Dikutip dari Tajuk SIKAP di Rubrik OPINI Harian Jurnal Nasional Sabtu, 5 Juli 2008 halaman 10.
Indonesia hari ini masih Indonesia yang penuh bisik, dan terkadang luar biasa berisik. Orang bisik-bisik membicarakan sejumlah isu untuk kemudian diungkap dalam berbagai medium, sejak seminar, workshop, diskusi panel, hingga talkshow televisi. Bisik-bisik menjadi aktivitas yang berisik ketika orang memutuskan untuk membawa isu ke jalanan. Kita menyebutnya aksi protes, demonstrasi, unjuk rasa. Di negeri ini, nyaris tak ada unjuk rasa yang bebas dari suara berisik.
Orang berduyun-duyun ke jalanan, kadang dengan truk atau mikrolet yang melaju kencang, berzigzag, tak peduli aturan lalu lintas. Dan polisi, mana berani menyetop massa yang sedang gusar itu.
Ketika tiba di tempat yang dituju – entah kantor suatu instansi, institusi atau organisasi – massa menyalak, mengikuti akrobat kata-kata dari para koordinator lapangan yang berdiri gagah, atau digagah-gagahkan. Mereka biasanya bersenjatakan megafon, dan dengan senjata itulah mereka menghunus kegusaran massa. Kadang suasana tak terkendali, dan ekor cerita bisa kita tebak sendiri: pembakaran ban bekas, saling dorong dengan aparat polisi, pelemparan batu, bahkan saling timpuk. Inilah tipikal aksi unjuk rasa di negeri ini dalam satu dekade terakhir ini. Unjuk rasa dan luapan marah massa sering tak memiliki garis demarkasi yang jelas betul.
Senada dengan itu, aksi unjuk rasa murni menyuarakan hati dan mengekspresikan perasaan acap kali sulit dibedakan dari aksi unju rasa komersial, aksi yang melibatkan peserta dengan jumlah bayaran tertentu.
Kedua-duanya punya cara yang sama. Minimal, sama-sama berisik, sama-sama potensial meghadirkan situasi kalang-kabut dan porak-porandanya sistem hukum positif yang berlaku. Sangat jarang berlangsung unjuk rasa santun, lebih-lebih seperti rakyat Yogya. Mereka biasanya berunjuk rasa dengan menjemur diri di waktu pagi di depan keraton, dan seketika bubar begitu pihak yang berwenang memberi penjelasan.
Orang berduyun-duyun ke jalanan, kadang dengan truk atau mikrolet yang melaju kencang, berzigzag, tak peduli aturan lalu lintas. Dan polisi, mana berani menyetop massa yang sedang gusar itu.
Ketika tiba di tempat yang dituju – entah kantor suatu instansi, institusi atau organisasi – massa menyalak, mengikuti akrobat kata-kata dari para koordinator lapangan yang berdiri gagah, atau digagah-gagahkan. Mereka biasanya bersenjatakan megafon, dan dengan senjata itulah mereka menghunus kegusaran massa. Kadang suasana tak terkendali, dan ekor cerita bisa kita tebak sendiri: pembakaran ban bekas, saling dorong dengan aparat polisi, pelemparan batu, bahkan saling timpuk. Inilah tipikal aksi unjuk rasa di negeri ini dalam satu dekade terakhir ini. Unjuk rasa dan luapan marah massa sering tak memiliki garis demarkasi yang jelas betul.
Senada dengan itu, aksi unjuk rasa murni menyuarakan hati dan mengekspresikan perasaan acap kali sulit dibedakan dari aksi unju rasa komersial, aksi yang melibatkan peserta dengan jumlah bayaran tertentu.
Kedua-duanya punya cara yang sama. Minimal, sama-sama berisik, sama-sama potensial meghadirkan situasi kalang-kabut dan porak-porandanya sistem hukum positif yang berlaku. Sangat jarang berlangsung unjuk rasa santun, lebih-lebih seperti rakyat Yogya. Mereka biasanya berunjuk rasa dengan menjemur diri di waktu pagi di depan keraton, dan seketika bubar begitu pihak yang berwenang memberi penjelasan.
Banyak yang berharap, sudah waktunya Indonesia memulai unjuk rasa yang santun, meki tak harus seperti rakyat Yogya itu. Ada banyak cara lain yang elegan, dan bahkan bisa menjadi semacam Performance Art. Di negeri-negeri maju, misalkan, unjuk rasa macam ini digelar cukup dengan melibatkan beberapa orang, dalam bsana mencolok dan membawa papan protes. Tak ada makian, umpatan, apalagi hujatan. Mereka, dan ini yang difavoritkan, meneriakkan yel-yel dari satu kosakata tertentu secara repetitif: ”Shame, Shame, Shame”.
Orang-orang shamanistic bahkan tak tertarik dengan yel-yel. Demi mempromosikan budaya Sami, mereka cukup berjalan-jalan ke luar kampung mereka, naik kendaraan dan menyapa setiap orang yang ditemuinya di jalanan. Dalam aktivitas ini, mereka tampil dalam busana mereka sehari-hari, busana kaum Shaman.
Itu di Amerika. Di belahan bumi yang lain, taruhlah di Skotlandia baru-baru ini, orang berkerumun di depan suatu toko serba ada demi memprotes kebijakan toko tersebut yang dinilai kelewat banyak menggunakan kantung belanjaan. Para pengunjuk rasa datang dalam busana buah-buahan dan sayuran. Aksi mereka menjadi performance art yang menarik ditonton, dan sama sekali tak memicu kerusakan. Pihak yang diprotes pun sadar diri dan berjanji untuk memperbaiki kebijakannya.
Ada latar belakang di balik aksi unjuk rasa seperti tadi. Pertama-tama, tersedianya budaya malu antara kaum pengunjuk rasa dan pihak yang diunjuk rasa, sehingga aksi tak harus berlangsung secara eksplisit dan bodoh. Merusak, menghancurkan, saling sikut dan jambak, jelas bukan perilaku pintar, bukan? Kedua, sistem hukum positif memberikan definisi dan batasan yang tegas dari suatu aksi unjukrasa. Suatu unjuk rasa berdarah-darah, dalam definisi mereka, bukanlah “protes” atau “demonstrasi”, melainkan “violent confrontations” dan ini dilarang. Izin dan larangan dijalankan secara paralel sedemikian rupa sehingga memberikan jaminan keadilan dan keteraturan sistem hukum.
Kita bisa memulai menuju situasi itu untuk mencapai Indonesia baru yang lebih beradab benih-benih untuk itu telah lama ada, setidak-tidaknya kita bisa belajar dari rakyat Yogya itu. Atau kalau merasa risih dan “kurang kontemporer”, kita bisa belajar dari mahasiswa Institut Teknologi Bandung, yang kerap melakukan aksi unjuk rasa dengan konsep yang matang: konsep yang lahir dari budaya kontemporer dengan pijakan ide Performance Art yang menarik.
Pernah suatu ketika mereka memprotes gunungan sampah di Bandung dengan aksi unjukrasa satir dan mengundang tawa. Perempuan-perempuan molek dan berwajah Priangan, tampil lenggang-lenggok di atas trotoar yang mereka sulap jadi catwalk. Busana yang mereka kenakan didesain dari serpihan-serpihan sampah – entah dari plastik, kertas atau kain yang sama sekali dianggap sudah tak berguna.
Orang-orang shamanistic bahkan tak tertarik dengan yel-yel. Demi mempromosikan budaya Sami, mereka cukup berjalan-jalan ke luar kampung mereka, naik kendaraan dan menyapa setiap orang yang ditemuinya di jalanan. Dalam aktivitas ini, mereka tampil dalam busana mereka sehari-hari, busana kaum Shaman.
Itu di Amerika. Di belahan bumi yang lain, taruhlah di Skotlandia baru-baru ini, orang berkerumun di depan suatu toko serba ada demi memprotes kebijakan toko tersebut yang dinilai kelewat banyak menggunakan kantung belanjaan. Para pengunjuk rasa datang dalam busana buah-buahan dan sayuran. Aksi mereka menjadi performance art yang menarik ditonton, dan sama sekali tak memicu kerusakan. Pihak yang diprotes pun sadar diri dan berjanji untuk memperbaiki kebijakannya.
Ada latar belakang di balik aksi unjuk rasa seperti tadi. Pertama-tama, tersedianya budaya malu antara kaum pengunjuk rasa dan pihak yang diunjuk rasa, sehingga aksi tak harus berlangsung secara eksplisit dan bodoh. Merusak, menghancurkan, saling sikut dan jambak, jelas bukan perilaku pintar, bukan? Kedua, sistem hukum positif memberikan definisi dan batasan yang tegas dari suatu aksi unjukrasa. Suatu unjuk rasa berdarah-darah, dalam definisi mereka, bukanlah “protes” atau “demonstrasi”, melainkan “violent confrontations” dan ini dilarang. Izin dan larangan dijalankan secara paralel sedemikian rupa sehingga memberikan jaminan keadilan dan keteraturan sistem hukum.
Kita bisa memulai menuju situasi itu untuk mencapai Indonesia baru yang lebih beradab benih-benih untuk itu telah lama ada, setidak-tidaknya kita bisa belajar dari rakyat Yogya itu. Atau kalau merasa risih dan “kurang kontemporer”, kita bisa belajar dari mahasiswa Institut Teknologi Bandung, yang kerap melakukan aksi unjuk rasa dengan konsep yang matang: konsep yang lahir dari budaya kontemporer dengan pijakan ide Performance Art yang menarik.
Pernah suatu ketika mereka memprotes gunungan sampah di Bandung dengan aksi unjukrasa satir dan mengundang tawa. Perempuan-perempuan molek dan berwajah Priangan, tampil lenggang-lenggok di atas trotoar yang mereka sulap jadi catwalk. Busana yang mereka kenakan didesain dari serpihan-serpihan sampah – entah dari plastik, kertas atau kain yang sama sekali dianggap sudah tak berguna.
Kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar