KEBUDAYAAN
Oleh
BENNY YOHANNES
Dicuplik dari Rubrik HUMANIORA - TEROKA di Harian KOMPAS, Sabtu, 21 Juni 2008 halaman 14
Kehadiran kebudayaan nasional Indonesia diasumsikan berjalan otomatis dengan kemunculan Negara Indonesia. Artinya, sejak Negara Indonesia diproklamasikan, sejak itu pula lahir kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional Indonesia. Asumsi itu sulit untuk disetujui, karena ia hanya berpijak pada justifikasi politik/ideologis.
Kelahiran Negara baru tidak pernah identik dengan kelahiran kebudayaan baru. Negara baru bisa dicapai melalui momentum sebuah revolusi. Tetapi kelahiran kebudayaan baru merupakan konglomerasi dari proses korespondensi dan dialog lintas nilai yang lebih evolutif.
Distorsi pemahaman negara memproduksi kebudayaan ini telah menyebabkan penanganan masalah-masalah budaya di Indonesia lebih banyak dikendalikan oleh instrument politik/ideology negara, karena makna kebudayaan telah disubordinasi berdasarkan pembenaran-pembenaran politik/ideologis.
Satu hal yang memunculkan distorsi lain: kebudayaan hanya dipahami sebagai benda, sebagai manifestasi kasat mata, sehingga lahirlah strategi politik negara untuk hanya “mendandani kebudayaan” lewat ideologi penyeragaman, sebagaimana Orde Baru.
Identitas kebudayaan
Indonesia merupakan wadah politis dan ideologis baru bagi 662 suku bangsa. Jadi, realitas budaya yang harus diakomodasi begitu luas dan beragam. Strategi kebudayaan harus membuka akses partisipatif dan membangkitkan respons mutualistik dari eksponen budaya yang beragam itu. Gerakan lateral, hubungan dialogis local to local harus menjadi intensif dan sinambung.
Identitas kebudayaan nasional masih sedang dicari, lewat cara menawarkan “kemungkinan-kemungkinan Indonesia”. Ini berarti, akses ruang untuk mengartikulasikan perbedaan nilai-nilai harus selalu dibuka dan difasilitasi sehingga proses korespondensi dan dialog lintas nilai bisa berlangsung lebih transparan, proporsional, dan manusiawi.
Menjadi Indonesia adalah menggali kemungkinan-kemungkinan Indonesia. Intinya: pergaulan budaya yang terus-menerus, dengan menghadapi bentuk-bentuk konflik, dan resistensi. Selain itu, terbuka pula untuk suatu inklusi atau intervensi dari kekuasaan.
Amanat UUD 1945
Penjelasan UUD 1945 tentang kebudayaan nasional adalah (1) buah usaha budidaya rakyat Indonesia, (2) kebudayaan lama dan asili di daerah, (3) kebudayaan yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru.
Penjelasan UUD 1945 tentang kebudayaan nasional sudah mencerminkan rumusan yang inklusif, demokratis dan prediktif. Dengan demikian, hal itu sudah mewadahi unsur-unsur paling substantif yang mendukung realisasi identitas kebudayaan nasional.
Penjelasan ini juga sudah bersifat visioner. Bahwa kebudayaan nasional adalah proses dinamisasi dari bawah, dengan bertumpu pada gerak dualistik antara “yang lama dan asli” dan “serta” yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru”.
Masalahnya, bagaimana bisa dilahirkan strategi yang berkesinambungan untuk mendukung dialog yang mutualistik antara kebudayaan lama dan asli di daerah dengan kebudayaan yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru.
Faktanya: karena pragmatisme-sekular yang sangat berjangkit di kebudayaan kota telah menciptakan kondisi amnesia-budaya. Akses pengetahuan ke masa lalu sangat terbatas dan fragmentaris, sedangkan respons terhadap kebutuhan masa kini bersifat temporer dan pragmatis.
Kedua wilayah budaya ini bekerja dalam situasi teritorial masing-masing. Kebudayaan asli bersifat defensif dan tidak artikulatif. Kebudayaan baru bersifat distingtif dan eksklusif.
Strategi kebudayaan, karena itu, harus memperhitungkan pola stereotip dari pergeseran kekuasaan politik di Indonesia. Polanya adalah diskontinuitas. Setiap orde kekuasaan baru meruntuhkan otoritas orde sebelumnya. Akibatnya, hasil-hasil pemikiran visioner tidak dapat diapresiasi secara berkelanjutan.
Sementara strategi kebudayaan harus didukung dari endapan pemikiran visioner karena memperjuangkan ide-ide yang paling substantif bagi kelanjutan konsep meng-Indonesia.
Strategi Pancasila
Instrumen fungsional negara bagi program pemajuan kebudayaan Indonesia masih diandalkan pada instrumen ideologis Pancasila, sebagai filsafat bangsa. Namun, Pancasila sebagai teks sebenarnya hanya merupakan ideological-clue/isyarat ideologis, dan belum efektif sebagai instrumen praksis kebudayaan.
Pancasila sebagai paradigma operasional di saat-saat ini tampaknya justru mengalami divitalisasi karena tidak berhasil meneguhkan perannya sebagai practical-glue/perekat operasional yang nyata. Pendekatan strategi kebudayaan bukan lantas menyuruh orang untuk rajin-rajin membaca Pancasila. Justru, Pancasila-lah, sebagai referensi utama praksis negara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa.
Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Jika tidak mampu membaca, Pancasila akan menjadi iliterate-ideology/ideologi buta huruf, atau sekadar blind-rhetoric. Jika sebuah negara hanya bertumpu pada sebuah iliterate-ideology, maka negara justru akan menjadi sumber pembodohan budaya.
BENNY YOHANES
Mengajar di STSI Bandung dan SBM ITB
Oleh
BENNY YOHANNES
Dicuplik dari Rubrik HUMANIORA - TEROKA di Harian KOMPAS, Sabtu, 21 Juni 2008 halaman 14
Kehadiran kebudayaan nasional Indonesia diasumsikan berjalan otomatis dengan kemunculan Negara Indonesia. Artinya, sejak Negara Indonesia diproklamasikan, sejak itu pula lahir kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional Indonesia. Asumsi itu sulit untuk disetujui, karena ia hanya berpijak pada justifikasi politik/ideologis.
Kelahiran Negara baru tidak pernah identik dengan kelahiran kebudayaan baru. Negara baru bisa dicapai melalui momentum sebuah revolusi. Tetapi kelahiran kebudayaan baru merupakan konglomerasi dari proses korespondensi dan dialog lintas nilai yang lebih evolutif.
Distorsi pemahaman negara memproduksi kebudayaan ini telah menyebabkan penanganan masalah-masalah budaya di Indonesia lebih banyak dikendalikan oleh instrument politik/ideology negara, karena makna kebudayaan telah disubordinasi berdasarkan pembenaran-pembenaran politik/ideologis.
Satu hal yang memunculkan distorsi lain: kebudayaan hanya dipahami sebagai benda, sebagai manifestasi kasat mata, sehingga lahirlah strategi politik negara untuk hanya “mendandani kebudayaan” lewat ideologi penyeragaman, sebagaimana Orde Baru.
Identitas kebudayaan
Indonesia merupakan wadah politis dan ideologis baru bagi 662 suku bangsa. Jadi, realitas budaya yang harus diakomodasi begitu luas dan beragam. Strategi kebudayaan harus membuka akses partisipatif dan membangkitkan respons mutualistik dari eksponen budaya yang beragam itu. Gerakan lateral, hubungan dialogis local to local harus menjadi intensif dan sinambung.
Identitas kebudayaan nasional masih sedang dicari, lewat cara menawarkan “kemungkinan-kemungkinan Indonesia”. Ini berarti, akses ruang untuk mengartikulasikan perbedaan nilai-nilai harus selalu dibuka dan difasilitasi sehingga proses korespondensi dan dialog lintas nilai bisa berlangsung lebih transparan, proporsional, dan manusiawi.
Menjadi Indonesia adalah menggali kemungkinan-kemungkinan Indonesia. Intinya: pergaulan budaya yang terus-menerus, dengan menghadapi bentuk-bentuk konflik, dan resistensi. Selain itu, terbuka pula untuk suatu inklusi atau intervensi dari kekuasaan.
Amanat UUD 1945
Penjelasan UUD 1945 tentang kebudayaan nasional adalah (1) buah usaha budidaya rakyat Indonesia, (2) kebudayaan lama dan asili di daerah, (3) kebudayaan yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru.
Penjelasan UUD 1945 tentang kebudayaan nasional sudah mencerminkan rumusan yang inklusif, demokratis dan prediktif. Dengan demikian, hal itu sudah mewadahi unsur-unsur paling substantif yang mendukung realisasi identitas kebudayaan nasional.
Penjelasan ini juga sudah bersifat visioner. Bahwa kebudayaan nasional adalah proses dinamisasi dari bawah, dengan bertumpu pada gerak dualistik antara “yang lama dan asli” dan “serta” yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru”.
Masalahnya, bagaimana bisa dilahirkan strategi yang berkesinambungan untuk mendukung dialog yang mutualistik antara kebudayaan lama dan asli di daerah dengan kebudayaan yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru.
Faktanya: karena pragmatisme-sekular yang sangat berjangkit di kebudayaan kota telah menciptakan kondisi amnesia-budaya. Akses pengetahuan ke masa lalu sangat terbatas dan fragmentaris, sedangkan respons terhadap kebutuhan masa kini bersifat temporer dan pragmatis.
Kedua wilayah budaya ini bekerja dalam situasi teritorial masing-masing. Kebudayaan asli bersifat defensif dan tidak artikulatif. Kebudayaan baru bersifat distingtif dan eksklusif.
Strategi kebudayaan, karena itu, harus memperhitungkan pola stereotip dari pergeseran kekuasaan politik di Indonesia. Polanya adalah diskontinuitas. Setiap orde kekuasaan baru meruntuhkan otoritas orde sebelumnya. Akibatnya, hasil-hasil pemikiran visioner tidak dapat diapresiasi secara berkelanjutan.
Sementara strategi kebudayaan harus didukung dari endapan pemikiran visioner karena memperjuangkan ide-ide yang paling substantif bagi kelanjutan konsep meng-Indonesia.
Strategi Pancasila
Instrumen fungsional negara bagi program pemajuan kebudayaan Indonesia masih diandalkan pada instrumen ideologis Pancasila, sebagai filsafat bangsa. Namun, Pancasila sebagai teks sebenarnya hanya merupakan ideological-clue/isyarat ideologis, dan belum efektif sebagai instrumen praksis kebudayaan.
Pancasila sebagai paradigma operasional di saat-saat ini tampaknya justru mengalami divitalisasi karena tidak berhasil meneguhkan perannya sebagai practical-glue/perekat operasional yang nyata. Pendekatan strategi kebudayaan bukan lantas menyuruh orang untuk rajin-rajin membaca Pancasila. Justru, Pancasila-lah, sebagai referensi utama praksis negara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa.
Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Jika tidak mampu membaca, Pancasila akan menjadi iliterate-ideology/ideologi buta huruf, atau sekadar blind-rhetoric. Jika sebuah negara hanya bertumpu pada sebuah iliterate-ideology, maka negara justru akan menjadi sumber pembodohan budaya.
BENNY YOHANES
Mengajar di STSI Bandung dan SBM ITB
Kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar