Selasa, Juli 15, 2008

Benalu

Jendela 234
Oleh
N Syamsudin Ch Haesy

Dikutip dari Rubrik Sosok & Sketsa di Harian Jurnal Nasional, Jumat, 27 Juni 2008 halaman 16.


BANGKIT itu malu. Malu minta melulu dan jadi benalu. Kalimat ini beberapa waktu yang lalu, berkumandang ke seantero negeri melalui mulut Deddy Mizwar, dalam tayangan public service announcement, untuk memperingati seabad kebangkitan bangsa. Saya kurang tahu persis, seberapa jauh kalimat yang amat menggugah itu efektif menggugah kesadaran banyak orang. Lantas mengubah perilaku.
Dalam pelajaran biologi ketika masih sekolah dulu, benalu merupakan jenis tanakman yang tak ada eloknya. Ta tumbuh dengan menumpang (lalu mengisap) pohon induknya. Tidak memberi makna sama sekali atas pohon yang ditumpanginya. Dalam tradisi etika dan budaya bangsa kita sejak masa lalu, benalu secara konotatif dan denotatif sungguh sangat buruk. Karenanya, dalam sub sistem budaya masyarakat kita di masa lalu, seburuk-buruknya manusia adalah mereka yang hidup sebagai benalu.
Suatu ketika Amiril Mukminin, Ali bin Abi Thalib, mengekspresikan sikapnya terhadap bagian dari masyarakat yang menjadi benalu. Beliau berseru, ”Di tengah-tengah kalian, aku berteriak-teriak menyeru untuk berkontribusi agar kalian bermakna sebagai manusia. Namun, kalian menutup telinga dan hati kalian, hingga situasi memperlihatkan akibat buruknya. Tak mungkin menuntut balas melalui kalian, dan mustahil, bersama kalian, tujuan bisa dicapai. Aku seru kalian untuk bersinergi bersama-sama saudara kalian yang bekerja-keras mewujudkan kemaslahatan bersama, namun seruanku kalian anggap laksana suara berisik unta berpunggung kurus. Lalu, datang dari kalian orang-orang amah (tak cerdas) dan tak berkomitmen, hanya menjadi benalu bagi saudara-saudaramu.”
Apa yang dialami amirilmukminin ini kemudian dialami oleh banyak bangsa di zaman sesudahnya. Babilonia luruh, Mesopotamia kehilangan pamor, bahkan daulah Abbasiyah hanya menjadi kenangan. Semua ini menggambarkan, betapa di setiap masa dan bangsa selalu hidup para benalu, yang ironisnya, merasa diri amat berharga, berjasa, dan penting. Karenanya, kalimat yang disuarakan Deddy Mizwar dengan aksentuasi, diksi, dan intonasi mantap itu, sangat relevan untuk mengusik gairah dan ghirah kebangkitan bangsa.
Sebuah bangsa yang yang dihinggapi berjuta benalu, akan menjadi mudhtarip ul wathan. Bangsa yang terguncang-guncang. Terutama oleh suatu kondisi yang amat kontradiktif. Karena seperti diungkapkan Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib, pada kesempatan lain: ”Orang beriman dan berdedikasi, bajik perbuatannya, sedangkan ahli maksiat menjadi benalu, hanya mencari keuntungan duniawi bagi dirinya sendiri”.
Dalam catatan Ibn Thalhah dalam kitab Mathalib, dan Al Jahiz dalam kitab Al Jahiz, dikisahkan, menghadapi para benalu yang sedemikian banyak pada masa kepemimpinannya, Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib konsisten dengan sikapnya untuk menegakkan keutamaan dan kemaslahatan umat, meski dengan sedikit orang. Beliau menciptakan kondisi yang membuat para benalu mati dengan caranya sendiri. Dan umat yang sedikit itu adalah mereka yang sungguh menyadari ekstistensi kemanusiaannya untuk berbuat kebajikan.
Beliau menarik garis pemisah antara kaum loyalis yang berdedikasi, karena mereka sangat menyadari bahwa mereka inilah yang tahu dan menyadari realitas pulang (ke akhirat), dan karenanya tak pernah menjadi benalu dan tak juga menjadi penghianat. Beliau mengingatkan, kelak akan tiba masa, ketika sebagian besar orang menganggap menjadi benalu dan berkhianat sebagai sesuatu yang biasa. Pada masa itu, menurut amirulmukminin, si jahil (bebal) bangga dengan pengkhianatannya dan bersukacita saat mengabaikan komitmen kolektif. Dan laknat Allah SWT datang menghampiri mereka.... Naudzubillah.

Tidak ada komentar: