Oleh Limas Sutanto
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 06
Di tengah keterpurukan bangsa, para politikus berulah dangkal. Mereka tidak mengejawantahkan kualitas insan pemimpin.
Mereka justru merebakkan corak ketidakotentikan dan hipokrisi: banyak berkata dan berulah, tetapi tidak mendalam dan berbobot mengejawantahkan kata- kata mereka dalam tindakan nyata. Keberbondongan mereka dalam membuat partai politik hingga sebanyak 34 buah secara dangkal disyukuri sebagai tanda mekarnya demokrasi. Padahal, hal itu secara telak mewakili tiadanya pikiran besar yang bermakna dan mendalam. Bagaimana mungkin pikiran besar tertebar begitu luas dalam gagasan serbaneka yang diusung 34 partai?
Di tengah keterpurukan bangsa, para politikus berulah dangkal. Mereka tidak mengejawantahkan kualitas insan pemimpin.
Mereka justru merebakkan corak ketidakotentikan dan hipokrisi: banyak berkata dan berulah, tetapi tidak mendalam dan berbobot mengejawantahkan kata- kata mereka dalam tindakan nyata. Keberbondongan mereka dalam membuat partai politik hingga sebanyak 34 buah secara dangkal disyukuri sebagai tanda mekarnya demokrasi. Padahal, hal itu secara telak mewakili tiadanya pikiran besar yang bermakna dan mendalam. Bagaimana mungkin pikiran besar tertebar begitu luas dalam gagasan serbaneka yang diusung 34 partai?
Sekadar semboyan
Howard Gardner, dalam artikel The Intelligences of Creators and Leaders (1999), menginspirasikan betapa pemimpin niscaya mengejawantahkan otentisitas, setidaknya melalui dua hal: pengucapan semboyan tertentu yang cocok untuk memecahkan problem aktual bangsanya dan kehidupan sang pemimpin yang mengejawantahkan semboyan yang dikatakannya.
Sayang, di tengah bangsa ini para politikus lebih banyak mengucapkan semboyan ketimbang mengejawantahkan semboyan itu dalam kehidupan mereka.
Karena gencarnya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi akhir-akhir ini, sebagian dari mereka kini sudah memiliki rasa takut untuk korupsi uang, materi, dan fasilitas. Namun, mereka belum menyadari, pengingkaran mereka terhadap semboyan yang pernah didengungkan—ketidakotentikan dan hipokrisi—sebenarnya merupakan bentuk korupsi kendati bukan korupsi yang terkait langsung uang, materi, dan fasilitas. Para politikus tidak takut melakukan korupsi seperti itu.
Di dunia ini, tiada bangsa yang nasibnya tidak terkait kualitas para politikus dan pemimpinnya. Maka, kedangkalan politisi dan pemimpin berandil menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang dangkal. Bangsa yang dangkal menjalani kehidupan hari demi hari dalam rangka asal hidup. Kehidupan mereka tidak dipandu cita-cita bersama yang besar, mendalam, dan bermakna.
Delapan corak perilaku
Di tengah ketiadaan penghayatan hidup yang mendalam, setidaknya dapat dicatat delapan corak perilaku.
Pertama, perilaku mementingkan diri, yang kalau melebar paling jauh hanya sampai perilaku mementingkan kelompok atau golongan sendiri.
Kedua, perilaku yang dihidupi kepentingan jangka pendek dan pikiran pendek.
Ketiga, kecenderungan amnestik alias mudah lupa, termasuk pada goresan pengalaman menyakitkan yang beberapa waktu lampau ditorehkan oleh orang- orang yang kini menyatakan diri sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia.
Keempat, kecenderungan gampang dibujuk buaian kata dan citra menjulang, termasuk iklan.
Kelima, kecenderungan mudah disugesti sensasi.
Keenam, perilaku dan prestasi suam-suam kuku (mediocre), tidak pernah excellent.
Ketujuh, cenderung mengukur apa pun dengan duit dan mengubah apa pun menjadi duit.
Kedelapan, kebiasaan menindas pihak yang lemah, yang terejawantah dalam kesukaan pihak kuat mendiskriminasi pihak lemah secara tidak adil dan hipersensitivitas pihak kuat terhadap tiap progresi pihak lemah.
Di mana pun tiada bangsa yang terus dapat bertahan dan hidup terhormat sebagai bangsa dangkal. Namun rupanya bangsa ini belum menyadarinya. Bangsa ini terus hidup dangkal, kian nyata saat menyongsong Pemilu 2009. Tanpa malu-malu, orang-orang mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa, padahal rekam jejaknya tidak mengandung bukti perjuangan yang pernah dilakukan pada masa lampau untuk menyejahterakan rakyat.
Ringkasnya, orang-orang yang lantang menyatakan diri sebagai calon pemimpin puncak bangsa itu, tiada yang sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, atau Barack Obama. Ketiga orang ini adalah bagian pemimpin yang jauh sebelum ternobatkan sebagai pemimpin bangsa telah mengejawantahkan perbuatan-perbuatan besar dan perjuangan dalam menyejahterakan rakyat mereka.
Howard Gardner, dalam artikel The Intelligences of Creators and Leaders (1999), menginspirasikan betapa pemimpin niscaya mengejawantahkan otentisitas, setidaknya melalui dua hal: pengucapan semboyan tertentu yang cocok untuk memecahkan problem aktual bangsanya dan kehidupan sang pemimpin yang mengejawantahkan semboyan yang dikatakannya.
Sayang, di tengah bangsa ini para politikus lebih banyak mengucapkan semboyan ketimbang mengejawantahkan semboyan itu dalam kehidupan mereka.
Karena gencarnya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi akhir-akhir ini, sebagian dari mereka kini sudah memiliki rasa takut untuk korupsi uang, materi, dan fasilitas. Namun, mereka belum menyadari, pengingkaran mereka terhadap semboyan yang pernah didengungkan—ketidakotentikan dan hipokrisi—sebenarnya merupakan bentuk korupsi kendati bukan korupsi yang terkait langsung uang, materi, dan fasilitas. Para politikus tidak takut melakukan korupsi seperti itu.
Di dunia ini, tiada bangsa yang nasibnya tidak terkait kualitas para politikus dan pemimpinnya. Maka, kedangkalan politisi dan pemimpin berandil menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang dangkal. Bangsa yang dangkal menjalani kehidupan hari demi hari dalam rangka asal hidup. Kehidupan mereka tidak dipandu cita-cita bersama yang besar, mendalam, dan bermakna.
Delapan corak perilaku
Di tengah ketiadaan penghayatan hidup yang mendalam, setidaknya dapat dicatat delapan corak perilaku.
Pertama, perilaku mementingkan diri, yang kalau melebar paling jauh hanya sampai perilaku mementingkan kelompok atau golongan sendiri.
Kedua, perilaku yang dihidupi kepentingan jangka pendek dan pikiran pendek.
Ketiga, kecenderungan amnestik alias mudah lupa, termasuk pada goresan pengalaman menyakitkan yang beberapa waktu lampau ditorehkan oleh orang- orang yang kini menyatakan diri sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia.
Keempat, kecenderungan gampang dibujuk buaian kata dan citra menjulang, termasuk iklan.
Kelima, kecenderungan mudah disugesti sensasi.
Keenam, perilaku dan prestasi suam-suam kuku (mediocre), tidak pernah excellent.
Ketujuh, cenderung mengukur apa pun dengan duit dan mengubah apa pun menjadi duit.
Kedelapan, kebiasaan menindas pihak yang lemah, yang terejawantah dalam kesukaan pihak kuat mendiskriminasi pihak lemah secara tidak adil dan hipersensitivitas pihak kuat terhadap tiap progresi pihak lemah.
Di mana pun tiada bangsa yang terus dapat bertahan dan hidup terhormat sebagai bangsa dangkal. Namun rupanya bangsa ini belum menyadarinya. Bangsa ini terus hidup dangkal, kian nyata saat menyongsong Pemilu 2009. Tanpa malu-malu, orang-orang mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa, padahal rekam jejaknya tidak mengandung bukti perjuangan yang pernah dilakukan pada masa lampau untuk menyejahterakan rakyat.
Ringkasnya, orang-orang yang lantang menyatakan diri sebagai calon pemimpin puncak bangsa itu, tiada yang sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, atau Barack Obama. Ketiga orang ini adalah bagian pemimpin yang jauh sebelum ternobatkan sebagai pemimpin bangsa telah mengejawantahkan perbuatan-perbuatan besar dan perjuangan dalam menyejahterakan rakyat mereka.
Titik terapi
Pada keseluruhan perspektif ini, bangsa Indonesia patut memandang Pemilu 2009 sebagai titik terapi penting untuk mengurangi ganasnya kedangkalan yang terus merebak. Kedangkalan dapat dikurangi dengan menggunakan Pemilu 2009 sebagai kesempatan emas untuk hanya memilih pemimpin yang memiliki bobot otentisitas mantap, bukan hipokrit, dan sungguh menorehkan bukti perbuatan dan perjuangan besar untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
Pemilu 2009 tidak boleh menjadi bagian dari kedangkalan yang merebaki bangsa ini. Justru ia niscaya dijadikan peranti terapeutik untuk mengatasi kedangkalan itu.
Pada keseluruhan perspektif ini, bangsa Indonesia patut memandang Pemilu 2009 sebagai titik terapi penting untuk mengurangi ganasnya kedangkalan yang terus merebak. Kedangkalan dapat dikurangi dengan menggunakan Pemilu 2009 sebagai kesempatan emas untuk hanya memilih pemimpin yang memiliki bobot otentisitas mantap, bukan hipokrit, dan sungguh menorehkan bukti perbuatan dan perjuangan besar untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
Pemilu 2009 tidak boleh menjadi bagian dari kedangkalan yang merebaki bangsa ini. Justru ia niscaya dijadikan peranti terapeutik untuk mengatasi kedangkalan itu.
Limas Sutanto
Psikiater Konsultan Psikoterapi, Wakil Presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists, Tinggal di Malang
Kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar