Jumat, Agustus 15, 2008

Nasib Bangsa yang Risau

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 15 Agustus 2008.

Tonny D Widiastono

Memasuki usia 63 tahun, banyak hal yang perlu dijadikan bahan renungan. Yang jelas, negara-bangsa ini bukannya menjadi semakin maju dan makmur, sebaliknya justru makin mundur, makin tersungkur. Dalam ketersungkuran itu, berbagai elemen yang dimiliki negara-bangsa ini belum mampu menawarkan alternatif pemecahannya.

Kemunduran atau ketersungkuran itu antara lain bisa dirasakan dalam hilangnya perasaan sebagai saudara di antara sesama warga-bangsa yang ”mulai hidup terkotak-kotak”; kualitas kesehatan yang merosot; prestasi olahraga yang menurun; tiadanya pemimpin yang benar-benar memiliki arah, visi, dan mengutamakan kesejahteraan warga-bangsa.

Kini, apa yang bisa dibanggakan dari negara-bangsa ini? Pendidikan yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar pun ternyata terjebak dalam lingkaran persoalan yang sama. Pendidikan, sebagai sarana untuk membantu warga-bangsa, belum bisa dijadikan ”senjata ampuh” untuk mengatasi masalah.

Di bidang olahraga, seorang peserta mengemukakan bahwa bidang kegiatan ini seharusnya bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. Selain itu, olahraga juga menjadi indeks kemajuan suatu negara-bangsa. Tetapi, apa yang kita alami sekarang? Prestasi olahraga kita melorot tajam. Menyorot kemerosotan prestasi, tidak lepas dari perjalanan olahraga kita selama tiga zaman. Ketiga zaman olahraga itu ialah zaman baby boomers; zaman Keluarga Berencana (KB); dan zaman milenium.

Pada zaman baby boomers, ketika seseorang atlet dipanggil masuk pelatnas, ia merasa menjadi manusia terpilih dan berlatih mati-matian. Semangatnya pun dipompa dengan dinyatakan mewakili 175 juta rakyat Indonesia. Prestasi pun bermunculan. Tidak mengherankan bila dalam Ganefo, Indonesia menduduki peringkat kedua.

Pada zaman KB, ketika dipanggil masuk pelatnas untuk menghadapi ajang olahraga antarbangsa, sang atlet segera bertanya, ”berapa uang sakunya?” Dan pada zaman milenium ini, atlet yang dipanggil pelatnas bisa bertanya ”saya (di)sekolah(kan) atau tidak?” Tidak mengherankan bila prestasi olahraga kita kian menurun. Di kawasan Asia Tenggara pun prestasi kita merosot tajam.

Ini adalah contoh nyata betapa kita sulit menghadapi apa yang kita kenal sebagai fundamentalisme pasar. Ada semacam semboyan yang dikumandangkan oleh mereka yang percaya kepada pasar bahwa pasar dapat mengatur diri sendiri.

Atas keadaan ini, sebagai warga negara kita harus bisa mengurus diri sendiri, dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya dapat mengubah kualitas hidup. Semua harus didesain, direncanakan.

Bangsa yang risau

Melihat berbagai gejolak yang terjadi di masyarakat, menunjukkan adanya tanda-tanda, bangsa Indonesia sedang risau. Sumber kerisauan itu terkait eksistensi bangsa-negara Indonesia; masa depan bangsa-negara Indonesia yang tidak menentu; serta kesadaran sebagai warga negara (citizens) berikut segala hak dan kewajibannya yang macet dan tidak berkembang.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Istilah kewarganegaraan (citizenships) mempunyai arti ganda, sebagai suatu praktik dan pendidikan untuk praktik itu. Sebagai praktik, kewarganegaraan menunjuk hak dan kewajiban warga negara, sedangkan sebagai pendidikan, kewarganegaraan menunjuk pengajaran dan pembelajaran atas praktik itu. ”Dulu, para siswa masih mendapat pelajaran civics yang sebetulnya merupakan pendidikan mengenai citizenships,” ujar seorang pembicara.

Dengan demikian, pendidikan menjadi sarana penting untuk menyiapkan seseorang menjadi warga negara yang sanggup melibatkan diri dalam urusan-urusan publik. Dengan keterlibatan dalam politik dan urusan publik, seseorang menjadi individu yang matang dan memiliki berbagai kebajikan sebagai warga negara. Dengan kata lain, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari usaha untuk menjadi warga negara yang baik.

Selain itu, pendidikan juga menjadi sarana untuk menanamkan kesadaran bahwa tiap warga negara adalah anak Indonesia, bukan Batak, bukan Bugis. Melalui pendidikan, sekolah menanamkan citizenships dan ini sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa. Secara sadar, para pendiri bangsa menghapus Piagam Jakarta karena ingin mempertahankan bahwa negeri ini merupakan rumah kebangsaan yang harus dibangun bersama.

Sayang, arus kuat dan indah itu, kini meredup. Amat terasa, kita sekarang ”hidup sendiri-sendiri”, terkotak-kotak. Para pemimpin yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung, justru lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok. Partai- partai yang semula berjanji akan menjadi pengayom dan penuntun masyarakat tak memenuhi janji. Masyarakat merasa seperti dibiarkan berjalan sendiri. Karena itu, tidak mengherankan bila kini banyak anggota masyarakat tidak lagi merasakan keuntungan sebagai warga negara. Adakah ini pertanda bahwa negara gagal menjalankan tugasnya. Sebagai penyelenggara pendidikan, adakah negara juga gagal dalam menanamkan dan menyiapkan seseorang menjadi warga negara yang menyadari hak dan kewajibannya.

Hilangnya negarawan

Muncul pertanyaan, mengapa banyak warga negara kini merasa ”tidak memiliki” negeri ini? Banyak warga negara merasa ”terasing” dengan negerinya sendiri. Mereka merasa terasing dengan ”kiri-kanan”, terasing dengan pemimpinnya, dan terasing dengan negaranya. Saat yang menyadarkan mereka sebagai warga negara adalah ketika harus mengurus atau memperpanjang kartu tanda penduduk (KTP). Dan dalam kenyataannya, KTP juga sering tidak memberi pengaruh apa-apa bagi warga negara. Kita memang sudah hidup terpisah-pisah, tanpa saling berhubungan.

Mengapa ini terjadi? Seorang peserta menunjuk, hal itu disebabkan hilangnya sifat kenegarawanan di kalangan para pemimpin. Penilaian bahwa kenegarawanan hanya dimiliki para pemimpin, disanggah yang lain dengan menyatakan, semua warga negara adalah negarawan. Alasannya, merekalah pemilik sah negara ini, tetapi istilah negarawan itu kemudian dipakai hanya untuk mereka yang menjadi pemimpin, menteri, gubernur, dan lainnya.

”Hal-hal inilah yang mungkin membuat wong cilik merasa tidak ikut memiliki negeri ini. Maka, perlu ada upaya serius untuk melakukan perubahan. Dan, satu-satunya upaya itu adalah melalui pendidikan,” katanya.

Selain hilangnya negarawan, hal lain yang merisaukan adalah hilang atau lumpuhnya akal sehat dan nurani. Ketika itu semua terjadi, kita ingin kembali pada dunia pendidikan kita. Kita berharap agar pendidikan menjalankan peran utamanya dalam membangun akal sehat dan nurani, tetapi kenyataan menunjukkan, pendidikan kita tidak atau belum menuju ke arah itu.

Keadilan sosial

Melihat hiruk-pikuknya masalah yang melingkupi bangsa ini, muncul tawaran melakukan perubahan dengan mengusung cita-cita keadilan sosial sebagai pilar kesadaran bersama. Untuk itu, kekuasaan ”harus direbut” dalam pengertian untuk perubahan itu sendiri.

Mengapa ini dilakukan? Karena jika masih berpikir tentang pentingnya melakukan kebajikan dan toleransi untuk menolong warga negara miskin dan dijalankan tanpa kekuasaan, dikhawatirkan justru tidak akan bisa menolong perjalanan bangsa yang sudah terpuruk hampir total ini. Karena itu, apa pun yang dipikirkan mengenai kewarganegaraan, tentang demokrasi, kiranya harus dikembalikan ke masalah dasar, yaitu ketimpangan sosial. Orang miskin yang lapar tidak pernah bisa mengartikulasikan kelaparannya, seperti orang kaya merasakan hal yang sama.

Tawaran yang lain adalah keharusan untuk memberikan seluruh hak dan kewajiban secara setara kepada setiap warga negara. Langkah ini perlu ditempuh mengingat bidang yang digarap terkait program politik.

Namun, bagaimana semua itu bisa terpenuhi jika krisis ekonomi tidak terselesaikan lebih dulu. Dengan demikian, sebenarnya dasar persoalan kita adalah krisis ekonomi. Tanpa bisa menyelesaikan krisis ekonomi, apa pun retorika yang keluar hanyalah ekspresi kosong. Sebab, apa pun yang memengaruhi semua kehidupan—termasuk masalah kewarganegaraan—tidak akan terselesaikan jika struktur dasar (basic structure) kehidupan, yaitu ekonomi, tidak teratasi.

Maka, yang terjadi dalam superstructure pun pada dasarnya amat bergantung pada persoalan politik yang kita hadapi sehari-hari, yaitu masalah kesejahteraan.

Kaum intelektual

Usul lain guna mengatasi persoalan bangsa yang kian rumit ini adalah ajakan bagi kaum intelektual untuk bersatu guna melakukan perubahan secara berani. Diakui, upaya melakukan perubahan sungguh sulit mengingat kita semua sudah ”saling terpisah”. Tetapi, apa pun risikonya, bersatunya kaum intelektual dirasa penting, bukan untuk menjadi politisi murahan, melainkan benar-benar menjadi politisi dalam pelatihan diri menjadi negarawan.

Meskipun demikian, diingatkan bahwa kaum intelektual sekarang tampil lebih fungsional daripada semacam kelompok. Para intelektual sudah didistribusikan ke berbagai institusi. Maka, amat diharapkan peran intelektual itu kini bisa dilakukan oleh media. Melalui media, kehidupan intelektual tidak akan mati dan terus melakukan estafet. Inikah jalan yang harus ditempuh oleh bangsa yang merisaukan dirinya sendiri?


[Kembali]

Tidak ada komentar: