Diunduh dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, 14 Agustus 2008 halaman 06.
Tahun ini kalender Indonesia dipenuhi tanggal-tanggal yang menjadi semacam prasasti bangsa. Tengok, ”100 Tahun Kebangkitan Nasional” dan ”80 Tahun Sumpah Pemuda”. Tanggal-tanggal itu tidak sekadar bilangan, tetapi memiliki aura magis dan sakral. Saat-saat seperti itu tepat untuk memulai sesuatu yang luar biasa.
Enam puluh tiga tahun lalu, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dengan menerobos tertib hukum Hindia Belanda. Apabila hukum Hindia-Belanda dipatuhi, bukan seperti itu cara bangsa Indonesia memerdekakan diri. Namun, bangsa ini telah melakukan rule breaking, mematahkan rambu-rambu perundang- undangan Hindia-Belanda, demi menjalankan suatu misi besar, yaitu melepaskan diri dari ketidakadilan kolonial.
Kemakmuran rakyat
Seusai proklamasi, diumumkan ”Magna Charta Indonesia” bernama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). UUD itu merupakan dokumen agung yang menegaskan konsep keadilan Indonesia, yaitu ”keadilan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat”.
Maka, negara hukum Indonesia yang dibentuk lewat UUD mengemban tugas amat berat, yaitu mewujudkan amanat agar hidup rakyat Indonesia sejahtera dan bahagia. Amanat itu bukan mimpi karena negeri ini memiliki potensi untuk itu.
Enam puluh tiga tahun sesudah peristiwa besar itu, rakyat Indonesia berada dalam keadaan krisis, terpuruk, dilecehkan dunia, dan jauh dari cita-cita menjadi bangsa yang makmur, sejahtera, dan bahagia. Indonesia menjadi seperti itu bukan karena ”serangan” dari luar, tetapi karena digerogoti dari dalam oleh sebagian bangsa sendiri. Mereka itu para koruptor, benalu bangsa, yang melakukan korupsi harta, kekuasaan, moral, dan martabat bangsa. Institusi negara satu demi satu ambruk.
Korupsi dimulai secara kecil-kecilan dan sporadis. Pada tahun 1950-an Menteri Djody Gondokusumo pernah terjerat korupsi, tetapi itu kejadian yang amat jarang. Kini, orang tidak kaget lagi jika ada menteri, anggota parlemen, jaksa agung muda, dan hakim agung didakwa korupsi.
Meminjam periodisasi Syed Hussein Alatas, sosiolog korupsi, mungkin korupsi di negeri kita sudah sampai tahap bunuh diri. Korupsi yang bagai benalu telah menggerogoti pohon tempat benalu itu menumpang hidup sehingga pohon itu akan mati, termasuk benalu sendiri. Ibaratnya, kalau 40 tahun yang lalu kita masih dapat menggunakan arit untuk membunuh benalu-benalu yang menempel di pohon Indonesia itu, kini korupsi sudah harus dilawan dengan bom.
Kini, kita tidak dapat lagi mengandalkan cara-cara konvensional seolah-olah negeri ini masih baik-baik saja. Kita memang sudah membuat komitmen besar dalam UUD 1945 untuk menjadi negara hukum. Sebagian orang mengatakan, karena ini negara hukum, memberantas korupsi harus dengan berhukum-hukum. Banyak orang berpendapat, terobos-menerobos tidak termasuk menu dalam suatu negara hukum karena itu ditabukan.
Makna berhukum
Pada saat krisis besar seperti sekarang, kita perlu memikirkan kembali berhukum itu? Negara dan republik ini dilahirkan melalui rule breaking. Banyak negara, bahkan AS, melakukan itu. AS melakukan terobosan, mengesankan saat ingin membangun suatu orde hukum baru untuk lepas dari Inggris pada abad ke-19. Terobosan itu dibungkus dengan nama American developments, American approach, American doctrines, American concept of law. Dunia gemetar (shocked and bewildered) menyaksikan ulah AS itu. Namun, dunia menggonggong kafilah AS berlalu.
Kita perlu memiliki determinasi untuk melakukan cara berhukum yang luar biasa. Selain itu, diperlukan alasan yang amat kuat mengapa kita melakukannya. Tidak setiap hari kita boleh menerobos. Alasan itu adalah pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan besar dalam UUD 1945. Kita tak gampang melakukan terobosan, tetapi karena ingin menyelamatkan amanat UUD yang lebih berharga daripada mempertahankan permainan hukum secara konvensional. Hukum perlu progresif dalam menyelamatkan amanah UUD.
Bernegara hukum adalah suatu konsep yang jauh lebih besar daripada bernegara undang-undang daripada kutak-katik peraturan dan prosedur. Kini, dalam suasana krisis yang amat mengimpit, pemahaman hukum dengan makna lebih besar/dalam perlu dilakukan. Dalam bahasa Ronald Dworkin, kini kita harus pandai melakukan moral reading of the constitution, bukan sekadar mengeja teks UUD.
Status hukum koruptor tidak hanya seorang yang ”merugikan keuangan negara”, tetapi ”merusak bangsa dan negara”. Penyuapan jaksa tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi merusak citra bangsa dan mengkhianati UUD.
Hari kemerdekaan ini kita pakai sebagai awal menyelamatkan cita-cita keadilan bagi bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD Republik Indonesia 1945 dengan cara bernegara hukum yang lebih berani, kreatif, inovatif, cerdas, dan progresif. Untuk itu, seluruh (komponen) bangsa harus bersatu terlebih dahulu.
Dirgahayu Republik Indonesia.
Satjipto Rahardjo
Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
[Kembali]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar