Selasa, Juli 15, 2008

Korupsi

Oleh
Ramadhan Pohan
Dikutip dari Tajuk JENDELA di Rubrik Sosok & Sketsa Harian Jurnal Nasional Sabtu, 5 Juli 2008 halaman 8.
Miring
Rabu pagi 2/7/08 di Kampus Paramadina ada acara “Denny on Corruption”, Denny Indrayana meluncurkan dua buku terakhirnya, Negeri Para Mafioso dan Negara antara Ada dan Tiada. Banyak tokoh yang datang, begitu pula mahasiswa, aktivis, dan pers. Bagi saya ini lebih memperlihatkan optimisme luas publik atas Indonesia yang lebih baik, lebih bersih, lebih sehat, lebih sejahtera dan modern.
Para tokoh yang hadir sepakat Denny memang yang tervokal dan terbaik, yakni sebagai doktor korupsi, atau pakar korupsi. Maksudnya tentu bukan berarti intelektual muda ini penganjur apalagi pelaku korupsi, sehingga Jimly Asshidiqie pun buru-buru meminta ditambahkan kata “anti” di setiap kata “korupsi” di atas.
Korupsi adalah kejahatan. Seluruh dunia berperang habis-habisan memberantasnya. Di negara maju yang kesejahteraan masyarakatnya baik dan sistem hukumnya jalan, tidak korupsi secara kuantitas dan kualitas berada di level terbawah. Bagi Indonesia, negeri yang tengah serius memberantas korupsi dan kemiskinan sekaligus, upayanya banyak perlihatkan hasil. Berjibun kasus korupsi yang melibatkan para pejabat, petinggi negeri dibongkar. Media massa tiap hari pasti berisi pemberitaan terkait pelaku dan kasus korupsi yang ditangani dan diproses hukum. Menteri, anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota dan siapa pun pejabat yang sebelumnya nyaris tak tersentuh huku, kini tak ada ampun.
Dalam sejarah RI, baru dalam kepemimpinan sekarang pembongkaran kasus korupsi berlangsung gegap gempita, meriah, dan seru. Era-era presiden sebelumnya, jujur saja, pemberantasan korupsi hanya wacana dan condong ecek-ecek. Benar teori yang mengatakan pemberantasan korupsi harus dimulai dari komitmen orang nomor satu republik. Pemimpin tertinggi, presidennya, harus bersih dulu. Pemberantasan korupsi sekarang berjalan karena memang ada keteladanan dari pemimpin. Habis itu baru menteri dan pejabat-pejabat tinggi lainnya baik pemerintah maupun negara. Dari situ barulah mafia korupsi dibongkar, praktik-praktik korupsi disenter dan disemprit.
Pemberantasan korupsi sudah jadi tren. Semua lini bergerak, lakukan reformasi internal yang semua berujung pencegahan korupsi. Semua orang kini berhati-hati jangan-jangan apa yang dilakukannya berindikasi tindakan korupsi. Jimly Asshidiqie mengatakan ada korupsi karena terpaksa, terbentur kebutuhan hidup. Tetapi ada juga korupsi karena naif, ketidaktahuan bahwa yang dilakukannya merupakan korupsi. Tak tahu dan tak sadar sama sekali bahwa pemberian yang diterimanya atau tindakannya masuk zona pidana korupsi. Menurut Jimly sebagian terbesar kasus korupsi justru karena yang kedua itu: naif. Banyak orang baik yang mendadak diketahui tersangkut kasus korupsi.
Maka Jimly kasih resep: Jangan mau menerima, mengambil apa pun yang bukan hak. Titik. Habis perkara.
Rektor Anies Baswedan bangga karena Universitas Paramadina yang pertama mewajibkan Mata Kuliah (Anti) Korupsi bagi seluruh mahasiswa di kampus yang justru tak punya Fakultas Hukum itu. Kata Anies, korupsi harus diperangi bersama, seksama, terus-menerus dan dengan sikap optimisme. Jangan pernah lelah, kalah apalagi frustasi dalam memerangi penyakit yang satu itu. Korupsi marak karena orang banyak atau masyarakat yang menyaksikan tindakan korupsi justru diam. Pembiaran itu sama saja menoleransi korupsi. rpohan@jurnas.com

Kembali

Tidak ada komentar: