Selasa, Juli 15, 2008

Sesat

Oleh
N Syamsuddin Ch Haesy
Dikutip dari Tajuk JENDELA 234 di Rubrik Sosok & Sketsa Harian Jurnal Nasional Jumat, 11 Juli 2008 halaman 16

GELOMBANG besar gerakan anti-Ahmadiyah akan terus berkembang. Makin dipadamkan, makin menggelora. Fenomena semacam ini pernah terjadi berabad-abad lamanya, dan akan terus terjadi. Gerakan ataupun jami’iyah semacam ini, berada di luar Islam. Terutama, ketika mereka terlepas dari pernyataan komitmen syahadah.
Ahmadiyah tumbuh dan berkembang dari pemahaman menyimpang kaum Shufah. Kaum yang tersesat dan tenggelam ke dalam fantacy trap tentang segala hal di luar empirisme manusia, yang memerlukan kecerdasan dan keimanan paripurna. Mirza Ghulam Ahmad terjebak dalam situasi pengembaraan fantasi, sebagaimana laiknya dialami para nabi palsu di masa Rasulullah SAW dan sesudahnya.
Abu Thalib al Makki, Ibn Abd Rabbih, Ak Kulaini, Az Zamakhsyari, Al Mufid, dan Ibn al Jauzi dalam berbagai kitab karya mereka, menyebutkan aliran-aliran menyimpang ini merupakan kaum yang harus diperingatkan untuk menghentikan aktivitasnya. Lantas, diberi pencerahan dengan cara ‘bil hikmah wal mauiddzaatil hasanah’. Kearifan dan tutur sapa yang baik.
Mereka harus diajak kembali ke dimensi ajaran Islam yang terikat syahadah, dan meyakini pernyataan Allah SWT tentang keberadaan Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul penutup.
Bila mereka menolak dan bertahan dengan tak mau keluar dari fantacy trap-nya, maka putuslah hubungan mereka dengan Islam. Baik dalam makna simbolis, hakiki, maupun harafi. Inilah yang dilakukan Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib, terhadap penganut berbagai aliran sesat di masanya.
Akan kaum Wahdatin, yang meyakini, segala hal di atas muka bumi (termasuk gunung dan sungai) adalah eksistensi Allah SWT. Kaum Tihadi meyakini bahwa diri mereka menyatu dengan Allah SWT dan Allah SWT menyatu dengan mereka. Kaum Hululin, meyakini bahwa Allah SWT mengambil bentuk orang-orang yang mengklaim mengenal Dia dengan sempurna, sementara raga mereka merupakan tempat tinggal-Nya (dan jelmaan Malaikat).
Kaum Wasilin, meyakini, bahwa mereka berpadu dengan Allah SWT. Mereka mengabaikan ibadah dan ritual yang diajarkan Rasulullah SAW dan merumuskan cara ibadahnya sendiri. Selain itu, ada lagi kaum Zaraqin, yang menempatkan musik dan vokal sebagai cara ibadah, seraya memperoleh kesenangan dunia dengan jalan meminta-minta dari pintu ke pintu, seraya menyebarkan cerita fiksi tentang perbuatan mukjizati para pemimpin mereka.
Akan halnya kaum Usyaqiin, menganut paham, segala yang kasad indra merupakan sarana untuk mencapai realitas. Mereka meyakini, cinta sensual dan cinta seksual merupakan sarana untuk mecintai Allah SWT. Dan, kaum Talqinin, yang mengajarkan penganutnya mengharam-kan diri membaca ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu duniawi, karena menurut mereka posisi terbaik mendapatkan ilmu hanya dengan melakukan upaya spiritual di tempat-tempat yang tak lazim.
Mereka, sebagaimana halnya dengan kaum Ahmadin (penganut Ahmadiyah), termasuk dalam kategori umat yang memerlukan proses pendidikan dan pengajaran Islam, melalui dakwah intensif. Terutama penguatan kesadaran tauhidi dan imani, untuk menegaskan hakikat eksistensi Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana dijelaskan secara terang benderang di dalam Al Quran.
Atas mereka, perlu disampaikan sikap yang Islami. Yakni, sikap syidda’ (tegas, tanpa harus anarki) ketika mereka ngotot dan menolak. Namun, ketika mereka sadar dan kembali ke ajaran Islam, wajib kepada mereka diberikan sikap ruhama. Agar mereka paham bagaimana hakikat dimensi ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam konteks inilah, saya memandang SKB Tiga Menteri ihwal Ahmadiyah.

Tidak ada komentar: