Selasa, Juli 15, 2008

Harga Minyak dan Bencana Fiskal

Oleh
A Tony Prasetiantono
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 06.


Pekan lalu harga minyak menembus rekor baru, 139 dollar AS per barel. Angka ini benar-benar membuat frustasi. Meski kemudian agak terkoreksi ke bawah, harga minyak tetap di atas 135 dollar.

Pada titik ini, kian disadari ramalah harga minyak akan mencapai 150 dollar per barrel pada Juli atau Agustus 2008, serta 200 dollar AS per barrel pada akhir 2008 atau mungkin 2009, bukan main-main. Ini benar-benar serius.
Anehnya, pemerintah justru mengajukan asumsi harga minyak 120 dollar per barrel untuk APBN 2009. apakah pemerintah berusaha melakukan persuasi, dengan mengais asa agar pasar dapat ditenangkan?

Tiga analisis minyak
Dari berbagai analisis mengenai fenomena kenaikan harga minyak, saya mencoba memilahnya menjadi tiga jenis. Pertama, analisis yang menyelaskan kenaikan harga minyak dari aspek fundamental ekonomi (economic fundamental). Ekonom ahli perminyakan Italia, Leonardo Maugeri (the Age of Oil, 2008), adalah yang terdepan dalam analisis ini.
Para penganut paham ini berangkat dari analisis, kenaikan harga minyak dunia merupakan hasil tarik-menarik penawaran dan permintaan. Penawaran tersendat karena operator minyak kekurangan insentif harga. Hingga akhir 2002, harga minyak dunia hanya 30 dollar AS per barrel, padahal biaya produksi semakin naik karena kian banyak sumur minyak berada di lepas pantai (offshore fields). Biaya eksplorasi tambang-tambang yang terletak di laut dalam juga jauh lebih mahal.
Sementara itu, upaya mencari energi alternatif kerap kandas. Bahkan Maugeri (2008:282) menyindir, Negara-negara Barat suka memberlakukan standar ganda tentang isu nuklir. Saat Negara-negara berkembang, misalnya Iran, berusaha menemukan nuklir sebagai energi alternatif, selalu dihambat dengan berbagai dalih.
Analisis kedua, menggantungkan analisisnya pada realitas sejarah dan politik. Analisis yang mengikuti jalur ini, antara lain Duncan Clarke (Empires of Oil: Corporate Oil in Barbarian Worlds, Profile Book, London, 2007). Clarke melihat komoditas minyak menjadi ajang perebutan kekuasaan besar (“kekaisaran” atau empires) dalam perekonomian dunia. Ia menggambarkannya sebagai barbarian, atau machiavelisme. Paham yang diangkat Niccolò Machiavelli (1469-1527) dari Florence, Italia ini berkonotasikan negatif, cenderung manipulatif dan tak dapat dipercaya.
Dinamika industri minyak senantiasa terkait konflik dan perang yang diwarnai hasrat berkuasa. Dalam sejarah, ada empat tonggak terpenting yang menyebabkan harga minyak bergolak dramatis. Pertama, konflik Terusan Suez (1956). Kedua, konflik Arab-Israel (1973). Ketiga, perang Teluk Persia (1991). Keempat, fenomena terorisme dan invasi AS ke Irak. Daftar itu masih bisa ditambah dengan perang Irak-Iran yang berlangsung delapan tahun sejak 1978. Dalam analisis ini, sepanjang konflik tidak bisa dihentikan, harga minyak akan terus meletup-letup.
Analisis ketiga, mengaitkan kenaikan harga minyak dengan ulah spekulan. Seiring semakin ”canggih”-nya sektor finansial, para fund manager (manajer keuangan yang mengalokasikan dana para investor besar) pun rajin menciptakan kreativitas dan peluang. Hasilnya, ketika sekian jenis investasi ”konvensional” sudah tidak atraktif lagi, minyak masuk wilayah spekulasi. Para spekulan juga memanfaatkan informasi dan momentum saat supply dan demand minyak berimpitan ketat pada keseimbangan 84 juta barrel per hari, yang memungkinkan terjadinya eksplosi harga.
Charles Morris (The Trillion Dollar Meltdown, Public Affairs, New York, 2008) memandang sektor finansial sudah seperti kasino, yang harus dikoreksi. Menurut dia, perekonomian dunia sejak 1980-an mengalami pergeseran dari manajemen yang berorientasi pada pemerintah (government-centric) menuju ke orientasi pasar (market-driven). Inilah factor kunci kebangkitan perekonomian AS pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Namun, rangkaian peristiwa yang terjadi di sektor finansial akhir-akhir ini (kebangkrutan hedge fund terkenal LTCM, Long-Term Capital Management, 1998; skandal Enron dan Worldcom, 2001; hingga kasus subprime mortgage, 2007) menyebabkan ia berpikir pasar yang dogmatis seperti ini telah menjadi masalah besar.
Karena itu, “bandul jam” sudah seharusnya mulai berayun ke arah yang berbeda. Maksudnya, orientasi pasar secara habis-habisan harus dikoreksi. Memang, sebesar apa pun kepercayaan kita kepada pasar (market fundamentalism), harus disadari bahwa pasar pun sering mengalami kegagalan dalam memenuhi kehendak publik. Saat pasar mengalami kegagalan (market failure), pemerintah harus berinisiatif mengoreksinya. Ini pula yang diajarkan John Maynard Keynes (1936), ketika dirinya frustasi menghadapi depresi ekonomi dunia.
Karena itu, menurut hemat saya, kini saatnya muncul semacam “Keynes baru” untuk mengoreksi frustasi sector financial dan kenaikan harga minyak. Koreksi itu bisa dimulai dengan memberlakukan regulasi ketat pada hedge fund, yang selama ini tidak atau minim tersentuh regulasi oleh otoritas finansial di AS (Securities Exchange Commision/SEC).

Koreksi pasar dan liberalisme
Berdasarkan analisis itu, saya merasa sudah tidak mungkin lagi kita berharap pada mekanisme pasar dan liberalisme untuk mengoreksi harga minyak. Tanpa campur tangah pemerintah negara-negara kunci, mustahil kita berharap harga minyak tidak mencapai 150 dollar AS per barrel, atau bahkan 200 dollar per barrel, sebagaimana akhir-akhir ini diprediksikan Goldman Sachs.
Runyamnya pasar finansial dan kenaikan harga minyak, akibat terlalu percaya kepada pasar dan liberalisme, harus segera dikoreksi. Ada saatnya mekanisme pasar dan liberalisme dipercayai dan memberi banyak manfaat. Ini harus diakui. Namun pada saat lain, bisa saja pasar dan liberalisme mengalami kegagalan dan kontraproduktif, bahkan berpotensi menghancurkan perekonomian dunia secara kolektif. Bila ini terjadi, koreksi pemerintah di sejumlah negara harus dilakukan. Hal inilah yang belum saya lihat, adanya gerakan signifikan dari negara-negara besar. Jika pembiaran ini berlarut-larut, asumsi harga minyak 120 dollar per barrel seperti dalam APBN 2009 akan segera menjadi wishful thinking.
Dengan asumsi optimistik itu, APBN 2009 mengandaikan subsidi BBM Rp 155 triliun dan subsidi listrik Rp 77,9 triliun. Pada situasi ini, belanja pemerintah dalam APBN melonjak menjadi Rp 1.143 triliun. Sedangkan deficit APBN akan mencapai Rp 83,5 triliun, setara dengan 1,6 persen terhadap produk domestic bruto (PDB).
Masalahnya, apakah asumsi itu realistis? Jika harga minyak 150 dollar per barrel, rasanya kita masih selamat. Pada tingkat harga itu, defisit APBN belum melampaui 2 persen. Tetapi jika harga minyak dunia mencapai 200 dollar AS per barrel, semua asumsi bakal jungkir balik dan terjadi bencana fiskal (fiscal disaster). Upaya penyelamatannya terletak pada pemangkasan pengeluaran dan memperkecil kebocoran penerimaan pajak. Opsi menaikkan harga BBM lagi pasti dihindari karena faktor pemilu.
Di luar itu, yang tak kalah penting, kampanye dan lobi internasional untuk mencegah harga minyak 200 dollar AS per barrel harus digiatkan. AS, sebagai negara yang paling boros (konsumsi minyaknya 22 juta barrel sehari, atau 25 persen konsumsi dunia), harus berada di barisan terdepan kampanye ini. Mereka juga harus menata hedge fund agar tidak memiliki terlalu banyak ”ruang kreatif” sehingga menjadikan minyak dan sektor finansial sebagai ajang kasino.
Tampaknya, dunia sedang menantikan lahirnya ”Keynes baru” guna mengakhiri petaka yang belum diketahui ujungnya ini.

A TONY PRASETIANTONO
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI


Kembali

Tidak ada komentar: