Selasa, Juli 15, 2008

Globalisasi dan Kerapuhan Negara

OPINI
Oleh
ADDE WIIRASENJAYA
Dicuplik dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Selasa, 24 Juni 2008 halaman 06


Boleh jadi, saat ini Negara dan pasar menjadi entitas yang menyajikan pertarungan paling frontal pada fase neoliberal.

Setidaknya, di Tanah Air, turbulensi sosial terus mengiringi segala upaya integrasi negara atas rezim pasar global.

Kerapuhan

Rezim neolib selalu gaga menyembunyikan watak ambigunya. Di satu sisi, dunia menjadi tragedi sejarah bagi dunia yang lain. Dunia yang makmur dan mampu melakukan integrasi atas struktur pasar dunia menjadi actor yang sedang merayakan perkembangan itu. Namun, bagi sebagian negara lainnya, termasuk kita di sini, globalisasi seperti meletakkan masyarakat pada labirin yang gelap dan berliku. Alih-alih menjadi pemain dan actor kuat, sebagai penonton pun mungkin kita tak cukup punya modal untuk sekadar membeli karcis!

Negara-negara industri utama yang tergabung dalam grup delapan (G-8), misalnya, merupakan negara-negara yang memiliki koridor kedaulatan negara yang diperluas oleh aktor-aktor ekonomi yang dimiliki. Sementara ketiadaan aktor ekonomi di Negara miskin dan berkembang membuat koridor kedaulatan negara di kawasan ini berjalan stagnan, bahkan menyusut pada arena domestik.

Perluasan ruang kedaulatan (space of souvereignty) dari negara industri terus menekan posisi negara yang lemah secara ekonomi untuk hanya mengurus diri sendiri dengan berbagai instrument dan gagasan yang mengalami rasionalisasi sebagai instrument dan gagasan global. Sampai kemudian, momen ini berlanjut pada modus relasi yang berbeda antara negara dan pasar.

Maka, bagi negara-negara industri, globalisasi boleh jadi merupakan momen di mana negara menciptakan pasar (state make market). Sebaliknya bagi negara berkembang, globalisasi merupakan momen di mana pasar menciptakan negara (market make state).

Disharmoni negara dan pasar pada level global berlanjut pada disharmoni pasar dan berbagai kelompok sosial-politik pada level domestik. Sebagai sebuah prosedur, kehidupan demokrasi berlangsung sebagai bentuk penyesuaian negara atas arus liberalisasi dunia. Di negara yang lemah, disharmoni pasar dan negara menampilkan dirinya dalam arena sosial-politik yang ditaburi berbagai kelompok yang juga disharmoni.

Negara agaknya sibuk melakukan berbagai penyesuaian atas tekanan pasar dunia dan cenderung menjadi administrator finansial internsional. Sementara dalam arena sosial-politik, negara tampil gugup dan cenderung mengalami kerapuhan (fragile).

“Floating state”

Kerapuhan negara niscaya menjadi risiko ekonomi-politik yang harus diterima negara-negara yang basis industrinya amat lemah. Malangnya, kapasitas sosial-politik negara pada tingkat domestik juga mengalami take-over oleh berbagai kekuatan sosial-politik komunal yang yang mengalami pertumbuhan luar biasa dalam ruang politik liberal yang secara bersamaan dibawa arus liberalisasi pasar.

Bercampur dengan berbagai sentimen lama – dari agama, ideologi, hingga etnisitas - pertumbuhan berbagai kelompok itu pada gilirannya akan membuat pasar gagal mengendap dan melakukan pendalaman (deepening). Inilah faktor yang juga menjadi penyebab kegagalan pendalaman demokrasi (deepening democracy) di Indonesia.

Koridor kedaulatan negara mendapat desakan hebat pada level domestik dari kehadiran berbagai kekuatan komunal. Negara jatuh menjadi rumah singgah para aktor politik, menjadi sekadar penanda dari proses politik demokratis.

Dalam pesta demokrasi global, posisi negara yang lemah berubah menjadi negara mengambang (floating state) yang lebih kurang sama posisi dan karakternya dengan massa mengambang (floating mass) dalam pemilu.

Maka kini, posisi negara di Indonesia justru kian melemah bukan saja oleh gempuran rezim ekonomi-politik dunia, tetapi juga oleh semakin meruyaknya aktor-aktor politik komunal di level domestik. Akibatnya, negara selalu terlambat – jika tak ingin disebut gagal – melakukan berbagai konversi yang mampu menggerakkan kekuatan politik di bawahnya secara koheren dan berkelanjutan. Kegagalan melakukan konversi itulah yang mungkin membuat negeri ini tak pernah berhasil menemukan apa yang oleh Fukuyama disebut modal sosial (social capital).

Hingga kini, upaya merumuskan modal sosial selalu jatuh pada kontruksi sejumlah jargon ketimbang spirit, mendedahkan ritus ketimbang impetus, mencipta dogma ketimbang paradigma.

Kini, agenda besar bangsa ini adalah melakukan pendalaman, baik pada arus demokrasi maupun ekonomi. Tanpa pendalaman, demokrasi hanya menjadi ritus yang melelahkan. Sementara ekonomi yang tanpa pendalaman akan kembali mengulang cerita bubble economy yang penuh kepalsuan.

Tanpa pijakan kaki yang kuat, globalisasi barangkali hanya berakhir menjadi tsunami.

ADDE M WIRASENJAYA
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar: