tidur di hadapan presiden dapat dipandang sebagai peristiwa yang tidak biasa. Tidur seperti itu bisa mencerminkan terserapnya seluruh kehidupan individu pada semata diri sendiri (self-absorbtion).

Kejadian kecil itu kita hayati sebagai kejadian besar ketika kita memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan menyambut Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini dengan kesadaran betapa para politikus, pejabat publik, dan warga bangsa di negeri ini juga diresapi fenomena absorbsi-diri. Bukankah kenyataan hidup hamparan warga bangsa ini kini ditandai secara tandas oleh kebiasaan efektif mereka untuk hidup bagi diri sendiri, mengutamakan keuntungan untuk diri sendiri, tak memikirkan nasib orang-orang lain, serta memanipulasi, mengeksploitasi, dan menindas orang- orang lain demi keuntungan diri sendiri? Inilah absurditas yang dihidupi terus oleh warga bangsa ini.

Absurditas itu terwakili oleh pertanyaan, ”Bagaimana orang- orang yang mengaku sebagai warga sebuah bangsa justru mengejawantahkan tindakan-tindakan nyata yang menandaskan bahwa mereka tidak mengakui pentingnya berbagi dengan sesama mereka yang sebangsa, tidak memikirkan kepentingan seluruh warga bangsa, dan tidak berbuat nyata untuk kesejahteraan seluruh rakyat?”

Absurditas itu terkuak jelas dalam kebiasaan mengorupsi uang yang mestinya diperuntukkan penyejahteraan rakyat, dalam kebiasaan pejabat memperkaya diri sendiri melalui jabatan publik yang sesungguhnya adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya untuk digunakan demi menyejahterakan rakyat. Juga kebiasaan mempraktikkan nepotisme dalam berbagi rezeki, kesempatan, dan jabatan, serta dalam kebiasaan memperlakukan orang-orang tertentu sebagai ”kelompokku” atau ”orang-orang kita” sembari memperlakukan orang-orang lain sebagai ”bukan kelompokku” atau ”bukan orang- orang kita”.

Hakikat memperingati Kebangkitan Nasional dan Proklamasi Kemerdekaan adalah merayakan proses menyatunya hamparan luas orang ke dalam sebuah bangsa yang disebut Indonesia. Sungguhkah kenyataan hidup kebangsaan Indonesia kini masih mengandung kelayakan yang memadai untuk memperingati proses itu?

Dipinjamkan rakyat

Kini kita justru melihat betapa cara warga bangsa ini memandang dan mengalami kehidupan nyata hari demi hari begitu sem- pit, terbatas, hanya selebar diri sendiri. Tata pandang dunia (worldview) tersebut bagaikan sebuah ruang yang besarnya hanya sebatas diri sendiri, tak memberikan kemungkinan bagi kehadiran orang-orang lain dan ”dunia lain”.

Tata pandang dunia yang sangat sempit itu makin terkuak jelas setiap kali para politikus, pejabat, dan warga bangsa di negeri ini melakukan kegiatan yang ujung akhirnya adalah kekuasaan dan uang. Salah satu contoh telak dan aktual adalah beberan perilaku para politikus, pejabat, dan warga bangsa dalam rangkuman kegiatan menyongsong pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden serta wakil presiden tahun depan.

Dapat dirasakan betapa bangsa ini sedemikian lemah di hadapan kekuasaan dan uang. Kebiasaan menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti digdaya untuk memuaskan nafsu dan kepentingan diri sendiri begitu kuat, sedangkan tanggung jawab serta keniscayaan untuk menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti yang dipinjamkan oleh rakyat untuk menyejahterakan seluruh warga bangsa tanpa kecuali begitu lemah.

Seyogianya peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan Proklamasi Kemerdekaan tidak dihayati sebagai hura-hura emosional yang kosong belaka. Keduanya lebih patut dialami sebagai peringatan betapa kita niscaya mengatasi kebiasaan menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti digdaya untuk memuaskan nafsu dan kepentingan diri sendiri, dan menggantinya dengan kebiasaan baru untuk menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti yang dipinjamkan oleh rakyat untuk menyejahterakan seluruh warga bangsa Indonesia tanpa kecuali.

Peringatan itu bukan main- main. Absurditas absorbsi-diri menjadikan bangsa ini sebagai “bangsa di tapal batas” (a borderline nation), yaitu bangsa yang berada pada tapal batas tipis antara ”tetap ada” dan ”sedang sirna”. Makna kontekstualnya: Kita sedang berada pada tapal batas tipis antara ”bangsa Indonesia yang tetap ada” dan ”bangsa Indonesia yang sedang sirna”. Agar bangsa Indonesia tetap ada (dan bertumbuh kembang), para politikus, pejabat, dan hamparan warga bangsa ini jangan terus menghidupi absorbsi-diri yang picik. Mereka niscaya keluar dari penjara sempit yang hanya selebar diri sendiri dan berbuat sebanyak mungkin bagi perwujudan kesejahteraan seluruh warga bangsa tanpa kecuali.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Wakil Presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists, Tinggal di Malang

[Kembali]


Jumat, Agustus 15, 2008

Nasib Bangsa yang Risau

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 15 Agustus 2008.

Tonny D Widiastono

Memasuki usia 63 tahun, banyak hal yang perlu dijadikan bahan renungan. Yang jelas, negara-bangsa ini bukannya menjadi semakin maju dan makmur, sebaliknya justru makin mundur, makin tersungkur. Dalam ketersungkuran itu, berbagai elemen yang dimiliki negara-bangsa ini belum mampu menawarkan alternatif pemecahannya.

Kemunduran atau ketersungkuran itu antara lain bisa dirasakan dalam hilangnya perasaan sebagai saudara di antara sesama warga-bangsa yang ”mulai hidup terkotak-kotak”; kualitas kesehatan yang merosot; prestasi olahraga yang menurun; tiadanya pemimpin yang benar-benar memiliki arah, visi, dan mengutamakan kesejahteraan warga-bangsa.

Kini, apa yang bisa dibanggakan dari negara-bangsa ini? Pendidikan yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar pun ternyata terjebak dalam lingkaran persoalan yang sama. Pendidikan, sebagai sarana untuk membantu warga-bangsa, belum bisa dijadikan ”senjata ampuh” untuk mengatasi masalah.

Di bidang olahraga, seorang peserta mengemukakan bahwa bidang kegiatan ini seharusnya bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. Selain itu, olahraga juga menjadi indeks kemajuan suatu negara-bangsa. Tetapi, apa yang kita alami sekarang? Prestasi olahraga kita melorot tajam. Menyorot kemerosotan prestasi, tidak lepas dari perjalanan olahraga kita selama tiga zaman. Ketiga zaman olahraga itu ialah zaman baby boomers; zaman Keluarga Berencana (KB); dan zaman milenium.

Pada zaman baby boomers, ketika seseorang atlet dipanggil masuk pelatnas, ia merasa menjadi manusia terpilih dan berlatih mati-matian. Semangatnya pun dipompa dengan dinyatakan mewakili 175 juta rakyat Indonesia. Prestasi pun bermunculan. Tidak mengherankan bila dalam Ganefo, Indonesia menduduki peringkat kedua.

Pada zaman KB, ketika dipanggil masuk pelatnas untuk menghadapi ajang olahraga antarbangsa, sang atlet segera bertanya, ”berapa uang sakunya?” Dan pada zaman milenium ini, atlet yang dipanggil pelatnas bisa bertanya ”saya (di)sekolah(kan) atau tidak?” Tidak mengherankan bila prestasi olahraga kita kian menurun. Di kawasan Asia Tenggara pun prestasi kita merosot tajam.

Ini adalah contoh nyata betapa kita sulit menghadapi apa yang kita kenal sebagai fundamentalisme pasar. Ada semacam semboyan yang dikumandangkan oleh mereka yang percaya kepada pasar bahwa pasar dapat mengatur diri sendiri.

Atas keadaan ini, sebagai warga negara kita harus bisa mengurus diri sendiri, dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya dapat mengubah kualitas hidup. Semua harus didesain, direncanakan.

Bangsa yang risau

Melihat berbagai gejolak yang terjadi di masyarakat, menunjukkan adanya tanda-tanda, bangsa Indonesia sedang risau. Sumber kerisauan itu terkait eksistensi bangsa-negara Indonesia; masa depan bangsa-negara Indonesia yang tidak menentu; serta kesadaran sebagai warga negara (citizens) berikut segala hak dan kewajibannya yang macet dan tidak berkembang.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Istilah kewarganegaraan (citizenships) mempunyai arti ganda, sebagai suatu praktik dan pendidikan untuk praktik itu. Sebagai praktik, kewarganegaraan menunjuk hak dan kewajiban warga negara, sedangkan sebagai pendidikan, kewarganegaraan menunjuk pengajaran dan pembelajaran atas praktik itu. ”Dulu, para siswa masih mendapat pelajaran civics yang sebetulnya merupakan pendidikan mengenai citizenships,” ujar seorang pembicara.

Dengan demikian, pendidikan menjadi sarana penting untuk menyiapkan seseorang menjadi warga negara yang sanggup melibatkan diri dalam urusan-urusan publik. Dengan keterlibatan dalam politik dan urusan publik, seseorang menjadi individu yang matang dan memiliki berbagai kebajikan sebagai warga negara. Dengan kata lain, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari usaha untuk menjadi warga negara yang baik.

Selain itu, pendidikan juga menjadi sarana untuk menanamkan kesadaran bahwa tiap warga negara adalah anak Indonesia, bukan Batak, bukan Bugis. Melalui pendidikan, sekolah menanamkan citizenships dan ini sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa. Secara sadar, para pendiri bangsa menghapus Piagam Jakarta karena ingin mempertahankan bahwa negeri ini merupakan rumah kebangsaan yang harus dibangun bersama.

Sayang, arus kuat dan indah itu, kini meredup. Amat terasa, kita sekarang ”hidup sendiri-sendiri”, terkotak-kotak. Para pemimpin yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung, justru lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok. Partai- partai yang semula berjanji akan menjadi pengayom dan penuntun masyarakat tak memenuhi janji. Masyarakat merasa seperti dibiarkan berjalan sendiri. Karena itu, tidak mengherankan bila kini banyak anggota masyarakat tidak lagi merasakan keuntungan sebagai warga negara. Adakah ini pertanda bahwa negara gagal menjalankan tugasnya. Sebagai penyelenggara pendidikan, adakah negara juga gagal dalam menanamkan dan menyiapkan seseorang menjadi warga negara yang menyadari hak dan kewajibannya.

Hilangnya negarawan

Muncul pertanyaan, mengapa banyak warga negara kini merasa ”tidak memiliki” negeri ini? Banyak warga negara merasa ”terasing” dengan negerinya sendiri. Mereka merasa terasing dengan ”kiri-kanan”, terasing dengan pemimpinnya, dan terasing dengan negaranya. Saat yang menyadarkan mereka sebagai warga negara adalah ketika harus mengurus atau memperpanjang kartu tanda penduduk (KTP). Dan dalam kenyataannya, KTP juga sering tidak memberi pengaruh apa-apa bagi warga negara. Kita memang sudah hidup terpisah-pisah, tanpa saling berhubungan.

Mengapa ini terjadi? Seorang peserta menunjuk, hal itu disebabkan hilangnya sifat kenegarawanan di kalangan para pemimpin. Penilaian bahwa kenegarawanan hanya dimiliki para pemimpin, disanggah yang lain dengan menyatakan, semua warga negara adalah negarawan. Alasannya, merekalah pemilik sah negara ini, tetapi istilah negarawan itu kemudian dipakai hanya untuk mereka yang menjadi pemimpin, menteri, gubernur, dan lainnya.

”Hal-hal inilah yang mungkin membuat wong cilik merasa tidak ikut memiliki negeri ini. Maka, perlu ada upaya serius untuk melakukan perubahan. Dan, satu-satunya upaya itu adalah melalui pendidikan,” katanya.

Selain hilangnya negarawan, hal lain yang merisaukan adalah hilang atau lumpuhnya akal sehat dan nurani. Ketika itu semua terjadi, kita ingin kembali pada dunia pendidikan kita. Kita berharap agar pendidikan menjalankan peran utamanya dalam membangun akal sehat dan nurani, tetapi kenyataan menunjukkan, pendidikan kita tidak atau belum menuju ke arah itu.

Keadilan sosial

Melihat hiruk-pikuknya masalah yang melingkupi bangsa ini, muncul tawaran melakukan perubahan dengan mengusung cita-cita keadilan sosial sebagai pilar kesadaran bersama. Untuk itu, kekuasaan ”harus direbut” dalam pengertian untuk perubahan itu sendiri.

Mengapa ini dilakukan? Karena jika masih berpikir tentang pentingnya melakukan kebajikan dan toleransi untuk menolong warga negara miskin dan dijalankan tanpa kekuasaan, dikhawatirkan justru tidak akan bisa menolong perjalanan bangsa yang sudah terpuruk hampir total ini. Karena itu, apa pun yang dipikirkan mengenai kewarganegaraan, tentang demokrasi, kiranya harus dikembalikan ke masalah dasar, yaitu ketimpangan sosial. Orang miskin yang lapar tidak pernah bisa mengartikulasikan kelaparannya, seperti orang kaya merasakan hal yang sama.

Tawaran yang lain adalah keharusan untuk memberikan seluruh hak dan kewajiban secara setara kepada setiap warga negara. Langkah ini perlu ditempuh mengingat bidang yang digarap terkait program politik.

Namun, bagaimana semua itu bisa terpenuhi jika krisis ekonomi tidak terselesaikan lebih dulu. Dengan demikian, sebenarnya dasar persoalan kita adalah krisis ekonomi. Tanpa bisa menyelesaikan krisis ekonomi, apa pun retorika yang keluar hanyalah ekspresi kosong. Sebab, apa pun yang memengaruhi semua kehidupan—termasuk masalah kewarganegaraan—tidak akan terselesaikan jika struktur dasar (basic structure) kehidupan, yaitu ekonomi, tidak teratasi.

Maka, yang terjadi dalam superstructure pun pada dasarnya amat bergantung pada persoalan politik yang kita hadapi sehari-hari, yaitu masalah kesejahteraan.

Kaum intelektual

Usul lain guna mengatasi persoalan bangsa yang kian rumit ini adalah ajakan bagi kaum intelektual untuk bersatu guna melakukan perubahan secara berani. Diakui, upaya melakukan perubahan sungguh sulit mengingat kita semua sudah ”saling terpisah”. Tetapi, apa pun risikonya, bersatunya kaum intelektual dirasa penting, bukan untuk menjadi politisi murahan, melainkan benar-benar menjadi politisi dalam pelatihan diri menjadi negarawan.

Meskipun demikian, diingatkan bahwa kaum intelektual sekarang tampil lebih fungsional daripada semacam kelompok. Para intelektual sudah didistribusikan ke berbagai institusi. Maka, amat diharapkan peran intelektual itu kini bisa dilakukan oleh media. Melalui media, kehidupan intelektual tidak akan mati dan terus melakukan estafet. Inikah jalan yang harus ditempuh oleh bangsa yang merisaukan dirinya sendiri?


[Kembali]