Dikutip dari Tajuk Rencana Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 06.
Krisis pangan, energi, dan keuangan global menjadi sumber kerisauan, termasuk dalam Pertemuan Asia-Eropa akhir pekan lalu di Korea Selatan.
Ekspresi kecemasan dan kegamangan atas krisis Tiga-F yang merupakan singkatan dalam bahasa Inggris untuk food (pangan), fuel (minyak) dan financial (keuangan), terlihat jelas dalam Pertemuan Asia-Eropa (ASEM) di Pulau Jeju, Korsel, akhir pekan lalu.
Seriusnya pertemuan itu antara lain terlihat pada kehadiran menteri keuangan atau wakilnya dari 27 negara anggota Uni Eropa dan 16 negara Asia, ditambah utusan enam organisasi internasional. Para peserta memperlihatkan kegelisahan dan kegamangan atas krisis Tiga-F. Sampai sekarang belum ditemukan jalan keluar di lingkungan negara maju, apalagi di negara berkembang.
Pertemuan Jeju pada dasarnya bertujuan mendorong kerja sama dan koordinasi antara Uni Eropa dan Asia dalam menghadapi dan mengatasi krisis Tiga-F, yang dampaknya sudah sangat dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Krisis yang semula terjadi dalam bidang keuangan yang dipicu oleh masalah kemacetan kredit perumahan murah subprima di Amerika Serikat kemudian berjalan secara paralel dan tumpang tindih dengan krisis pangan dan energi.
Khusus tentang krisis pangan, bahaya yang dapat dimunculkannya telah digambarkan sebagai tsunami diam-diam, the silent tsunami. Jika terjangan tsunami dapat menewaskan ribuan atau ratusan ribu orang seketika, krisis pangan tiak hanya menewaskan ratusan ribu orang, tetapi bisa jutaan bahkan ratusan juta orang secara perlahan-lahan dan diam-diam.
Perbedaan lain tentu saja terjangan tsunami berlangsung cepat dan tiba-tiba, tanpa memilih-milih sasaran. Sebaliknya sasaran krisis pangan justru lapisan masyarakat miskin dan sudah tak berdaya. Sudah terbayang, negara-negara berkembang yang sudah miskin akan semakin menderita. Kekurangan pangan dan gizi akan mengancam jiwa ratusan juta anak di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia.
Mimpi buruk terhadap krisis pangan meningkat karena persoalan musim yang serba tidak menentu akibat pemanasan global. Laju pemanasan global sendiri cenderung meningkat karena belum ada upaya serius untuk mengendalikan gas buangan industri dan kendaraan.
Krisis pangan semakin berat karena mendapat komplikasi kenaikan harga energi bahan bakar minyak. Gabungan krisis Tiga-T telah mengancam stabilitas keamanan dunia. Aksi protes dan demonstrasi pecah di berbagai negara atas kenaikan harga energi dan pangan yang semakin tak tertanggungkan rakyat kecil.
Krisis pangan, energi, dan keuangan global menjadi sumber kerisauan, termasuk dalam Pertemuan Asia-Eropa akhir pekan lalu di Korea Selatan.
Ekspresi kecemasan dan kegamangan atas krisis Tiga-F yang merupakan singkatan dalam bahasa Inggris untuk food (pangan), fuel (minyak) dan financial (keuangan), terlihat jelas dalam Pertemuan Asia-Eropa (ASEM) di Pulau Jeju, Korsel, akhir pekan lalu.
Seriusnya pertemuan itu antara lain terlihat pada kehadiran menteri keuangan atau wakilnya dari 27 negara anggota Uni Eropa dan 16 negara Asia, ditambah utusan enam organisasi internasional. Para peserta memperlihatkan kegelisahan dan kegamangan atas krisis Tiga-F. Sampai sekarang belum ditemukan jalan keluar di lingkungan negara maju, apalagi di negara berkembang.
Pertemuan Jeju pada dasarnya bertujuan mendorong kerja sama dan koordinasi antara Uni Eropa dan Asia dalam menghadapi dan mengatasi krisis Tiga-F, yang dampaknya sudah sangat dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Krisis yang semula terjadi dalam bidang keuangan yang dipicu oleh masalah kemacetan kredit perumahan murah subprima di Amerika Serikat kemudian berjalan secara paralel dan tumpang tindih dengan krisis pangan dan energi.
Khusus tentang krisis pangan, bahaya yang dapat dimunculkannya telah digambarkan sebagai tsunami diam-diam, the silent tsunami. Jika terjangan tsunami dapat menewaskan ribuan atau ratusan ribu orang seketika, krisis pangan tiak hanya menewaskan ratusan ribu orang, tetapi bisa jutaan bahkan ratusan juta orang secara perlahan-lahan dan diam-diam.
Perbedaan lain tentu saja terjangan tsunami berlangsung cepat dan tiba-tiba, tanpa memilih-milih sasaran. Sebaliknya sasaran krisis pangan justru lapisan masyarakat miskin dan sudah tak berdaya. Sudah terbayang, negara-negara berkembang yang sudah miskin akan semakin menderita. Kekurangan pangan dan gizi akan mengancam jiwa ratusan juta anak di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia.
Mimpi buruk terhadap krisis pangan meningkat karena persoalan musim yang serba tidak menentu akibat pemanasan global. Laju pemanasan global sendiri cenderung meningkat karena belum ada upaya serius untuk mengendalikan gas buangan industri dan kendaraan.
Krisis pangan semakin berat karena mendapat komplikasi kenaikan harga energi bahan bakar minyak. Gabungan krisis Tiga-T telah mengancam stabilitas keamanan dunia. Aksi protes dan demonstrasi pecah di berbagai negara atas kenaikan harga energi dan pangan yang semakin tak tertanggungkan rakyat kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar