PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Dikutip dari Tulisan di Rubrik SOROTAN di Harian KOMPAS Jumat 25 Januari 2008 halaman 53
...
Hari depan Indonesia adalah Pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
Lantaran berat bebannya, kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya.
...
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang sambil main pingpong
di atas Pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat
ke dasar lautan……
(Taufik Ismail, “Kembalikan Indonesia Padaku”, 1971).
Kalau saja slogan UNEP tentang pembangunan berkelanjutan benar-benar dihayati, banjir besar di sebagian wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur – terutama akibat meluapnya Bengawan Solo – tak perlu sampai separah seperti di penghujung 2007. Bahwa ”Kita tidak mewarisi Bumi dari nenek moyang kita, tetapi meminjamnya dari anak cucu kita!”
Hanya saja, bencana yang datang tak pernah mengenal kata ”kalau” sebagai faktor pemaaf atas kelalaian manusia. Juga tidak bisa dicegah hanya bersandar pada niat semata untuk mengambil langkah fundamental sekalipun dalam upaya penyelamatan daerah aliran sungai (DAS), taruhlah sebagaimana reaksi Wakil Presiden Yusuf Kalla begitu melihat dampak besar akibat meluapnya Bengawan Solo tempo hari.
Bencana akibat rusaknya kawasan konservasi DAS hanya bisa diredam dengan tindakan nyata di lapangan. Akan tetapi, justru di sinilah titik krusial dari setiap upaya penyelamatan lingkungan di negeri ini. Tekanan untuk ”merusak”, dengan berbagai dalih, jauh lebih besar daripada tumbuhnya kesadaran untuk menjaga keberlangsungan ekosistem yang ada.
Berbagai kalangan sudah sejak lama mengingatkan akan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Semangat serupa juga mendasari serangkaian laporan Tim Ekspedisi Bengawa Solo Kompas 2007, yang memberi gambaran cukup lengkap situasi terkini kerusakan di DAS sepanjang 548,53 kilometer tersebut.
Skenario buruk bahwa pada satu saat Pulau Jawa (akan) tenggelam sesungguhnya bukan untuk menyebar teror, menimbulkan rasa takut. Peringatan semacam itu bisa dimaknai sebagai upaya menggugah kesadaran ”tradisional” kita sebagai makhluk beradab yang memiliki pranata-pranata sosial-budaya terkait perlunya menjaga keselarasan lingkungan jangka panjang. Sebuah bentuk kearifan tradisi yang bersandarkan pada pemahaman bahwa sesungguhnya kehidupan bukan hanya hari ini dan ini, tapi jauh ke depan.
Tengoklah masyarakat Dayak Kenyah yang tinggal di Hulu Sungai Bahau di pedalaman Kalimantan. Meski hutan di sana dipakai untuk berbagai kebutuhan subsistensi – mulai dari aktivitas perladangan berpindah pada hutan primer maupun sekunder, berburu dan menangkap ikan, meramu sayuran dan buah-buahan hutan, hingga sebagai tempat mengambil bahan-bahan bangunan – namun ada pranata-pranata tradisional yang mereka patuhi agar keselarasan lingkungan hidup di sana tetap terjaga.
Studi lapangan yang dilakukan G Simon Devung (lihat, Kebudayaan dan Pelestarian Alam; Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, 1999: 237-251) dengan jelas memperlihatkan hal itu. Ada semacam tata kelola yang mengatur hubungan-hubungan sosial dan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan masing-masing sumber daya hutan. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat (Kenyah) itu didasari atas prinsip-prinsip pengaturan bersama, kerja sama dan saling membantu dalam konteks sosial produksi dan juga saling berbagi dalam konteks sosial produksi.
”Tanpa pretensi untuk mengagungkan apa yang berlabel tradisional adalah cukup bijaksana bila kita menyadari bahwa pranata-pranata tradisional ternyata masih tetap berlaku dalam berbagai kelompok komunitas dengan alasan sederhana, yakni bahwa pranata-pranata tersebut memang memiliki nilai adaptif jangka panjang yang cukup tinggi”, tulis G Simon Devung.
Bagaimanapun, kajian di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa keberadaan manusia menjadi faktor utama penyebab rusaknya ekosistem suatu kawasan. Dalam kasus kerusakan hutan dan lahan di Indonesia, jika ditelusur lebih jauh, maka akar persoalannya hampir selalu bermuara pada perilaku ”merusak” yang melekat pada manusia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk di satu pihak serta kebutuhan untuk bertahan hidup di pihak lain, dinamika masalah yang membebani lingkungan pun bertambah.
Tekanan terhadap keseimbangan ekosistem tersebut memang bisa datang dari warga yang bermukim di sekitar kawasan itu hanya demi keberlangsungan hidup mereka sehari-hari. Akan tetapi, tak jarang kerusakan ekosistem suatu kawasan lebih disebabkan ”serbuan” para pendatang dengan dengan alasan ekonomi skala besar. Dalam konteks ini, para pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) dan pemegang izin pembukaan perkebunan skala besar ikut memberi andil yang tidak kecil atas kerusakan hutan dan lahan di berbagai wilayah di Tanah Air.
Dikutip dari Tulisan di Rubrik SOROTAN di Harian KOMPAS Jumat 25 Januari 2008 halaman 53
...
Hari depan Indonesia adalah Pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
Lantaran berat bebannya, kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya.
...
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang sambil main pingpong
di atas Pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat
ke dasar lautan……
(Taufik Ismail, “Kembalikan Indonesia Padaku”, 1971).
Kalau saja slogan UNEP tentang pembangunan berkelanjutan benar-benar dihayati, banjir besar di sebagian wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur – terutama akibat meluapnya Bengawan Solo – tak perlu sampai separah seperti di penghujung 2007. Bahwa ”Kita tidak mewarisi Bumi dari nenek moyang kita, tetapi meminjamnya dari anak cucu kita!”
Hanya saja, bencana yang datang tak pernah mengenal kata ”kalau” sebagai faktor pemaaf atas kelalaian manusia. Juga tidak bisa dicegah hanya bersandar pada niat semata untuk mengambil langkah fundamental sekalipun dalam upaya penyelamatan daerah aliran sungai (DAS), taruhlah sebagaimana reaksi Wakil Presiden Yusuf Kalla begitu melihat dampak besar akibat meluapnya Bengawan Solo tempo hari.
Bencana akibat rusaknya kawasan konservasi DAS hanya bisa diredam dengan tindakan nyata di lapangan. Akan tetapi, justru di sinilah titik krusial dari setiap upaya penyelamatan lingkungan di negeri ini. Tekanan untuk ”merusak”, dengan berbagai dalih, jauh lebih besar daripada tumbuhnya kesadaran untuk menjaga keberlangsungan ekosistem yang ada.
Berbagai kalangan sudah sejak lama mengingatkan akan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Semangat serupa juga mendasari serangkaian laporan Tim Ekspedisi Bengawa Solo Kompas 2007, yang memberi gambaran cukup lengkap situasi terkini kerusakan di DAS sepanjang 548,53 kilometer tersebut.
Skenario buruk bahwa pada satu saat Pulau Jawa (akan) tenggelam sesungguhnya bukan untuk menyebar teror, menimbulkan rasa takut. Peringatan semacam itu bisa dimaknai sebagai upaya menggugah kesadaran ”tradisional” kita sebagai makhluk beradab yang memiliki pranata-pranata sosial-budaya terkait perlunya menjaga keselarasan lingkungan jangka panjang. Sebuah bentuk kearifan tradisi yang bersandarkan pada pemahaman bahwa sesungguhnya kehidupan bukan hanya hari ini dan ini, tapi jauh ke depan.
Tengoklah masyarakat Dayak Kenyah yang tinggal di Hulu Sungai Bahau di pedalaman Kalimantan. Meski hutan di sana dipakai untuk berbagai kebutuhan subsistensi – mulai dari aktivitas perladangan berpindah pada hutan primer maupun sekunder, berburu dan menangkap ikan, meramu sayuran dan buah-buahan hutan, hingga sebagai tempat mengambil bahan-bahan bangunan – namun ada pranata-pranata tradisional yang mereka patuhi agar keselarasan lingkungan hidup di sana tetap terjaga.
Studi lapangan yang dilakukan G Simon Devung (lihat, Kebudayaan dan Pelestarian Alam; Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, 1999: 237-251) dengan jelas memperlihatkan hal itu. Ada semacam tata kelola yang mengatur hubungan-hubungan sosial dan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan masing-masing sumber daya hutan. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat (Kenyah) itu didasari atas prinsip-prinsip pengaturan bersama, kerja sama dan saling membantu dalam konteks sosial produksi dan juga saling berbagi dalam konteks sosial produksi.
”Tanpa pretensi untuk mengagungkan apa yang berlabel tradisional adalah cukup bijaksana bila kita menyadari bahwa pranata-pranata tradisional ternyata masih tetap berlaku dalam berbagai kelompok komunitas dengan alasan sederhana, yakni bahwa pranata-pranata tersebut memang memiliki nilai adaptif jangka panjang yang cukup tinggi”, tulis G Simon Devung.
Bagaimanapun, kajian di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa keberadaan manusia menjadi faktor utama penyebab rusaknya ekosistem suatu kawasan. Dalam kasus kerusakan hutan dan lahan di Indonesia, jika ditelusur lebih jauh, maka akar persoalannya hampir selalu bermuara pada perilaku ”merusak” yang melekat pada manusia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk di satu pihak serta kebutuhan untuk bertahan hidup di pihak lain, dinamika masalah yang membebani lingkungan pun bertambah.
Tekanan terhadap keseimbangan ekosistem tersebut memang bisa datang dari warga yang bermukim di sekitar kawasan itu hanya demi keberlangsungan hidup mereka sehari-hari. Akan tetapi, tak jarang kerusakan ekosistem suatu kawasan lebih disebabkan ”serbuan” para pendatang dengan dengan alasan ekonomi skala besar. Dalam konteks ini, para pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) dan pemegang izin pembukaan perkebunan skala besar ikut memberi andil yang tidak kecil atas kerusakan hutan dan lahan di berbagai wilayah di Tanah Air.
Beban lingkungan
Motivasinya memang beragam. Namun, tetap saja keberadaan manusia dengan berbagai aktivitas yang mengikutinya, yang secara masif cenderung bertumbuh tanpa kendali, selalu menjadi pemicu utama.
Peristiwa banjir (dan longsor) di sejumlah tempat di Pulau Jawa, beberapa waktu yang lalu, memang ikut dipicu anomali cuaca dan perubahan iklim. Gejala La Nina kembali muncul. Tingginya curah hujan yang datang bersamaan dengan naiknya air (pasang) laut, yang – di beberapa tempat – melimpas ke daratan, ikut memperlambat aliran air dari hulu sungai menuju laut. Namun, berbagai kalangan meyakini bahwa faktor manusia tetap memberi ”sumbangan” paling besar.
Khusus di DAS Bengawan Solo, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan pada Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KLH) mencatat, dalam tujuh tahun terakhir (2000-2007) terjadi perubahan tutupan lahan yang cukup signifikan di kawasan ini. Di satu sisi wilayah hutan alam, rawa, dan semak/belukar berkurang drastis, sementara di sisi lain kawasan permukiman serta kebun campuran dan tanah terbuka bertumbuh pesat.
Hutan alam yang yang pada tahun 2000 masih tercatat seluas 34.910 hektar, selama tujuh tahun terakhir berkurang menjadi menjadi 23.888 hektar. Sebaliknya, kawasan permukiman yang semula menempati areal seluas 270.268 hektar bertumbuh cukup pesat menjadi 367.484 hektar. Hutan alam yang menyusut cukup besar itu sebagian besar berubah fungsi menjadi kebun campuran dan/atau tanah terbuka. Secara keseluruhan, kebun campuran di DAS Bengawan Solo bertumbuh dari 342.799 hektar (2000) menjadi 413.671 hektar (2007). Sementara tanah terbuka kian bertambah luas dari 15.745 hektar (2000) menjadi 70.158 hektar pada tahun 2007.
Kian luasnya kawasan permukiman akibat pertumbuhan penduduk juga berimplikasi pada tutupan lahan secara keseluruhan di DAS Bengawan Solo. Kawasan rawa yang yang pada tahun 2000 masih tercatat seluas 3.212 hektar, saat ini hampir tidak ada lagi. Data dari KLH hanya mencatat tutupan lahan berupa rawa di DAS Bengawan Solo pada tahun 2007 tinggal tiga hektar. Begitupun semak/belukar yang pada tahun 2000 masih tercatat seluas 63.095 hektar kini tersisa hanya 13.897 hektar.
Perubahan bentang alam sepanjang kawasan DAS, baik akibat ekploitasi hutan yang tak terkendali maupun karena kian padat dan besarnya wilayah resapan air yang berubah fungsi menjadi kawasan permukiman dan/atau aktivitas ekonomi, dengan sendirinya akan menambah beban pada daya dukung lingkungan di kawasan bersangkutan. Apa yang kini terjadi di sepanjang DAS Bengawan Solo, yang melintasi 12 kabupaten/kota di dua propinsi (Jawa Tengah dan Jawa Timur), bisa jadi contoh kasus sederhana – dalam artian proses degradasi lingkungannya bisa dilihat dengan mata telanjang – tetapi menarik dijadikan pijakan bagi kita sebagai bangsa untuk mengkaji ulang pengelolaan tata ruang kawasan DAS di negeri ini.
Pada kasus DAS Bengawan Solo, KLH mencatat bahwa perubahan atau penggatian tanaman keras, seperti pohon jati, pinus, atau cemara – yang berada di kawasan lindung – dengan tanaman semusim seperti pisang, jagung, dan singkong bukan sekadar mengubah proporsi tutupan lahan. Tanaman semusim tersebut menyebabkan beberapa daerah yang semula memiliki fungsi konservasi tanah dan air menjadi berkurang atau bahkan tidak berfungsi.
Ketika beban itu kian menumpuk, termasuk sedimentasi luar biasa pada Waduk Gajah Mungkur sehingga tak mampu lagi berfungsi maksimal sebagai kawasan penampung air, banjir besar seperti yang terjadi pada akhir 2007 dan awal 2008 lalu hanya sebuah konsekuensi logis dar kelalaian kita menjada keseimbangan daya dukung ekologi DAS Bengawan Solo.
Bahwa sejak dulu Bengawan Solo kerap meluap, bahkan sudah terjadi sejak 1863, tetapi cakupannya tidak separah seperti sekarang. Dalam peristiwa banjir di pergantian tahun kemarin, Bappenas bahkan mencatat kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp 2 triliun.
Berbagai persoalan tersebut ada di depan mata kita. Berbagai pihak sadar tentang hal ini, tetapi ancaman itu tak bisa diatasi dengan kesadaran semata tanpa respons yang lebih konseptual-fundamental dan komitmen nyata di lapangan. Masalahnya, kita, seperti biasa, kerap jadi bangsa yang lalai, abai, dan pelupa.... (AIK/IRN/KEN).
Kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar