Selasa, Juli 15, 2008

Wibawa Negara Lemah Halangi Promosi HAM

PELAKSANAAN DEMOKRASI
Dikutip dari Harian KOMPAS Rabu, 9 Juli 2008 halaman 4

JAKARTA, KOMPAS – Melemahnya fungsi dan wibawa negara ditengarai memperlemah perlindungan, pembelaan, dan promosi tentang hak asasi manusia di Indonesia. Melemahnya fungsi dan wibawa negara itu disebabkan oleh ketiadaan elemen strategis yang memadai pada tingkat sipil untuk menjamin pluralisme, toleransi, dan multikulturalisme.
Hal itu dikemukakan dosen Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparingga, Selasa (8/7), dalam Lokakarya Nasional VII HAM yang digelar Komisi Nasional (Komnas) HAM di Jakarta. Isu problematis yang diungkapkan Daniel itu untuk mempertajam tesisnya, yang mengatakan bahwa implementasi demokrasi yang berbasis HAM mempersyaratkan hadirnya negara dengan otoritas dan mandat yang kuat.
Otoritas dan mandat yang kuat itu digunakan untuk melindungi, membela dan mempromosikan HAM. Negara, tuturnya, memiliki wewenang untuk mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan bersama dan, bila perlu, menggunakan kekuatan paksa. Namun, di sisi lain, ada wilayah yang menjadi yurisdiksi masyarakat, yaitu wilayah privat, misalnya perkawinan atau sistem kepercayaan dan adat.
Namun, selama masa transisi di Indonesia, terdapat kekaburan dan bahkan pengaburan batas antara wilayah publik dan privat itu. Selama 10 tahun proses reformasi ini terdapat kecenderungan di antara keduanya untuk melampaui batas otoritas. Selain itu, baik negara maupun masyarakat tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh otoritas masing-masing
Namun, tidak hanya itu, Daniel juga menunjukkan banyak problem lain, seperti kecenderungan yang kuat dan berlebihan menggunakan indikator kuantitas partisipasi sebagai ukuran kemajuan demokrasi. Di sisi lain, pengembangan wacana dan perdebatan intelektual dengan isu strategis di sekitar demokrasi lemah.
Untuk itu, ia menganjurkan dibukanya ruang-ruang yang positif dan konstruktif untuk membangunnya. Hadir pula sebagai pembicara dalam lokakarya yang digelar Komnas HAM itu, dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia I Wibowo, mantan Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman, serta Kepala Badan Penelitian dn Pengembangan HAM Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas yang mewakili Menteri Hukum dan HAM.

Ironi di lapangan

Daniel berharap demokrasi di Indonesia tidak hanya menjadi mekanisme prosedural, seperti dalam pemilu. Hal itu disoroti pula oleh Marzuki Darusman, yang melihat ada ironi antara sikap formal dan kondisi nyata di lapangan.
Marzuki mengatakan dalam 10 tahun terakhir, Indonesia meratifikasi perangkat penting internasional terkait dengan HAM. Namun, sayangnya, infrastruktur penegakan dan perlindungan HAM belum cukup kuat.
Menurut Marzuki, ada mata rantai politik hukum yang hilang, antara mulai berlakunya perangkat HAM internasional dalam tata hukum nasional Indonesia. Salah satunya adalah belum pastinya faham hukum internasional yang dianut pemerintah, yang segera memungkinkan ketentuan-ketentuan perangkat hukum internasional berlaku sebagai hukum positif nasional dalam peradilan di Indonesia.
Lokakarya itu akan digelar hingga tanggal 11 Juli mendatang. Beberapa diskusi penting terkait berbagai isu HAM telah disiapkan, seperti problem dan tantangan dalam pelaksanaan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Acara itu dibuka Wakil Presiden M Jusuf Kalla. (JOS).


Kembali

Tidak ada komentar: