Kamis, November 13, 2008

Bangsa yang Kehilangan Harga Diri

Diunduh dari Harian Kompas, Kamis, 13 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/13/00444190/bangsa.yang.kehilangan.harga.diri

Oleh Adi Andojo Soetjipto

Harian Kompas (Selasa, 11/11/2008) memuat berita yang amat mengejutkan. Halaman pertama harian ini memuat foto besar dan di bawahnya ada tulisan berhuruf besar dan tebal, ”Kejagung Menahan Romli”.

Yang dimaksud dengan Romli adalah Romli Atmasasmita, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Beberapa tahun lalu, nama Romli Atmasasmita amat dikenal di kalangan para penegak hukum karena perannya yang amat menonjol dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, berita bahwa Romli ditahan dan menjadi tersangka kasus korupsi cukup mengejutkan banyak pihak.

Meski Romli menyatakan tidak tahu untuk apa ditahan dan penahanan ini sudah diskenariokan, fakta bahwa dia sudah ditahan memberinya stigma yang tidak akan bisa dihapus selama hidupnya. Lebih-lebih apabila kasusnya kelak sampai ke pengadilan, bahkan sampai dijatuhi hukuman.

Lepas dari itu, kita patut bertanya mengapa orang yang pernah dijuluki ”pakar korupsi” dan yang pernah beberapa kali menjadi Ketua Tim Penyusunan Undang-Undang Antikorupsi terlibat tuduhan telah melakukan korupsi? Apakah dia sekadar menjadi korban dari keadaan negara yang korupsinya sudah merambah ke mana-mana dan tanpa disadari ia terkena kena imbasnya? Ataukah dengan sadar dia telah ikut melakukan itu?

Hilangnya harga diri

Ada dugaan, tindakan Kejaksaan Agung itu merupakan ”balas dendam” pihak kejaksaan kepada Romli karena dinilai vokal dalam menuntut penyelesaian kasus BLBI. Namun, Ketua Tim Jaksa Penyidik Faried Harianto mengatakan ”ini merupakan penegakan hukum murni” karena dari alat bukti ditemukan keterlibatan tersangka, termasuk Romli.

Sungguh, kita merasa prihatin mengalami kejadian ini. Apakah semua kejadian ini muncul akibat bangsa ini sudah kehilangan harga diri? Sampai-sampai orang yang paling bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi pun, bahkan yang boleh dikatakan memiliki otak brilian dalam menyusun undang-undang antikorupsi, telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi?

Bangsa yang kehilangan harga diri berarti bangsa yang mati. Mati dari memiliki rasa malu, mati dari memiliki rasa saling mengasihi sesama, mati dari memiliki nurani, mati dari segalanya kecuali nyawa yang masih hidup.

Dulu, zaman pemerintah kolonial Belanda, ada yang disebut fraude. Ambtenar yang melakukan fraude dan terbukti akan segera masuk penjara dan dipecat. Ambtenar yang melakukan fraude itu paling tinggi pangkatnya adalah setingkat regent (bupati) ke bawah dan kebanyakan fraude dilakukan karena ambtenar itu terlibat utang karena berjudi. Yang jelas baik, si ambtenar maupun keluarganya sama-sama merasa malu besar. Perbuatannya yang merupakan aib itu dirahasiakan rapat-rapat.

Kini, keadaannya sudah berbeda 180 derajat. Pegawai negeri yang melakukan korupsi justru yang pangkatnya sudah tinggi sekali, setingkat direktur jenderal, bahkan ada yang setingkat menteri. Kebutuhan untuk melakukan korupsi juga berbeda antara zaman dulu dan sekarang. Korupsi untuk zaman sekarang bukan untuk berjudi, tetapi untuk bisa hidup mewah. Dan mereka yang melakukan korupsi itu sama sekali tidak merasa malu. Bahkan, keluarganya pun merasa bangga. Untuk berangkat ke sekolah, anaknya pun diantar dengan menggunakan mobil mewah hasil korupsi.

Kewajiban kita

Sekarang kewajiban kita adalah bagaimana membuat bangsa yang sudah mati ini hidup kembali. Diakui, hal ini merupakan kewajiban yang amat berat karena menyangkut seluruh elemen bangsa.

Menurut penulis, upaya untuk menghidupkan kembali harga diri, bangsa ini harus dibuat sejahtera, hidup makmur, dan merata menyangkut segala lapisan masyarakat. Tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada anak- anak yang menderita gizi buruk. Perut seluruh rakyat kenyang, badannya pun sehat. Mereka semua tinggal di perumahan yang memenuhi kebutuhan, dengan air melimpah.

Jika semua ini sudah terpenuhi, seluruh rakyat pasti menuruti kehendak para pemimpin. Kini, tinggal pemimpinnya yang harus pandai, bijaksana, tidak memikirkan diri sendiri, sebaliknya justru pemimpin yang memikirkan kepentingan rakyat.

Pertanyaannya, apakah negeri ini memiliki pemimpin yang berkualitas? Pemimpin yang pandai banyak jumlahnya. Pemimpin yang bijak yang tidak memikirkan diri sendiri amat sulit dicari. Kebanyakan mereka cuma berpikiran ”aku dan saku”. Ini merupakan pekerjaan rumah untuk Pemilu 2009.

Adi Andojo Soetjipto Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung

[ Kembali ]

Selasa, Oktober 07, 2008

Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia

ANALISIS EKONOMI
Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia
Oleh FAISAL BASRI
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 6 Oktober 2008

Kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan tumbuh meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia.

Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.

Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

Itulah yang dewasa ini terjadi di Amerika Serikat dan merembet ke negara maju lainnya karena sesama mereka terkait satu sama lain. Krisis keuangan yang melanda AS juga sekaligus mengindikasikan bahwa mekanisme pasar masih menjalankan perannya, yakni mengoreksi pelaku-pelaku yang tidak tunduk pada kaidah fundamental pasar.

Bagaimana mungkin perekonomian AS selama bertahun-tahun bisa membiayai Perang Irak, membiarkan defisit anggaran (APBN) terus menggelembung, dan pada periode yang sama mengalami defisit perdagangan luar negeri. Sementara itu, tingkat tabungan masyarakat AS sangat rendah, utang rumah tangga telah melampaui pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Untuk membiayai perekonomian yang boros, satu-satunya cara ialah terus berutang. Surat- surat utang terus diterbitkan, baik oleh pemerintah maupun swasta, lalu disantap oleh investor, termasuk dari Indonesia.

Kapitalisme pengisap

Jadi, kalau kekacauan ekonomi di AS akan merembet ke hampir seluruh dunia, itu merupakan konsekuensi dari perilaku masyarakat dunia yang terseret ke dalam irama permainan AS. Padahal, peran AS di dalam perekonomian dunia tak lagi sedigdaya pada tahun 1970-an. Kini produk domestik bruto AS yang telah dikoreksi dengan daya beli (purchasing power parity) tinggal 21 persen saja. Sebaliknya, telah muncul kekuatan baru, seperti China dan India.

Kita sedang menghadapi proses menuju keseimbangan baru sebagai konsekuensi dari pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Proses ini tentu saja akan ditandai oleh penyesuaian perilaku dan tata aturan menuju mekanisme yang lebih harmoni dan berkeadilan. Pendulum betul-betul sedang berayun, lambat laun menjauh dari financially-driven capitalism yang sangat ribawi itu, yang menghasilkan kemakmuran semu dan bersifat mengisap karena yang mengedepan adalah zero-sum game, bukan shared prosperity.

Pelajaran untuk kita

Kita tak boleh membiarkan diri terperangkap pada pola atau perilaku ”lebih besar pasak daripada tiang”, apalagi kalau pengeluaran yang menggelembung didominasi oleh belanja konsumtif sebagaimana terlihat dari postur APBN kita. Sangat disayangkan jika peningkatan penerimaan APBN sebagian besar dibelanjakan untuk belanja pemerintah pusat dan subsidi tak terarah. Defisit APBN yang lebih diakibatkan pola pengeluaran demikian tak boleh lagi ditoleransi. Pola seperti itulah yang terjadi di AS.

Belanja pemerintah pusat seharusnya tak meningkat tajam karena era otonomi mengharuskan postur pemerintah pusat lebih langsing. Bukankah seluruh fungsi pemerintahan, kecuali di lima bidang sebagaimana diamanatkan undang-undang, harus diserahkan kepada daerah.

Mengapa justru setelah era otonomi jajaran eselon satu bertambah? Mengapa tidak terjadi pengalihan sebagian fungsi kementerian pada lembaga-lembaga independen? Defisit anggaran hanya bisa dibenarkan jika untuk meningkatkan kapasitas produktif.

Tantangan kedua ialah menghentikan gejala dini deindustrialisasi. Gejala ini terlihat dari penurunan sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB yang sudah terjadi secara konsisten sejak 2005. Padahal, industrialisasi di Indonesia masih relatif jauh dari optimal.

Memang pemerintah telah cukup banyak berbuat, tetapi kebanyakan tindakan yang telah diambil sejauh ini sudah teramat usang. Lihat saja Keputusan Presiden tentang Kebijakan Industri Nasional yang dikeluarkan Mei 2008 yang tak memiliki skala prioritas. Semua hendak dimajukan dan ditawarkan insentif. Hasilnya bisa diduga, yakni tak akan ada satu paket insentif pun yang secara berarti akan memajukan industri tertentu yang pada gilirannya akan mendongkrak kinerja industri manufaktur.

Pemerintah juga menawarkan konsep kawasan ekonomi khusus (KEK) untuk memajukan industri. Konsep KEK ini boleh dikatakan usang dan tak bakal menawarkan sesuatu yang berarti bagi kemajuan perekonomian dan daya saing nasional. Bukankah tanpa KEK pun hampir semua aspek perekonomian Indonesia sudah sangat liberal?

Kemunduran relatif sektor industri pada gilirannya akan memperlemah landasan ekspor. Sekarang saja sudah terbukti, sebagaimana terlihat dari penyusutan surplus perdagangan akibat kemerosotan harga-harga komoditas. Tanpa memajukan industri manufaktur, sama saja dengan melakukan pembiaran atas pengerukan kekayaan alam dengan penciptaan nilai tambah ala kadarnya sehingga tak akan memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.

Dampak selanjutnya dari pelemahan kinerja industri adalah terhadap pola lalu lintas modal yang masuk (capital inflow). Dalam dua tahun terakhir, modal yang masuk lebih didominasi oleh investasi jangka pendek ketimbang penanaman modal asing langsung yang bersifat jangka panjang.

Kalau kecenderungan di atas terus berlangsung, sama saja kita secara sukarela menjadi mangsa dari financially-driven capitalism yang amat buas itu.

[ Kembali ]

Senin, September 22, 2008

Akhirnya Amerika Membentuk BPPN

JPE / Kompas Images
MIRZA ADITYASWARA

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 22 September 2008

Setelah indeks saham terjun bebas selama beberapa bulan, Jumat pekan lalu pasar saham di seluruh dunia naik tajam karena investor pasar keuangan mendengar rencana Pemerintah Amerika Serikat akan membentuk lembaga yang mengambil alih tagihan kredit macet di perbankan AS. Lembaga tersebut akan mengambil alih tagihan macet kredit properti sampai jumlah 700 miliar dollar AS (produk domestik bruto/PDB Indonesia sekitar 490 miliar dollar AS). Bentuk lembaga ini semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang pernah dibuat Pemerintah Indonesia pada waktu krisis keuangan tahun 1998.

Ketamakan pelaku pasar keuangan telah memakan dirinya sendiri. Liberalisasi pasar keuangan tanpa rambu kehati-hatian telah menelan banyak korban. Krisis keuangan global yang kita hadapi saat ini adalah krisis yang serius, bukan suatu masalah yang bisa selesai dalam waktu tiga bulan. Pada waktu kita mengalami krisis ekonomi Asia pada tahun 1998, ekonomi dunia tidak terpengaruh. Namun, kali ini yang sakit adalah mesin ekonomi dunia (AS) sehingga dampaknya mengglobal.

Tanpa kita sadari, gejolak ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun, sejak Juli 2007. Bermula dari timbulnya kredit macet di portofolio subprime mortgage, kerugian sistem perbankan global per kuartal II-2008 sudah mencapai 500 miliar dollar AS. Dampak dari krisis keuangan saat ini telah membuat ekonomi dunia kehilangan mesin pemberi kredit. Bank internasional, seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, dan Morgan Stanley, rugi puluhan miliar dollar AS sehingga pasti mereka tidak berminat menyalurkan kredit sebelum ada tambahan modal.

Pada awalnya, ekonomi Asia dianggap tidak akan terkena dampak krisis di AS karena porsi ekspor negara-negara Asia ke AS semakin menurun dibandingkan satu dekade lalu. Namun, pada era globalisasi, gerak ekonomi dunia bukan hanya ditentukan oleh sektor riil, tetapi sangat ditentukan oleh aliran modal di pasar keuangan.

Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs dollar AS terhadap mata uang euro dan yen serta merontokkan harga saham di AS. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi Amerika akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Masalah makin rumit, penurunan harga saham di negara berkembang sering kali disertai pelarian modal ke instrumen yang dianggap kurang berisiko (misalnya surat utang negara maju atau emas). Akibatnya, kurs mata uang negara berkembang melemah dan bank sentral harus menaikkan suku bunga.

Lari ke komoditas

Situasi tahun 2008 sangat kompleks. Demi menghindari resesi, bank sentral Amerika menurunkan bunga secara drastis dari 5,25 persen ke 2,0 persen. Namun, di lain pihak, penurunan bunga dan penurunan kurs dollar AS membuat investor mencari kompensasi dengan membeli komoditas tambang dan pertanian. Akibatnya, harga komoditas melesat tajam, menimbulkan gelombang inflasi.

Inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan 12-13 persen. Akibatnya, bank-bank sentral di negara berkembang harus menaikkan suku bunga.

Teori penguatan harga komoditas tidak berlangsung lama. Pada akhirnya kita lihat bahwa melambatnya ekonomi dunia dan meredanya ketegangan geopolitik di Iran dan Irak menurunkan harga komoditas tambang (termasuk minyak bumi) dan pertanian. Hasil akhirnya, kerugian bertambah besar.

Usaha penyelamatan dilakukan bertubi-tubi. Amerika telah menurunkan suku bunga secara drastis dan mengucurkan likuiditas ke perusahaan sekuritas. Bank JP Morgan diminta mengambil alih perusahaan sekuritas Bear Stearns. Bank of America mengambil alih Merrill Lynch. Pemerintah AS terpaksa harus menyelamatkan lembaga kredit perumahan Fannie Mae and Freddie Mac yg mempunyai kewajiban 5 triliun dollar AS!

Pemerintah AS juga menyuntik likuiditas 85 miliar dollar AS ke asuransi jiwa AIG. Namun, sebagai peringatan kepada para spekulan, Pemerintah AS membiarkan Lehman Brothers bangkrut. Selanjutnya, bank sentral AS mengajak bank sentral Eropa dan Jepang mengucurkan likuiditas ke pasar uang. Tidak terpikir sebelumnya di benak kita bahwa AS dan Inggris sebagai pembela liberalisasi pasar akhirnya minggu lalu melarang investor keuangan melakukan aksi spekulasi short selling.

Apa yang harus dilakukan masyarakat Indonesia? Tanpa mengurangi optimisme, kita harus selalu waspada. Fundamental ekonomi kita masih cukup baik, pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa sedikit di atas 6 persen. Likuiditas rupiah harus tersedia, tetapi jangan berlebihan agar tak dipakai spekulasi membeli mata uang asing. Bisa dimengerti jika BI belum mau menurunkan suku bunga sampai yakin inflasi turun ke arah 7 persen agar kepercayaan investor asing pembeli surat utang negara tetap terjaga. Namun, perbankan sebaiknya tak menawarkan bunga deposito yang terlalu tinggi karena akan menimbulkan persepsi negatif.

Kinerja ekspor komoditas diperkirakan melambat sehingga perlu diimbangi dengan penurunan impor minyak bumi dan bahan baku lain. Rencana ekspansi korporasi yang berlebihan harus dipikirkan pendanaannya karena suku bunga kredit sudah naik dan keran kredit dari luar negeri belum akan tersedia sampai setahun ke depan.

Fundamental anggaran pemerintah cukup baik, defisit anggaran diperkirakan turun ke 1,7 persen PDB dari rencana semula 2,1 persen persen PDB. Maka, pemerintah di pusat dan daerah harus mengompensasi pelambatan ekonomi dengan mempercepat penggunaan anggaran, tentu saja tanpa menerjang rambu-rambu good governance.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal

[ Kembali ]

Rabu, September 10, 2008

Pailit

Kolom Jendela 234
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Jum'at, 05 Sep 2008
by : N. Syamsuddin CH. Haesy
ABU Hurairah berkesaksian. Suatu ketika Rasulullah Muhammad SAW bertanya kepada para sahabat: "Tahukah kalian, siapa orang pailit di antara umatku?" Seorang sahabat menjawab, orang yang pailit adalah mereka yang bangkrut, dan karenanya tak mempunyai harta benda. Rasulullah menggelengkan kepala, lalu bersabda, "Sesungguhnya, orang yang pailit dari umatku adalah mereka yang datang di hari kiamat lengkap dengan salat, puasa, dan zakatnya. Tetapi, ia juga telah memaki si A, menuduh si B, memakan harta si C, menumpahkan darah si D, dan melukai si E. Allah memberikan hasanat, kebaikan untuk salat, puasa, dan zakatnya kepada A, B, C, D, dan E. Jika habis hasanatnya, namun belum cukup tanggungannya, maka diambilkan dari dosa-dosa orang yang dianiaya itu, lalu dibebankan kepadanya."

Akan halnya suatu bangsa akan mengalami kepailitan bila bangsa itu mengalami lima kejadian yang buruk. Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana kesaksian Umar bin Khattab, seperti diriwayatkan Ibn Majah dan Al Haakim, mengurai lima hal yang mengerikan itu.

Pertama, menjalarnya pelacuran karena legalisasi pemerintahnya, sehingga berkembanglah wabah tha'un (AIDS) dan berbagai penyakit yang tidak pernah terjadi pada nenek (orang-orang tua) mereka; Kedua, berkembangnya bencana bala' kahat atau laip, berupa berkurangnya hasil bumi, berkembangnya pengangguran, berlangsungnya krisis ekonomi, dan kejamnya pemerintahan (penguasa), akibat berlangsungnya transaksi bisnis yang tidak adil, dan perdagangan yang curang; Ketiga, berlangsungnya perubahan musim penghujan dan kemarau, dengan kemarau panjang. Kalaupun hujan turun, hal itu hanya karena di negeri itu masih terdapat hewan ternak. Bencana itu disebabkan oleh sikap penduduk yang enggan (dan bahkan menolak) kewajiban membayar zakat harta; Keempat, datangnya penjajah bangsa lain untuk merampas hak milik mereka, sebagai akibat mereka tidak percaya, tidak yakin terhadap janji Allah dan rasul-Nya; dan, Kelima, binasanya para imam karena ulah dan polah sendiri (pertikaian) yang tidak mau mengikuti petunjuk yang sudah digariskan Allah di dalam kitab suci Al Qur'an.

Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib, menegaskan, jangan meminta hajat kebutuhan dari manusia, yang rejekinya di ujung takaran dan timbangan. Karena pada dasarnya merekalah yang kelak akan pailit, dan menciptakan kepailitan bagi umat manusia. Karena itu, amiril mukminin mengajarkan hikmat yang tepat:

Sungguh celaka mereka yang menjual habbah (biji-bijian), dan dikurangi (dipotong) jannah (surga), selebar langit dan bumi. Atau membeli habbah untuk ditambah dengan jurang di jahanam (neraka), yang apabila bukit-bukit dunia dimasukkan ke dalamnya, pasti akan cair. Karena itu, berhati-hatilah dengan mereka yang menjual dan curang dalam timbangan, sehingga mengurangi hak orang lain. Karena, mereka sesungguhnya orang-orang yang pailit di neraka, karena telah membuang surga. Dan orang yang membeli, lalu melebihi takaran yang semestinya, sesungguhnya ia sedang menambah bilangan jurang di dalam jahanam.

Orang-orang yang pailit adalah mereka yang meratapi masa depannya, karena mengabaikan kesempatan berbuat baik, bajik, dan bijak pada masa kini. Laksana kisah Malik bin Dinar, yang menjenguk tetangganya yang mengeluh, seolah sedang mendaki dua bukit api. Ketika Malik bertanya, apa pekerjaannya dulu. Keluarganya bilang: dia mempunyai dua timbangan untuk membeli dan menjual. Malik meminta kedua timbangan itu dan menghancurkannya. Tapi, belum cukup. Ia mati dalam sakit yang tak tersembuhkan deritanya. Sang tetangga mati dalam keadaan pailit.

[ Kembali ]

Jumat, Agustus 22, 2008

Presiden : Indonesia Telah Lepas Dari Krisis

Ekonomi
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jumat, 22 Agustus 2008

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, Indonesia telah lepas dari krisis ekonomi, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi demi menuju masa depan yang lebih baik.

Demikian petikan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membacakan keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (22/08).

Menurutnya, Indonesia lepas dari krisis, tercermin dari pendapatan per kapita masyarakat yang terus meningkat dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang kian melonjak.

"Kita patut bersyukur, bahwa pendapatan per kapita meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 pendapatan per kapita baru mencapai 1.186 dolar AS, namun pada 2007 telah menjadi 1.946 dolar AS atau meningkat dengan 64 persen dalam tiga tahun," kata Presiden.

Angka ini diutarakannya, juga merupakan capaian pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari masa sebelum krisis ekonomi 1998.

Sementara itu, PDB Indonesia pada tahun 2007 telah mencapai nilai sebesar Rp3.957 triliun. Dengan PDB sebesar itu, Indonesia termasuk dalam 20 negara dengan PDB terbesar di dunia. (Ant)

[ Kembali ]

Minggu, Agustus 17, 2008

Bangsa di Tapal Batas

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 16 Agustus 2008

Limas Sutanto

Ketika bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan menyambut Proklamasi Kemerdekaan pada tahun ini, ada kejadian ”kecil” yang menarik tetapi sekaligus memalukan. Dalam kejadian yang ditayangkan MetroTV pada 8 April 2008 malam itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono marah karena beberapa pejabat yang mendengarkan pidatonya ternyata tidur pulas.

Mungkin beberapa pejabat itu tidur (atau tertidur) karena letih, bosan, atau karena nyamannya udara dalam ruangan berpenyejuk udara, atau karena alasan manusiawi lainnya. Kendati demikian, tidur di hadapan presiden dapat dipandang sebagai peristiwa yang tidak biasa. Tidur seperti itu bisa mencerminkan terserapnya seluruh kehidupan individu pada semata diri sendiri (self-absorbtion).

Kejadian kecil itu kita hayati sebagai kejadian besar ketika kita memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan menyambut Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini dengan kesadaran betapa para politikus, pejabat publik, dan warga bangsa di negeri ini juga diresapi fenomena absorbsi-diri. Bukankah kenyataan hidup hamparan warga bangsa ini kini ditandai secara tandas oleh kebiasaan efektif mereka untuk hidup bagi diri sendiri, mengutamakan keuntungan untuk diri sendiri, tak memikirkan nasib orang-orang lain, serta memanipulasi, mengeksploitasi, dan menindas orang- orang lain demi keuntungan diri sendiri? Inilah absurditas yang dihidupi terus oleh warga bangsa ini.

Absurditas itu terwakili oleh pertanyaan, ”Bagaimana orang- orang yang mengaku sebagai warga sebuah bangsa justru mengejawantahkan tindakan-tindakan nyata yang menandaskan bahwa mereka tidak mengakui pentingnya berbagi dengan sesama mereka yang sebangsa, tidak memikirkan kepentingan seluruh warga bangsa, dan tidak berbuat nyata untuk kesejahteraan seluruh rakyat?”

Absurditas itu terkuak jelas dalam kebiasaan mengorupsi uang yang mestinya diperuntukkan penyejahteraan rakyat, dalam kebiasaan pejabat memperkaya diri sendiri melalui jabatan publik yang sesungguhnya adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya untuk digunakan demi menyejahterakan rakyat. Juga kebiasaan mempraktikkan nepotisme dalam berbagi rezeki, kesempatan, dan jabatan, serta dalam kebiasaan memperlakukan orang-orang tertentu sebagai ”kelompokku” atau ”orang-orang kita” sembari memperlakukan orang-orang lain sebagai ”bukan kelompokku” atau ”bukan orang- orang kita”.

Hakikat memperingati Kebangkitan Nasional dan Proklamasi Kemerdekaan adalah merayakan proses menyatunya hamparan luas orang ke dalam sebuah bangsa yang disebut Indonesia. Sungguhkah kenyataan hidup kebangsaan Indonesia kini masih mengandung kelayakan yang memadai untuk memperingati proses itu?

Dipinjamkan rakyat

Kini kita justru melihat betapa cara warga bangsa ini memandang dan mengalami kehidupan nyata hari demi hari begitu sem- pit, terbatas, hanya selebar diri sendiri. Tata pandang dunia (worldview) tersebut bagaikan sebuah ruang yang besarnya hanya sebatas diri sendiri, tak memberikan kemungkinan bagi kehadiran orang-orang lain dan ”dunia lain”.

Tata pandang dunia yang sangat sempit itu makin terkuak jelas setiap kali para politikus, pejabat, dan warga bangsa di negeri ini melakukan kegiatan yang ujung akhirnya adalah kekuasaan dan uang. Salah satu contoh telak dan aktual adalah beberan perilaku para politikus, pejabat, dan warga bangsa dalam rangkuman kegiatan menyongsong pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden serta wakil presiden tahun depan.

Dapat dirasakan betapa bangsa ini sedemikian lemah di hadapan kekuasaan dan uang. Kebiasaan menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti digdaya untuk memuaskan nafsu dan kepentingan diri sendiri begitu kuat, sedangkan tanggung jawab serta keniscayaan untuk menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti yang dipinjamkan oleh rakyat untuk menyejahterakan seluruh warga bangsa tanpa kecuali begitu lemah.

Seyogianya peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan Proklamasi Kemerdekaan tidak dihayati sebagai hura-hura emosional yang kosong belaka. Keduanya lebih patut dialami sebagai peringatan betapa kita niscaya mengatasi kebiasaan menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti digdaya untuk memuaskan nafsu dan kepentingan diri sendiri, dan menggantinya dengan kebiasaan baru untuk menghayati kekuasaan dan uang sebagai peranti yang dipinjamkan oleh rakyat untuk menyejahterakan seluruh warga bangsa Indonesia tanpa kecuali.

Peringatan itu bukan main- main. Absurditas absorbsi-diri menjadikan bangsa ini sebagai “bangsa di tapal batas” (a borderline nation), yaitu bangsa yang berada pada tapal batas tipis antara ”tetap ada” dan ”sedang sirna”. Makna kontekstualnya: Kita sedang berada pada tapal batas tipis antara ”bangsa Indonesia yang tetap ada” dan ”bangsa Indonesia yang sedang sirna”. Agar bangsa Indonesia tetap ada (dan bertumbuh kembang), para politikus, pejabat, dan hamparan warga bangsa ini jangan terus menghidupi absorbsi-diri yang picik. Mereka niscaya keluar dari penjara sempit yang hanya selebar diri sendiri dan berbuat sebanyak mungkin bagi perwujudan kesejahteraan seluruh warga bangsa tanpa kecuali.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Wakil Presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists, Tinggal di Malang

[Kembali]


Jumat, Agustus 15, 2008

Nasib Bangsa yang Risau

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 15 Agustus 2008.

Tonny D Widiastono

Memasuki usia 63 tahun, banyak hal yang perlu dijadikan bahan renungan. Yang jelas, negara-bangsa ini bukannya menjadi semakin maju dan makmur, sebaliknya justru makin mundur, makin tersungkur. Dalam ketersungkuran itu, berbagai elemen yang dimiliki negara-bangsa ini belum mampu menawarkan alternatif pemecahannya.

Kemunduran atau ketersungkuran itu antara lain bisa dirasakan dalam hilangnya perasaan sebagai saudara di antara sesama warga-bangsa yang ”mulai hidup terkotak-kotak”; kualitas kesehatan yang merosot; prestasi olahraga yang menurun; tiadanya pemimpin yang benar-benar memiliki arah, visi, dan mengutamakan kesejahteraan warga-bangsa.

Kini, apa yang bisa dibanggakan dari negara-bangsa ini? Pendidikan yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar pun ternyata terjebak dalam lingkaran persoalan yang sama. Pendidikan, sebagai sarana untuk membantu warga-bangsa, belum bisa dijadikan ”senjata ampuh” untuk mengatasi masalah.

Di bidang olahraga, seorang peserta mengemukakan bahwa bidang kegiatan ini seharusnya bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. Selain itu, olahraga juga menjadi indeks kemajuan suatu negara-bangsa. Tetapi, apa yang kita alami sekarang? Prestasi olahraga kita melorot tajam. Menyorot kemerosotan prestasi, tidak lepas dari perjalanan olahraga kita selama tiga zaman. Ketiga zaman olahraga itu ialah zaman baby boomers; zaman Keluarga Berencana (KB); dan zaman milenium.

Pada zaman baby boomers, ketika seseorang atlet dipanggil masuk pelatnas, ia merasa menjadi manusia terpilih dan berlatih mati-matian. Semangatnya pun dipompa dengan dinyatakan mewakili 175 juta rakyat Indonesia. Prestasi pun bermunculan. Tidak mengherankan bila dalam Ganefo, Indonesia menduduki peringkat kedua.

Pada zaman KB, ketika dipanggil masuk pelatnas untuk menghadapi ajang olahraga antarbangsa, sang atlet segera bertanya, ”berapa uang sakunya?” Dan pada zaman milenium ini, atlet yang dipanggil pelatnas bisa bertanya ”saya (di)sekolah(kan) atau tidak?” Tidak mengherankan bila prestasi olahraga kita kian menurun. Di kawasan Asia Tenggara pun prestasi kita merosot tajam.

Ini adalah contoh nyata betapa kita sulit menghadapi apa yang kita kenal sebagai fundamentalisme pasar. Ada semacam semboyan yang dikumandangkan oleh mereka yang percaya kepada pasar bahwa pasar dapat mengatur diri sendiri.

Atas keadaan ini, sebagai warga negara kita harus bisa mengurus diri sendiri, dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya dapat mengubah kualitas hidup. Semua harus didesain, direncanakan.

Bangsa yang risau

Melihat berbagai gejolak yang terjadi di masyarakat, menunjukkan adanya tanda-tanda, bangsa Indonesia sedang risau. Sumber kerisauan itu terkait eksistensi bangsa-negara Indonesia; masa depan bangsa-negara Indonesia yang tidak menentu; serta kesadaran sebagai warga negara (citizens) berikut segala hak dan kewajibannya yang macet dan tidak berkembang.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Istilah kewarganegaraan (citizenships) mempunyai arti ganda, sebagai suatu praktik dan pendidikan untuk praktik itu. Sebagai praktik, kewarganegaraan menunjuk hak dan kewajiban warga negara, sedangkan sebagai pendidikan, kewarganegaraan menunjuk pengajaran dan pembelajaran atas praktik itu. ”Dulu, para siswa masih mendapat pelajaran civics yang sebetulnya merupakan pendidikan mengenai citizenships,” ujar seorang pembicara.

Dengan demikian, pendidikan menjadi sarana penting untuk menyiapkan seseorang menjadi warga negara yang sanggup melibatkan diri dalam urusan-urusan publik. Dengan keterlibatan dalam politik dan urusan publik, seseorang menjadi individu yang matang dan memiliki berbagai kebajikan sebagai warga negara. Dengan kata lain, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari usaha untuk menjadi warga negara yang baik.

Selain itu, pendidikan juga menjadi sarana untuk menanamkan kesadaran bahwa tiap warga negara adalah anak Indonesia, bukan Batak, bukan Bugis. Melalui pendidikan, sekolah menanamkan citizenships dan ini sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa. Secara sadar, para pendiri bangsa menghapus Piagam Jakarta karena ingin mempertahankan bahwa negeri ini merupakan rumah kebangsaan yang harus dibangun bersama.

Sayang, arus kuat dan indah itu, kini meredup. Amat terasa, kita sekarang ”hidup sendiri-sendiri”, terkotak-kotak. Para pemimpin yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung, justru lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok. Partai- partai yang semula berjanji akan menjadi pengayom dan penuntun masyarakat tak memenuhi janji. Masyarakat merasa seperti dibiarkan berjalan sendiri. Karena itu, tidak mengherankan bila kini banyak anggota masyarakat tidak lagi merasakan keuntungan sebagai warga negara. Adakah ini pertanda bahwa negara gagal menjalankan tugasnya. Sebagai penyelenggara pendidikan, adakah negara juga gagal dalam menanamkan dan menyiapkan seseorang menjadi warga negara yang menyadari hak dan kewajibannya.

Hilangnya negarawan

Muncul pertanyaan, mengapa banyak warga negara kini merasa ”tidak memiliki” negeri ini? Banyak warga negara merasa ”terasing” dengan negerinya sendiri. Mereka merasa terasing dengan ”kiri-kanan”, terasing dengan pemimpinnya, dan terasing dengan negaranya. Saat yang menyadarkan mereka sebagai warga negara adalah ketika harus mengurus atau memperpanjang kartu tanda penduduk (KTP). Dan dalam kenyataannya, KTP juga sering tidak memberi pengaruh apa-apa bagi warga negara. Kita memang sudah hidup terpisah-pisah, tanpa saling berhubungan.

Mengapa ini terjadi? Seorang peserta menunjuk, hal itu disebabkan hilangnya sifat kenegarawanan di kalangan para pemimpin. Penilaian bahwa kenegarawanan hanya dimiliki para pemimpin, disanggah yang lain dengan menyatakan, semua warga negara adalah negarawan. Alasannya, merekalah pemilik sah negara ini, tetapi istilah negarawan itu kemudian dipakai hanya untuk mereka yang menjadi pemimpin, menteri, gubernur, dan lainnya.

”Hal-hal inilah yang mungkin membuat wong cilik merasa tidak ikut memiliki negeri ini. Maka, perlu ada upaya serius untuk melakukan perubahan. Dan, satu-satunya upaya itu adalah melalui pendidikan,” katanya.

Selain hilangnya negarawan, hal lain yang merisaukan adalah hilang atau lumpuhnya akal sehat dan nurani. Ketika itu semua terjadi, kita ingin kembali pada dunia pendidikan kita. Kita berharap agar pendidikan menjalankan peran utamanya dalam membangun akal sehat dan nurani, tetapi kenyataan menunjukkan, pendidikan kita tidak atau belum menuju ke arah itu.

Keadilan sosial

Melihat hiruk-pikuknya masalah yang melingkupi bangsa ini, muncul tawaran melakukan perubahan dengan mengusung cita-cita keadilan sosial sebagai pilar kesadaran bersama. Untuk itu, kekuasaan ”harus direbut” dalam pengertian untuk perubahan itu sendiri.

Mengapa ini dilakukan? Karena jika masih berpikir tentang pentingnya melakukan kebajikan dan toleransi untuk menolong warga negara miskin dan dijalankan tanpa kekuasaan, dikhawatirkan justru tidak akan bisa menolong perjalanan bangsa yang sudah terpuruk hampir total ini. Karena itu, apa pun yang dipikirkan mengenai kewarganegaraan, tentang demokrasi, kiranya harus dikembalikan ke masalah dasar, yaitu ketimpangan sosial. Orang miskin yang lapar tidak pernah bisa mengartikulasikan kelaparannya, seperti orang kaya merasakan hal yang sama.

Tawaran yang lain adalah keharusan untuk memberikan seluruh hak dan kewajiban secara setara kepada setiap warga negara. Langkah ini perlu ditempuh mengingat bidang yang digarap terkait program politik.

Namun, bagaimana semua itu bisa terpenuhi jika krisis ekonomi tidak terselesaikan lebih dulu. Dengan demikian, sebenarnya dasar persoalan kita adalah krisis ekonomi. Tanpa bisa menyelesaikan krisis ekonomi, apa pun retorika yang keluar hanyalah ekspresi kosong. Sebab, apa pun yang memengaruhi semua kehidupan—termasuk masalah kewarganegaraan—tidak akan terselesaikan jika struktur dasar (basic structure) kehidupan, yaitu ekonomi, tidak teratasi.

Maka, yang terjadi dalam superstructure pun pada dasarnya amat bergantung pada persoalan politik yang kita hadapi sehari-hari, yaitu masalah kesejahteraan.

Kaum intelektual

Usul lain guna mengatasi persoalan bangsa yang kian rumit ini adalah ajakan bagi kaum intelektual untuk bersatu guna melakukan perubahan secara berani. Diakui, upaya melakukan perubahan sungguh sulit mengingat kita semua sudah ”saling terpisah”. Tetapi, apa pun risikonya, bersatunya kaum intelektual dirasa penting, bukan untuk menjadi politisi murahan, melainkan benar-benar menjadi politisi dalam pelatihan diri menjadi negarawan.

Meskipun demikian, diingatkan bahwa kaum intelektual sekarang tampil lebih fungsional daripada semacam kelompok. Para intelektual sudah didistribusikan ke berbagai institusi. Maka, amat diharapkan peran intelektual itu kini bisa dilakukan oleh media. Melalui media, kehidupan intelektual tidak akan mati dan terus melakukan estafet. Inikah jalan yang harus ditempuh oleh bangsa yang merisaukan dirinya sendiri?


[Kembali]

Kamis, Agustus 14, 2008

Kepemimpinan Bangsa Ini Kehilangan Arah

Kebangsaan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 14 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Kepemimpinan bangsa Indonesia saat ini kehilangan arah. Pasalnya, dalam pertandingan memperebutkan kepemimpinan telah menimbulkan penggunaan anggaran negara yang besar. Namun, yang lebih menyedihkan lagi adalah proses politik yang memakan anggaran besar ini tidak menghasilkan kepemimpinan yang diharapkan, yaitu pemimpin yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Hal itu disampaikan Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Amanat Nasional (PAN) Sayuti Asyathri di Jakarta, Rabu (13/8). ”Kita kehilangan substansi, ke arah mana bangsa ini akan dibawa, seperti apa cara pemimpin kita mewujudkan cita-cita negara, kita tidak pernah tahu,” ujarnya.

Sayuti mengungkapkan, pemilu mendatang yang akan menghabiskan anggaran lebih dari Rp 17 triliun untuk Komisi Pemilihan Umum, dan sekitar Rp 2 triliun untuk Badan Pengawas Pemilu, akan sangat menyedihkan jika hanya melahirkan pemimpin yang tidak tahu akan melakukan apa untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bangsa ini tentu akan sangat rugi jika pemimpin mendatang yang dihasilkan melalui proses demokrasi yang menghabiskan anggaran itu hanya memiliki perhatian pada kekuasaan dan usaha untuk mempertahankan kekuasaannya semata.

”Kita sedih dengan kondisi seperti ini. Itu sebabnya PAN, paling tidak, sudah memiliki buku yang bisa dijadikan pegangan jika diberikan kesempatan oleh rakyat untuk memimpin negeri ini,” ujar Sayuti, yang merujuk kepada buku Amien Rais yang berjudul Menyelamatkan Indonesia.

Dalam diskusi, Selasa petang di Rumah PAN, mantan Ketua MPR Amien Rais mengatakan, Indonesia masih punya kesempatan untuk menyelamatkan bangsa ini. Berbagai keterpurukan yang dialami Indonesia secara konsisten bisa dihilangkan dengan kepemimpinan yang lebih mempunyai visi ke depan.

”Bangsa ini membutuhkan ketegasan. Bangsa ini harus berani mengatakan tidak dan menolak ekonomi pasar dan membangun kemandirian. Caranya, bisa saja melihat model China, Malaysia, atau Bolivia, tidak terlalu fotokopi, tetapi juga tidak terlalu jelimet. Bangsa Indonesia perlu perbaikan mental, dari inlander menjadi mental mandiri. Berdaulat, mandiri, dan dirasuki ruh kebangsaan,” ujarnya.

Hal yang paling mendesak untuk dilakukan pemimpin, menurut Amien, segera mewujudkan amanat sistem ekonomi nasional yang dituliskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pasal itu jelas sekali menghendaki rakyat negeri ini sejahtera. Tak perlu interpretasi yang susah, tetapi belum ada presiden yang mampu mewujudkan konstitusi itu. (mam)

[Kembali]


Saatnya Indonesia Bangkit

Oleh Satjipto Rahardjo
Diunduh dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, 14 Agustus 2008 halaman 06.


Tahun ini kalender Indonesia dipenuhi tanggal-tanggal yang menjadi semacam prasasti bangsa. Tengok, ”100 Tahun Kebangkitan Nasional” dan ”80 Tahun Sumpah Pemuda”. Tanggal-tanggal itu tidak sekadar bilangan, tetapi memiliki aura magis dan sakral. Saat-saat seperti itu tepat untuk memulai sesuatu yang luar biasa.

Enam puluh tiga tahun lalu, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dengan menerobos tertib hukum Hindia Belanda. Apabila hukum Hindia-Belanda dipatuhi, bukan seperti itu cara bangsa Indonesia memerdekakan diri. Namun, bangsa ini telah melakukan rule breaking, mematahkan rambu-rambu perundang- undangan Hindia-Belanda, demi menjalankan suatu misi besar, yaitu melepaskan diri dari ketidakadilan kolonial.

Kemakmuran rakyat

Seusai proklamasi, diumumkan ”Magna Charta Indonesia” bernama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). UUD itu merupakan dokumen agung yang menegaskan konsep keadilan Indonesia, yaitu ”keadilan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat”.

Maka, negara hukum Indonesia yang dibentuk lewat UUD mengemban tugas amat berat, yaitu mewujudkan amanat agar hidup rakyat Indonesia sejahtera dan bahagia. Amanat itu bukan mimpi karena negeri ini memiliki potensi untuk itu.

Enam puluh tiga tahun sesudah peristiwa besar itu, rakyat Indonesia berada dalam keadaan krisis, terpuruk, dilecehkan dunia, dan jauh dari cita-cita menjadi bangsa yang makmur, sejahtera, dan bahagia. Indonesia menjadi seperti itu bukan karena ”serangan” dari luar, tetapi karena digerogoti dari dalam oleh sebagian bangsa sendiri. Mereka itu para koruptor, benalu bangsa, yang melakukan korupsi harta, kekuasaan, moral, dan martabat bangsa. Institusi negara satu demi satu ambruk.

Korupsi dimulai secara kecil-kecilan dan sporadis. Pada tahun 1950-an Menteri Djody Gondokusumo pernah terjerat korupsi, tetapi itu kejadian yang amat jarang. Kini, orang tidak kaget lagi jika ada menteri, anggota parlemen, jaksa agung muda, dan hakim agung didakwa korupsi.

Meminjam periodisasi Syed Hussein Alatas, sosiolog korupsi, mungkin korupsi di negeri kita sudah sampai tahap bunuh diri. Korupsi yang bagai benalu telah menggerogoti pohon tempat benalu itu menumpang hidup sehingga pohon itu akan mati, termasuk benalu sendiri. Ibaratnya, kalau 40 tahun yang lalu kita masih dapat menggunakan arit untuk membunuh benalu-benalu yang menempel di pohon Indonesia itu, kini korupsi sudah harus dilawan dengan bom.

Kini, kita tidak dapat lagi mengandalkan cara-cara konvensional seolah-olah negeri ini masih baik-baik saja. Kita memang sudah membuat komitmen besar dalam UUD 1945 untuk menjadi negara hukum. Sebagian orang mengatakan, karena ini negara hukum, memberantas korupsi harus dengan berhukum-hukum. Banyak orang berpendapat, terobos-menerobos tidak termasuk menu dalam suatu negara hukum karena itu ditabukan.

Makna berhukum

Pada saat krisis besar seperti sekarang, kita perlu memikirkan kembali berhukum itu? Negara dan republik ini dilahirkan melalui rule breaking. Banyak negara, bahkan AS, melakukan itu. AS melakukan terobosan, mengesankan saat ingin membangun suatu orde hukum baru untuk lepas dari Inggris pada abad ke-19. Terobosan itu dibungkus dengan nama American developments, American approach, American doctrines, American concept of law. Dunia gemetar (shocked and bewildered) menyaksikan ulah AS itu. Namun, dunia menggonggong kafilah AS berlalu.

Kita perlu memiliki determinasi untuk melakukan cara berhukum yang luar biasa. Selain itu, diperlukan alasan yang amat kuat mengapa kita melakukannya. Tidak setiap hari kita boleh menerobos. Alasan itu adalah pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan besar dalam UUD 1945. Kita tak gampang melakukan terobosan, tetapi karena ingin menyelamatkan amanat UUD yang lebih berharga daripada mempertahankan permainan hukum secara konvensional. Hukum perlu progresif dalam menyelamatkan amanah UUD.

Bernegara hukum adalah suatu konsep yang jauh lebih besar daripada bernegara undang-undang daripada kutak-katik peraturan dan prosedur. Kini, dalam suasana krisis yang amat mengimpit, pemahaman hukum dengan makna lebih besar/dalam perlu dilakukan. Dalam bahasa Ronald Dworkin, kini kita harus pandai melakukan moral reading of the constitution, bukan sekadar mengeja teks UUD.

Status hukum koruptor tidak hanya seorang yang ”merugikan keuangan negara”, tetapi ”merusak bangsa dan negara”. Penyuapan jaksa tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi merusak citra bangsa dan mengkhianati UUD.

Hari kemerdekaan ini kita pakai sebagai awal menyelamatkan cita-cita keadilan bagi bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD Republik Indonesia 1945 dengan cara bernegara hukum yang lebih berani, kreatif, inovatif, cerdas, dan progresif. Untuk itu, seluruh (komponen) bangsa harus bersatu terlebih dahulu.

Dirgahayu Republik Indonesia.

Satjipto Rahardjo
Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang


[Kembali]

Jumat, Agustus 08, 2008

Mengapa Indonesia Gagal?

Diunduh dari Haria KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008.


Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia sebenarnya juga menempuh jalur kebijakan industrialisasi yang hampir sama dengan Korsel, yakni promosi ekspor dan substitusi impor pada tahap awal proses industrialisasinya.
Namun, langkah ini tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif. Penyebabnya jelas, tidak adanya kebijakan industrialisasi yang terintegrasi dengan kebijakan sektor lain, seperti perdagangan, pengembangan sumber daya manusia, dan teknologi.
Kajian Chuk Kyo-kim dari Korea Institute for International Economic Policy, Shuvojit Banerjee dari UNSFIR, Shafiq Dhanani dari UNIDO/UNDP, serta Thee Kian Wie dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan Korea Selatan (Korsel) justru adalah faktor-faktor di mana Indonesia gagal.
Selain tidak adanya suatu pendekatan kebijakan terintegrasi dalam pembangunan industri, terjadi kegagalan strategi industri yang di bawah kepemimpinan negara (pemerintah pusat).
Ketiga, kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Keempat, kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).
Chuk Kyo-kim dan Thee Kian Wie sendiri membagi kebijakan pembangunan industri Indonesia sebelum krisis 1997 ke dalam tiga fase besar, yakni 1966-1974, 1975-1984, dan 1985-1997. Fase pertama ditandai strategi ekonomi pintu terbuka yang ditujukan untuk menarik investasi asing dan utang dalam rangka membiayai impor dan perbaikan infrastruktur.
Fase kedua adalah fase lonjakan harga minyak (oil-boom). Pada fase ini, pemerintah menerapkan kebijakan industri substitusi impor yang dibiayai dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah menghasilkan sendiri di dalam negeri produk-produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa menghemat devisa.
Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja, gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank-bank BUMN. Tujuan dari kebijakan ini adalah membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek-proyek besar sumber daya alam itu.
Namun, tekanan fiskal akibat anjloknya harga minyak mentah di pasar dunia tahun 1982 dan 1986 serta ambruknya nilai tukar dollar AS pasca-Plaza Accord (kesepakatan untuk melakukan penyesuaian nilai tukar dollar AS-yen dalam rangka mengoreksi defisit neraca perdagangan AS-Jepang) tahun 1985, memaksa pemerintah mengubah kebijakan secara dramatis.
Yakni kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan sekaligus liberalisasi investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor.
Fase ini ditandai dengan diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi, deregulasi sektor perbankan dan keuangan, yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai tukar rupiah sebesar 5 persen per tahun untuk menjaga daya saing.
Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riil hampir 30 persen per tahun pada kurun 1980-1993.
Namun, liberalisasi yang terjadi waktu itu sifatnya masih parsial dan gradual. Beberapa sektor industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat, termasuk industri perakitan mobil, semen, baja, rekayasa berat, pabrikasi baja, dan farmasi. Kebijakan industrialisasi pada fase ini sangat dipengaruhi oleh BJ Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) waktu itu.

Lompatan teknologi
Pada masa BJ Habibie sebagai Menristek, pemerintah menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi. Industri dimaksud adalah industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa, industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang terkait.
Argumen Habibie waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan pertumbuhan, menurut Habibie, yang diperlukan adalah investasi di teknologi canggih dan industri-industri bernilai tambah tinggi.
Alhasil, sumber penerimaan negara dalam jumlah besar digelontorkan ke industri-industri yang mendapat proteksi ketat dari pemerintah ini. Industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja menjadi dianaktirikan.
Kebijakan proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan pada fase ketiga kebijakan industri (1985-1997). Demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri-industri berat.
Namun, proteksi ini dinilai Chuk tak berhasil karena industri-industri yang diproteksi secara ketat itu ternyata tak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan industri nasional secara keseluruhan.
Ini berbeda dengan di Korea, di mana industri berat mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, penyumbang terbesar pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an tetap industri padat karya yang berorientasi ekspor, seperti tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan elektronik yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi.
Namun, karena problem struktural, munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat karya berorientasi ekspor itu sendiri tidak mampu tumbuh optimal.
Problem struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah tingginya kandungan impor, sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tak adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta rendahnya produktivitas buruh.
Chuk Kyo-kim melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks, lintas sektor dan saling kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi, sumber daya manusia, dan persaingan.
Kesan yang ada selama ini, kebijakan di tiap-tiap sektor itu jalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk suksesnya suatu proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling mendukung, konsisten, dan koheren. Lebih parah lagi, ia tidak melihat adanya kebijakan industri yang jelas setelah tahun 2004.
Kebijakan pengembangan industri pada era tersebut, menurut Chuk Kyo-kim, sangat didominasi nuansa kebijakan jangka pendek, itu pun gagal mengatasi isu-isu yang sifatnya struktural dari perspektif pembangunan jangka panjang.
Ke depan, kebijakan industrial targeting memang tak dimungkinkan lagi untuk diterapkan pada era WTO. Namun, menurut dia, itu tidak berarti dukungan kebijakan secara tak langsung untuk mendorong daya saing industri dan pembangunan industri nasional untuk kepentingan pembangunan nasional jangka panjang tak bisa lagi dilakukan.
Kuncinya tetap saja adalah pentingnya pendekatan kebijakan yang sifatnya terintegrasi dan koordinasi kebijakan yang lintas sektoral. Akan tetapi, sekali lagi, untuk bisa mewujudkan ini diperlukan suatu kepemimpinan yang kuat, tegas, visioner, dan efektif.


(sri hartati samhadi)

[Kembali]

Globalisasi Pemiskinan

Oleh Yonky Karman
Diunduh dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008 halaman 06.

Setelah beberapa anak balita meninggal karena gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao, tragedi kemiskinan kembali terulang di NTT. Ibu muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan tewas menggantung diri setelah meracuni putri semata wayangnya, Kamis (3/7).
Magdalena terimpit biaya hidup yang melambung dan utang yang belum terbayar, sementara suaminya hanya penganggur. Ia tidak tega melihat buah hatinya menderita. Gagal hidup seperti itu pertanda kelalaian dan ketidakberdayaan pemerintah yang terjebak globalisasi pemiskinan. Tiada arti kedaulatan teritorial tanpa kedaulatan pangan dan energi.
Warga miskin terjepit di antara pasar (global) dan negara. Pemerintah bertanggung jawab melindungi warga miskin dari mekanisme harga pasar dan pada saat sama memperkuat basis ekonomi warga. Berhadapan dengan pasar, posisi tawar negara harus kuat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan dasar warga. Ketika negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, rasionalitas bernegara digugat.

Keterbukaan gradual
Globalisasi bukan kambing hitam. Kini pihak pro-kontra kian merapat dalam tolok ukur keberhasilan globalisasi. Pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, penganjur liberalisasi perdagangan masih menggiring opini negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan adalah tingginya volume perdagangan, yang diyakini berdampak langsung pada pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan itu juga, Bank Dunia membagi negara menjadi globalizers dan nonglobalizers.
Benar, selama 50 tahun terakhir tak ada negara dengan kebijakan ekonomi tertutup tumbuh lebih cepat dari yang terbuka. Namun, sama benarnya, tidak ada negara yang tumbuh hanya karena membuka diri kepada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Pokok masalah bukan proteksi atau liberalisasi.
Fakta yang diabaikan, China baru belakangan serius meliberalisasi perdagangan dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Sebelum itu, China menerapkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan liberalisasi perdagangan. Pasar keuangan tertutup bagi investor asing. Tiada privatisasi BUMN. Namun, China memanfaatkan peran pasar, insentif swasta, dan inovasi kelembagaan yang disesuaikan kondisi lokal.
Selama periode pertumbuhan tinggi di China tahun 1980-an, rata-rata tarif lebih tinggi daripada periode pertumbuhan rendah tahun 1970. Reformasi perdagangan baru dilakukan satu dekade sesudah ekonomi tumbuh lebih tinggi. Secara parsial dan gradual membuka diri kepada produk impor dan investasi asing. Demikian juga India. Hingga pertengahan 1990-an, restriksi perdagangan kedua negara itu tertinggi di dunia.
Kisah serupa juga terjadi dengan Vietnam (bukan anggota WTO) yang perdagangan luar negerinya dimonopoli negara. Tarif tinggi dikenakan untuk impor produk pertanian dan industri (30-50 persen). Meski demikian, Vietnam cepat terintegrasi dengan ekonomi global. Ekspansi perdagangan mencapai dua digit. Angka pertumbuhan PDB lebih dari delapan persen. Tingkat kemiskinan menurun tajam.
Sebaliknya, Haiti (anggota WTO) drastis menurunkan tarif impor hingga 15 persen dan meniadakan semua restriksi kuantitatif. Namun, ekonomi stagnan. Tingkat investasi asing rendah. Integrasi dengan ekonomi global hanya maju sedikit. Bahkan, indikator sosial memburuk.
Dengan demikian, tiada resep tunggal untuk pertumbuhan ekonomi (Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth, 2007). Tiap negara harus menentukan prioritas kebijakan ekonominya dengan tepat, sesuai keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kejelian memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan pasar global dikombinasikan dengan investasi dan pelembagaan kewirausahaan di dalam negeri.

Negara lemah
Negara-negara termiskin di Afrika gagal tumbuh. Mereka tak terisolasi dari proses globalisasi, tetapi terglobalisasi secara negatif (Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007). Semua sumber daya terkuras ke luar. Eksploitasi sumber daya alam. Investasi warga kaya di luar negeri. Migrasi kaum terpelajar ke negara-negara lain (brain drain).
Negara-negara gagal itu ada di posisi terbawah sistem ekonomi global. Mereka tak hanya terbelakang (falling behind), tetapi juga di ambang kehancuran (falling apart). Maka, dampak terintegrasi dengan ekonomi global bagai pedang bermata dua. Mengurangi tingkat kemiskinan atau mempercepat proses pemiskinan.
Indonesia boleh bernapas lega, meski harus dicatat, Sierra Leone dulu pernah lebih baik dari India dan China. Namun, ada sebuah indikator yang memprihatinkan sejak zaman kolonial, yaitu sumber daya alam kita terus terkuras. Daya tawar republik merdeka lemah berhadapan dengan kepentingan asing.
Rasa kurang percaya diri kita merupakan warisan mentalitas terjajah. Pejabat membiarkan kontrak karya jangka panjang yang merugikan bangsa. Tak terhindar kesan menghamba kepentingan asing. Lemah mental itu diperparah dengan lemahnya kemauan pejabat untuk pasang badan demi kepentingan bangsa. Birokrasi kita dipenuhi orang yang kekuatan integritasnya digerogoti mentalitas korupsi.
Efek negara lemah, pemerintah diam saja melihat rupiah tidak laku di lokasi resor yang disewakan kepada pihak asing. Bahkan, ada resor yang tertutup bagi WNI. Pemerintah diam saja atas insiden pembakaran puluhan kapal nelayan tradisional kita yang dituduh melanggar batas teritorial Australia. Nasib seperti itu belum pernah menimpa kapal asing modern yang jelas menjarah hasil laut di perairan kita.
Dalam indeks pembatasan tarif perdagangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara. Namun, tingkat tarif yang kompetitif di kawasan regional itu tidak membawa hasil optimal karena buruknya layanan birokrasi, efisiensi pelabuhan, dan fasilitas perdagangan lain. Dengan ketidaksiapan internal seperti itu, sebenarnya keterbukaan Indonesia mengundang neokolonialisme ekonomi.
Maka, saatnya pemerintah mengkaji ulang keterbukaannya dan mundur selangkah (untuk maju) untuk jangka pendek. Reposisi kebijakan pasar demi keadilan dan pertumbuhan berkelanjutan. Proteksi dan restriksi demi kemandirian bangsa. Sementara itu, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi dilakukan radikal guna memperkuat daya saing bangsa. Langkah mundur seperti itu tentu bisa diterima pasar (market-friendly).

Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

[Kembali]

Dunia Dikendalikan Penguasa Modal

SPEKULASI
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008 halaman 48.

Lonjakan harga komoditas di pasar global yang menyengsarakan jutaan penduduk miskin dunia dan banyak negara berkembang ternyata justru membuat banyak pihak berpesta pora. Di antara mereka, siapa lagi kalau bukan para spekulan, mulai dari hedge funds, fund management, dana pensiun, bank-bank investasi dan lembaga keuangan lain, hingga investor individu.

Sorotan tajam terhadap peran spekulan dalam memicu krisis energi dan krisis pangan global serta krisis finansial di AS sekarang ini ibaratnya hanya mengungkap sebagian sisi gelap rezim kapitalisme, globalisasi, dan liberalisasi perekonomian global.
Ada sekelompok kecil penguasa kapital atau kaum berpunya yang mengendalikan dunia lewat pasar modal, pasar uang, pasar obligasi, pasar komoditas, dan juga lewat pengaruh mereka terhadap otoritas pemerintahan dan pasar finansial.
Para spekulan ini diyakini berperan penting dalam memicu lonjakan harga komoditas, mulai dari minyak mentah, logam dan mineral, pangan, hingga komoditas bahan mentah lainnya. Krisis energi dan komoditas pangan membuat mereka semakin gemuk. Dan dengan dana triliunan dollar AS yang ada dalam genggaman mereka, mereka memiliki potensi destabilisasi yang luar biasa.
Keuntungan besar yang mereka tangguk dari transaksi itu menjadi semacam sinyalemen pembenaran bahwa globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia adalah zero sum game, medan permainan yang hanya melahirkan segelintir pemenang di atas penderitaan banyak pihak lainnya.
Sejak Januari 2008, Bursa Saham Chicago (Chicago Stock Exchange/CHX) mencatat kenaikan aktivitas investasi di sektor komoditas pertanian sebesar 25 persen, dengan keterlibatan hedge funds meningkat tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir menjadi 55 miliar dollar AS.
Pelarian dana miliaran dollar AS (beberapa menyebut triliunan dollar AS) yang dikelola lembaga-lembaga tersebut ke sektor perdagangan komoditas terutama dipicu oleh krisis kredit macet sektor perumahan AS (sub-prime mortgage) dan depresiasi nilai tukar dollar AS.
Mereka beralih dari investasi berisiko tinggi di surat berharga ke instrumen yang lebih aman, termasuk emas dan minyak serta komoditas lunak seperti pangan.
Menurut penulis buku The Seeds of Destruction, William Engdahl, sedikitnya 60 persen dari harga minyak mentah sekarang ini berasal dari spekulasi perdagangan berjangka (futures) yang selama ini tak diregulasi oleh para hedge funds, bank, dan lembaga keuangan lain.
Itu dilakukan dengan menggunakan instrumen transaksi berjangka ICE Futures (London) dan NYMEX (New York) dan transaksi Over-The-Counter atau antarbank yang memang tak terkontrol guna menghindari kecurigaan.
Di antara pemain utama pasar spekulasi untuk minyak mentah ini, menurut Engdahl, adalah Goldman Sachs; Morgan Stanley; British Petroleum; bank Perancis, Societe Generale (SG); bank terbesar AS, Bank of America; dan bank Swiss, Mercuria.
Selama ini, BP mengendalikan International Petroleum Exchange (IPE) yang berbasis di London, yang merupakan salah satu bursa transaksi futures dan options untuk energi terbesar di dunia. Di antara pemegang saham utama IPE adalah Goldman Sachs dan Morgan Stanley.
Menurut surat kabar Jerman, Der Spiegel, Morgan Stanley adalah salah satu aktor kelembagaan utama di IPE. Sementara surat kabar Perancis, Le Monde, menyebutkan, SG bersama dengan Bank of America dan Deutsche Bank terlibat dalam menyebarkan rumor-rumor yang dimaksudkan untuk mendorong melonjaknya harga minyak.
Untuk pasar biji-bijian, aktor utama adalah Cargill dan Archer Daniels Midland (ADM). Keduanya menguasai pangsa pasar biji-bijian yang sangat besar. Mereka juga terlibat dalam transaksi spekulatif, baik futures maupun options, di NYMEX dan Chicago Board of Trade (CBOT).
Di AS, Cargill, ADM, dan pesaing mereka, Zen Noh, menguasai 81 persen ekspor maize dan 65 persen ekspor kedelai (Greg Muttitt, Control Freaks, Cargill and ADM, The Ecologist, Maret 2001).

Aktor utama
Aktivitas spekulasi komoditas ini melahirkan banyak orang kaya baru. Tetapi, yang paling gemuk tentu saja kelompok elite keuangan Wall Street dan korporasi besar yang selama ini menguasai pasar komoditas, mengendalikan input atau yang memiliki pengetahuan luas soal kondisi perdagangan.
Etika dan moral tidak lagi menjadi pertimbangan mereka, aktivitas mereka semata digerakkan oleh kerakusan dan keinginan untuk meraup untung sebesar-besarnya. Di antara mereka adalah jaringan ritel besar seperti Wal Mart dan Carrefour yang meraup laba masing-masing 4,1 miliar dollar AS dan 1,87 miliar euro dari penjualan produk pangan.
Perusahaan agribisnis seperti Monsanto juga mencatat lonjakan keuntungan dari 255 juta dollar AS tahun 2005 menjadi 993 juta dollar AS tahun 2007. Laba meningkat dari 1,44 miliar dollar menjadi 2,22 miliar dollar AS. Sementara pendapatan bersih tiga bulan hingga akhir Februari 2008 melonjak menjadi 1,125 miliar dollar AS dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (543 juta dollar AS).
Hal sama dialami raksasa agribisnis lain, yakni Cargill, yang pendapatan bersihnya meningkat 86 persen dari 553 juta dollar AS menjadi 1,030 miliar dollar AS pada periode tiga bulan yang sama.
Demikian juga Archer Daniels Midland (ADM). Salah satu perusahaan pengolah kedelai, jagung, dan gandum terbesar dunia ini mencatat kenaikan pendapatan bersih 42 persen dan membukukan laba 517 juta dollar AS hanya dalam tiga bulan pertama 2008, dengan laba operasi dari perdagangan biji-bijian meningkat 16 kali lipat dari 21 juta dollar AS menjadi 341 juta dollar AS.
Mosaic Company, salah satu produsen pupuk terbesar, mencatat peningkatan pendapatan lebih dari 12 kali dari 42,2 juta dollar AS menjadi 520,8 juta dollar AS dalam tiga bulan (hingga akhir bulan Februari 2008) di tengah kelangkaan pupuk dunia. Mosaic Company diuntungkan oleh harga beberapa jenis pupuk yang melonjak tiga kali lipat lebih dalam satu tahun terakhir.
Untuk mencegah spekulasi dalam skala masif yang bisa memicu harga, Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas AS (Commodity Futures Trading Commission/CFTC) sebenarnya sudah menetapkan batasan nilai kontrak berjangka untuk setiap spekulan individu.
Namun, dari testimoni Direktur Pengawasan Pasar CFTC Don Heitman di depan Kongres, CFTC sudah membuat pengecualian terhadap para bank investasi di Wall Street, setidaknya sejak awal 1990-an, sehingga hedge funds, dana pensiun, dan investor besar lainnya tetap bisa dengan leluasa masuk dengan cara membuat kontrak swap dengan bank-bank Wall Street untuk menghindari aturan tersebut.
Laporan New York Times, 6 Juni, menyebutkan, investor besar juga mengguyurkan dana miliaran dollar AS untuk mengakuisisi properti fisik, mulai dari lahan pertanian, pupuk, mesin pengangkut biji-bijian, hingga armada pengapalan.

(sri hartati samhadi)

[Kembali]

Kamis, Agustus 07, 2008

Kolom Sudut Pandang

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 16 Mei 2008.

Ada yang bilang dengan keras, reformasi kita gagal! Argumentasinya: rakyat makin miskin, korupsi merajalela, otonomi daerah kebablasan, demokrasi hanya prosedural, harga BBM tinggi, partai politik rusak, anggota parlemen tidak peduli rakyat, dan sebagainya. Pokoknya serba hitam dan kelam. Kesimpulannya, berarti pemerintah gagal, dan karenanya, jangan pilih SBY lagi. Simpel sekali ujungnya adalah over-simplikasi politik kekuasaan
Benarkah reformasi kita, 10 tahun ini, gagal? Hemat saya tidak. Reformasi kita sedang terus berproses untuk mencari bentuk. Soalnya adalah sebagian prosesnya memang lambat, stok kesabaran yang memang tipis, dan ada yang justru memanipulasinya untuk menjadi alat pukul politik.
Kebebasan politik dan kebebasan pers adalah produk reformasi yang sangat berharga. Ekspresi politik rakyat tercetus dengan lugas dan berani. Ruang demokrasi terbuka lebar di mana-mana. Ini adalah kapital politik yang penting untuk masa depan. Agenda berikutnya adalah mentransformasikan kemakmuran politik menjadi energi bagi kemakmuran ekonomi.
Hukum memang belum menjadi panglima. Soal-soal di seputar penegakan hukum masih saja kita temukan. Tetapi, apakah kita mau menutup mata bahwa hukum makin ditegakkan secara adil? Apakah kita mau mengingkari kenyataan bahwa pemberantasan korupsi tengah dan terus menjaga momentumnya? Apakah kita tidak mau menghargai upaya-upaya kepolisian, kejaksaan, korps hakim, KPK, dan sebagainya, yang tengah berikhtiar keras memperbaiki kinerja? Sejumlah ikhtiar perbaikan itulah yang harus dipacu agar berjalan lebih cepat.
Rakyat miskin memang masih banyak. Pengangguran juga masih besar. Gizi buruk masih kita temukan. Itulah problem terbesar bangsa kita. Rakyat miskin adalah fungsi dari kinerja ekonomi. Semakin ekonomi tumbuh dan terdistribusi secara adil, angka pengangguran dan kemiskinan makin menurun. Gambar besar ekonomi nasional kita makin baik. Gambar kecilnya yang harus terus diperbaiki. Itulah agenda kita. Mendorong investasi domestik dan asing untuk menggerakkan turbin ekonomi, sehingga rakyat makin banyak yang terurus dengan lebih baik.
Masih banyak lagi yang bisa paparkan. Ada bagian wajah kita yang belum baik, ada pula yang sudah beranjak menarik. Justru karena itu, keberanian untuk menggunakan “mata kanan” seimbang dengan “mata kiri” adalah pondasi untuk kita melihat masa kini dan masa depan secara jernih dan optimis.
Tanam padi dan jagung hanya butuh 3,5 bulan. Tanam kelapa butuh 7 tahun. Tanam reformasi tentu butuh waktu yang lebih panjang. Bahkan mungkin butuh pergantian generasi. Yang penting adalah mempercepat prosesnya dan memastikan berjalan pada rel yang benar. Wallahu a`lam


[Kembali]

Dunia Bisa Dibuat Lebih Baik

Perbaikan Perilaku Sangat Urgen
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 7 Agustus 2008, halaman 01.


New York, Selasa - Kenaikan harga pangan dan energi, perubahan iklim, serta meningkatnya migrasi dan kejahatan internasional akan memicu ketidakadilan dan kekerasan di dunia pada dekade mendatang. Demikian isi laporan berjudul ”2008 State of Future Report” yang dibuat para analis di lembaga Millennium Project.
Laporan itu dimotori World Federation of UN Associations, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memiliki perwakilan di lebih dari 100 negara. Laporan itu dipublikasikan di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (5/8).
Laporan itu mengingatkan para pemimpin dunia bahwa masih ada instrumen yang bisa membuat ancaman itu tak terwujud. Instrumen yang dimaksud adalah kemajuan sains dan teknologi, perbaikan pendidikan, ekonomi, manajemen, dan sistem, serta perbaikan etika atau perilaku di berbagai bidang. ”Hal ini, jika terwujud, akan membuat dunia lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang ini,” demikian isi laporan tersebut.
Laporan itu mengemukakan ada 15 tantangan global yang mengancam dunia pada masa datang. Beberapa di antaranya adalah kelangkaan persediaan air, krisis energi, hingga peningkatan kejahatan terorganisasi dan etika global makin kacau. Hal itu memerlukan perhatian penuh untuk diatasi secara dini.
Laporan tersebut juga menyatakan, separuh dunia ini sangat rentan ketidakstabilan sosial dan kekerasan. Hal ini antara lain adalah dampak negatif dari kenaikan harga pangan dan energi, jatuhnya sejumlah pemerintahan akibat gagalnya negara-negara, serta kelangkaan air dan faktor lainnya.
Laporan itu mengutip Pusat Analisis Angkatan Laut AS yang mengidentifikasi 46 negara berpenduduk 2,7 miliar jiwa rawan akan konflik bersenjata. Sebanyak 56 negara berpenduduk 1,2 miliar jiwa menghadapi risiko ketidakstabilan politik.
Hingga pertengahan tahun 2008, demikian laporan tersebut, sudah terjadi 14 peperangan yang mengakibatkan lebih dari 1.000 orang tewas. Peperangan itu terjadi di Afrika (5), Asia (4), Amerika (2), Timur Tengah (1), dan satu lagi didefinisikan sebagai gerakan antiekstremis global.
Krisis pangan
Laporan itu juga mengingatkan kembali perkiraan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), ada 37 negara yang menghadapi krisis pangan. Krisis pangan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, seperti permintaan yang terus meningkat pesat dari negara-negara berkembang, harga minyak yang semakin tinggi, hingga mahalnya pupuk dan spekulasi di pasar komoditas.
”Harga bahan pangan pokok akan naik 50 persen dari sekarang pada 2013 dan menjadi dua kali lipat di seantero dunia dalam 30 tahun mendatang. Harga biji-bijian sebagai contoh, termasuk gandum dan beras, telah naik 129 persen sejak 2006,” demikian peringatan laporan itu.
Ditambahkan, ada potensi untuk terjadinya sekitar tiga miliar jiwa warga dunia yang berpendapatan 2 dollar AS atau kurang dari itu per hari. Jika ini terjadi, konflik sosial global dalam jangka panjang tampaknya tidak dapat dihindari.
Namun, berita positifnya adalah, hal ini dapat dihindari jika ada kebijakan pangan yang serius dan berguna. ”Penemuan ilmiah tentang pangan akan membawa kecerahan baru,” demikian tertulis dalam laporan itu.
Permintaan pangan yang lebih banyak juga memerlukan pasokan air, tanah, dan pupuk. Para penulis laporan merekomendasikan cara pertanian baru, seperti sistem pengairan yang lebih baik, manajemen irigasi, dan rekayasa genetika untuk menghasilkan bulir yang lebih banyak.
Senada dengan peringatan itu, dalam sebuah seminar di Bandung, Rabu (6/8), Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan RI akan mendesak PBB untuk menjadikan isu ketahanan pangan dalam agenda Sidang Umum PBB pada September 2008.
Rencana itu didukung Mesir dan Cile. Isu pangan, kata Hassan, dalam lima bulan terakhir menjadi kekhawatiran sejumlah negara berkembang dan miskin di dunia. Naiknya harga bahan bakar diiringi naiknya harga pangan membuat sejumlah negara mengalami krisis pangan dan politik. ”Isu pangan memicu demonstrasi di Manila, Banglades, dan bahkan menjatuhkan pemimpin di Haiti,” tutur Hassan.
Laporan PBB itu juga menyebutkan salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia ke depan adalah ketersediaan air. Laporan itu mengatakan sekarang saja sudah ada 700 juta jiwa yang kekurangan air, atau hanya mendapatkan air kurang dari 1.000 kubik meter per orang per tahun. Angka ini dapat bertambah menjadi tiga miliar orang pada tahun 2020 karena perubahan iklim.
Perubahan iklim
Laporan itu juga memperingatkan Afrika akan mengalami pukulan paling berat walaupun benua itu juga berkontribusi pada masalah iklim. Bagian selatan Afrika diperkirakan akan mengalami penurunan produksi jagung hingga 30 persen pada 2030.
Lembaga itu menyerukan agar dibentuk strategi global AS-China untuk membahas masalah perubahan iklim secara serius. Strategi itu akan mampu mendorong berbagai penemuan dan tindakan yang mengatasi dampak buruk perubahan iklim.
Hal ini, misalnya, bisa diwujudkan dengan menciptakan kendaraan elektrik, pertanian dengan air asin, pengurangan emisi karbon, satelit tenaga surya, protein hewani dari bahan nonhewan, dan lainnya.
Persoalan energi akan memusingkan kepala. Masalahnya, permintaan global terhadap energi akan bertambah menjadi dua kali lipat dalam jangka 20 tahun. Di sisi lain sumber-sumber energi utama semakin sedikit. Laporan itu merekomendasikan investasi besar-besaran untuk menghasilkan energi tenaga angin, panas bumi, matahari, biofuel berbasis air asin. (AFP/JOE)

[Kembali]

Kamis, Juli 31, 2008

Bangsa yang Dangkal

Oleh Limas Sutanto
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 06

Di tengah keterpurukan bangsa, para politikus berulah dangkal. Mereka tidak mengejawantahkan kualitas insan pemimpin.
Mereka justru merebakkan corak ketidakotentikan dan hipokrisi: banyak berkata dan berulah, tetapi tidak mendalam dan berbobot mengejawantahkan kata- kata mereka dalam tindakan nyata. Keberbondongan mereka dalam membuat partai politik hingga sebanyak 34 buah secara dangkal disyukuri sebagai tanda mekarnya demokrasi. Padahal, hal itu secara telak mewakili tiadanya pikiran besar yang bermakna dan mendalam. Bagaimana mungkin pikiran besar tertebar begitu luas dalam gagasan serbaneka yang diusung 34 partai?
Sekadar semboyan
Howard Gardner, dalam artikel The Intelligences of Creators and Leaders (1999), menginspirasikan betapa pemimpin niscaya mengejawantahkan otentisitas, setidaknya melalui dua hal: pengucapan semboyan tertentu yang cocok untuk memecahkan problem aktual bangsanya dan kehidupan sang pemimpin yang mengejawantahkan semboyan yang dikatakannya.
Sayang, di tengah bangsa ini para politikus lebih banyak mengucapkan semboyan ketimbang mengejawantahkan semboyan itu dalam kehidupan mereka.
Karena gencarnya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi akhir-akhir ini, sebagian dari mereka kini sudah memiliki rasa takut untuk korupsi uang, materi, dan fasilitas. Namun, mereka belum menyadari, pengingkaran mereka terhadap semboyan yang pernah didengungkan—ketidakotentikan dan hipokrisi—sebenarnya merupakan bentuk korupsi kendati bukan korupsi yang terkait langsung uang, materi, dan fasilitas. Para politikus tidak takut melakukan korupsi seperti itu.
Di dunia ini, tiada bangsa yang nasibnya tidak terkait kualitas para politikus dan pemimpinnya. Maka, kedangkalan politisi dan pemimpin berandil menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang dangkal. Bangsa yang dangkal menjalani kehidupan hari demi hari dalam rangka asal hidup. Kehidupan mereka tidak dipandu cita-cita bersama yang besar, mendalam, dan bermakna.
Delapan corak perilaku
Di tengah ketiadaan penghayatan hidup yang mendalam, setidaknya dapat dicatat delapan corak perilaku.
Pertama, perilaku mementingkan diri, yang kalau melebar paling jauh hanya sampai perilaku mementingkan kelompok atau golongan sendiri.
Kedua, perilaku yang dihidupi kepentingan jangka pendek dan pikiran pendek.
Ketiga, kecenderungan amnestik alias mudah lupa, termasuk pada goresan pengalaman menyakitkan yang beberapa waktu lampau ditorehkan oleh orang- orang yang kini menyatakan diri sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia.
Keempat, kecenderungan gampang dibujuk buaian kata dan citra menjulang, termasuk iklan.
Kelima, kecenderungan mudah disugesti sensasi.
Keenam, perilaku dan prestasi suam-suam kuku (mediocre), tidak pernah excellent.
Ketujuh, cenderung mengukur apa pun dengan duit dan mengubah apa pun menjadi duit.
Kedelapan, kebiasaan menindas pihak yang lemah, yang terejawantah dalam kesukaan pihak kuat mendiskriminasi pihak lemah secara tidak adil dan hipersensitivitas pihak kuat terhadap tiap progresi pihak lemah.
Di mana pun tiada bangsa yang terus dapat bertahan dan hidup terhormat sebagai bangsa dangkal. Namun rupanya bangsa ini belum menyadarinya. Bangsa ini terus hidup dangkal, kian nyata saat menyongsong Pemilu 2009. Tanpa malu-malu, orang-orang mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa, padahal rekam jejaknya tidak mengandung bukti perjuangan yang pernah dilakukan pada masa lampau untuk menyejahterakan rakyat.
Ringkasnya, orang-orang yang lantang menyatakan diri sebagai calon pemimpin puncak bangsa itu, tiada yang sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, atau Barack Obama. Ketiga orang ini adalah bagian pemimpin yang jauh sebelum ternobatkan sebagai pemimpin bangsa telah mengejawantahkan perbuatan-perbuatan besar dan perjuangan dalam menyejahterakan rakyat mereka.
Titik terapi
Pada keseluruhan perspektif ini, bangsa Indonesia patut memandang Pemilu 2009 sebagai titik terapi penting untuk mengurangi ganasnya kedangkalan yang terus merebak. Kedangkalan dapat dikurangi dengan menggunakan Pemilu 2009 sebagai kesempatan emas untuk hanya memilih pemimpin yang memiliki bobot otentisitas mantap, bukan hipokrit, dan sungguh menorehkan bukti perbuatan dan perjuangan besar untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
Pemilu 2009 tidak boleh menjadi bagian dari kedangkalan yang merebaki bangsa ini. Justru ia niscaya dijadikan peranti terapeutik untuk mengatasi kedangkalan itu.

Limas Sutanto
Psikiater Konsultan Psikoterapi, Wakil Presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists, Tinggal di Malang

Kembali

Senin, Juli 28, 2008

Menolak Kutukan Bangsa Kuli

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL
Oleh Irwan Julianto
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008, halaman 1


Nyinyir rasanya mengutip ucapan yang sudah puluhan, ratusan, atau malahan mungkin ribuan kali dilontarkan oleh Soekarno agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain. Namun, ketika memberikan amanat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1965 di Istana Negara, Soekarno justru pesimistis bahwa bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang dikhawatirkannya itu, the Indonesian people have become a nation of coolies and a coolie amongst nations. Soekarno mengatakan, ia mencupliknya dari seorang sarjana Belanda. Berbagai penulis menyebut ucapan eine Nation von Kuli und Kuli unter den nationen itu aslinya dilontarkan oleh Helfferich, warga Jerman. Tidak jelas apakah ia adalah Emil atau Theodor Helfferich, dua orang Jerman bersaudara yang datang ke Pulau Jawa pada awal tahun 1900-an dan membeli tanah seluas 900 hektar di daerah Cikopo, Bogor, dan menjadikannya kebun teh. Tahun 1928, Emil dan Theodor kembali ke Jerman dan menyerahkan pengelolaan kebun teh kepada seorang warga Jerman lain. Kebun teh itu kemudian diambil alih Belanda tahun 1939 setelah Jerman menginvasi Belanda, tetapi tahun 1943 dikembalikan oleh tentara pendudukan Jepang kepada sekutunya, Jerman. Jika benar yang mengucapkan kalimat ”bangsa kuli” itu adalah Emil atau Theodor Helfferich, tak jelas kapan diucapkan dan pada kesempatan apa. Hanya, menurut Soekarno, waktu itu bangsa Indonesia hidup dengan 2,5 sen seorang sehari sehingga tak bisa mempunyai rumah yang layak, tak bisa mengirim anak ke sekolah sehingga tetap akan menjadi bangsa kecil dan bodoh. Pledoi Soekarno Indonesia Menggugat mencoba menjelaskan bahwa memang imperialisme Belanda membutuhkan bangsa Indonesia yang bodoh agar bisa diperlakukan sebagai kuli yang percaya bahwa hanya bangsa kulit putih yang mampu berbuat benar. Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia seolah terjebak pada situasi self fulfilling prophecy, ramalan atau kutukan yang menjadi kenyataan. Menurut Hatta, seperti dikutip menantunya, Sri-Edi Swasono, stigma sebagai bangsa kuli yang inferior seolah dipercaya memang sudah suratan takdir oleh bangsa Indonesia sendiri dan hal ini dinilai Hatta sebagai ”kerusakan sosial” akibat penindasan VOC, cultuurstelsel, dan kebengisan dalam pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Jika Anda membaca buku tipis Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005) karya Pramoedya Ananta Toer, ada kutipan ucapan ”Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain” yang dicantumkan di awal pengantar penerbit dan pada sampul belakang, tetapi tak tercantum dalam isi buku. Itu tak lain adalah ucapan tokoh Minke (personifikasi tokoh pers nasional RM Tirto Adhisoerjo) dalam tetralogi Bumi Manusia. Pada saat bangsa Indonesia tahun ini memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan tepat 200 tahun mulai dibangun/dilebarkannya Jalan Pos Anyer- Panarukan oleh Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels, penolakan terhadap ”kutukan” dan stigma ”bangsa kuli” menjadi relevan. Sudah cukup banyak kisah tragis warga Indonesia yang tewas, dihukum mati, dipenjara, disiksa, dan diperkosa sebagai tenaga kerja di luar negeri. Kisah dramatis seperti yang dialami Nirmala Bonat hingga Ceriyati seperti tak ada habisnya diberitakan, tetapi tetap saja akan terjadi hingga kini dan mungkin belasan tahun ke depan. Impian Soekarno ketika merumuskan Pancasila tentang satu masyarakat bangsa dan tatanan dunia yang adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme agaknya bagaikan suatu utopia yang jauh dan nyaris muskil jadi kenyataan. Apa sebab? Jawabnya dapat diterangkan oleh sebuah aksioma atau dalil yang pernah tercantum dalam buku teks ekologi Fundamentals of Ecology karya Eugene P Odum pada awal tahun 1970-an, ”Suatu ekosistem yang lebih tertata akan mengambil keuntungan dari ekosistem di sekitarnya yang kurang tertata.” Implikasinya, kota yang lebih tertata ketimbang desa akan menyedot sumber daya desa-desa di sekitarnya. Negara yang maju akan menyedot potensi negara-negara miskin dan sedang berkembang. Sejarah umat manusia telah membuktikan, eksploitasi komunitas atau bangsa yang lebih kuat (secara militer, ekonomi, hingga teknologi, dan kemampuan sumber daya manusianya) terhadap komunitas-komunitas dan bangsa-bangsa lain telah terjadi sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga dewasa ini. Individu yang tak/kurang berdaya akan diperdaya dieksploitasi oleh individu yang licik dan culas. Para TKI (tenaga kerja Indonesia), khususnya para TKW (tenaga kerja wanita), adalah sasaran empuk eksploitasi, penipuan, hingga pemerkosaan para calo, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang nakal, petugas pemerintah (kantor tenaga kerja, imigrasi, Deplu), biro penyaluran tenaga kerja di luar negeri, hingga majikan yang bengis. Apalagi, mayoritas pekerja migran Indonesia adalah pembantu rumah tangga yang kurang terampil. Seperti halnya kekayaan hutan, tambang, dan lautan Indonesia yang menjadi sumber penjarahan pihak-pihak yang serakah, baik di dalam maupun di luar negeri, jutaan pekerja migran kita juga menjadi sumber korupsi. Masuk di nalar kitakah jika penyusunan UU Pertambangan kita dibuat dan didiktekan sebuah negara asing dan dicantumkan dalam situs web mereka? Hasilnya, sewa lahan hutan lindung cuma beberapa ratus rupiah per meter persegi dan bisa disewa sampai 90 tahun!
Sesungguhnya, kedaulatan dan martabat kita sebagai negara dan bangsa merdeka perlu kita gugat lagi jika kita memang menolak menjadi kuli bangsa-bangsa lain!

Sabtu, Juli 19, 2008

Krisis Tiga-F Mengancam Dunia

Dikutip dari Tajuk Rencana Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 06.

Krisis pangan, energi, dan keuangan global menjadi sumber kerisauan, termasuk dalam Pertemuan Asia-Eropa akhir pekan lalu di Korea Selatan.
Ekspresi kecemasan dan kegamangan atas krisis Tiga-F yang merupakan singkatan dalam bahasa Inggris untuk food (pangan), fuel (minyak) dan financial (keuangan), terlihat jelas dalam Pertemuan Asia-Eropa (ASEM) di Pulau Jeju, Korsel, akhir pekan lalu.
Seriusnya pertemuan itu antara lain terlihat pada kehadiran menteri keuangan atau wakilnya dari 27 negara anggota Uni Eropa dan 16 negara Asia, ditambah utusan enam organisasi internasional. Para peserta memperlihatkan kegelisahan dan kegamangan atas krisis Tiga-F. Sampai sekarang belum ditemukan jalan keluar di lingkungan negara maju, apalagi di negara berkembang.
Pertemuan Jeju pada dasarnya bertujuan mendorong kerja sama dan koordinasi antara Uni Eropa dan Asia dalam menghadapi dan mengatasi krisis Tiga-F, yang dampaknya sudah sangat dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Krisis yang semula terjadi dalam bidang keuangan yang dipicu oleh masalah kemacetan kredit perumahan murah subprima di Amerika Serikat kemudian berjalan secara paralel dan tumpang tindih dengan krisis pangan dan energi.
Khusus tentang krisis pangan, bahaya yang dapat dimunculkannya telah digambarkan sebagai tsunami diam-diam, the silent tsunami. Jika terjangan tsunami dapat menewaskan ribuan atau ratusan ribu orang seketika, krisis pangan tiak hanya menewaskan ratusan ribu orang, tetapi bisa jutaan bahkan ratusan juta orang secara perlahan-lahan dan diam-diam.
Perbedaan lain tentu saja terjangan tsunami berlangsung cepat dan tiba-tiba, tanpa memilih-milih sasaran. Sebaliknya sasaran krisis pangan justru lapisan masyarakat miskin dan sudah tak berdaya. Sudah terbayang, negara-negara berkembang yang sudah miskin akan semakin menderita. Kekurangan pangan dan gizi akan mengancam jiwa ratusan juta anak di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia.
Mimpi buruk terhadap krisis pangan meningkat karena persoalan musim yang serba tidak menentu akibat pemanasan global. Laju pemanasan global sendiri cenderung meningkat karena belum ada upaya serius untuk mengendalikan gas buangan industri dan kendaraan.
Krisis pangan semakin berat karena mendapat komplikasi kenaikan harga energi bahan bakar minyak. Gabungan krisis Tiga-T telah mengancam stabilitas keamanan dunia. Aksi protes dan demonstrasi pecah di berbagai negara atas kenaikan harga energi dan pangan yang semakin tak tertanggungkan rakyat kecil.